Opini

Testing dan Tracing Massif Terkendala Anggaran? Begini Islam Menjawabnya!

Kaltim Today
07 November 2020 10:59
Testing dan Tracing Massif Terkendala Anggaran? Begini Islam Menjawabnya!

Oleh: Nindy Nur Rahmawati, S.Pd

Pandemi yang belum juga menemui titik akhir, terus bergerak merubah dunia tak terkecuali roda jalan negeri yang dinamikanya mulai melamban. Namun, upaya menekan angka penyebaran kasus positif tentu tidak boleh ikut melamban. 

Dikutip dari Tribunkaltim.co, Satgas Penanganan Covid-19 Balikpapan terus berupaya menekan angka penyebaran kasus Covid-19 melalui 3T, yakni testing, tracing, dan treatment. Adapun tracing, dalam hal ini memperbanyak swab test.

Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Balikpapan, Andi Sri Juliarty mengatakan butuh biaya besar untuk melakukan ini. Berdasarkan petunjuk pusat, kebutuhan pemeriksaan orang seharusnya 1 per 1.000 penduduk per minggu. Perhitungannya butuh dana sekira Rp 2,6 miliar per bulan.

"Kalau hitung sampai Desember masih butuh sekitar Rp 9 miliar,” tuturnya.

Satu sisi, Pemerintah Daerah masih mempertimbangkan rencana subsidi swab test pada warga mengingat ketersediaan anggaran daerah. Perlu diketahui, Pemerintah Pusat menjadikan harga maksimal biaya swab sebesar Rp 900 ribu yang tentunya angka tersebut masih dinilai cukup membebani ekonomi masyarakat terutama kelompok menengah ke bawah.

Hingga 28/10/2020, jumlah akumulatif kasus terkonfirmasi positif di Kota Balikpapan mencapai 3.783 kasus. Rincinya, terdapat 128 pasien dalam perawatan, 324 menjalani isolasi mandiri, 3.114 pasien sembuh, dan 217 dinyatakan meninggal dunia.

Dilansir dari JawaPos.com, Presiden Joko Widodo memang sudah meningkatkan targetnya agar uji tes pasien Covid-19 per hari bisa digenjot hingga 30 ribu tes. Namun, itu belum memenuhi target WHO dengan pemeriksaan tes PCR untuk 1 orang per 1.000 penduduk per minggu. 

Dengan jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 250 juta jiwa, maka yang harus dites adalah sebanyak 267.700 tes per minggu. Juru Bicara Pemerintah Prof Wiku Adisasmito mengakui di Indonesia keseluruhan baru mencapai 35,6 persen dari standar WHO. Artinya masih sepertiganya dari target WHO.

Untuk memenuhi target WHO, butuh lebih banyak lagi yang perlu dites. Itu jelas butuh anggaran yang besar. Namun, detail mengenai pos anggaran untuk PCR, belum ada yang bisa memberikan gambaran rinci.

Dari semua provinsi di Indonesia, baru DKI Jakarta yang melampaui target WHO. Pemprov DKI Jakarta mengalokasikan anggaran besar untuk penanggulangan pandemi. Pemprov DKI telah merencanakan penambahan dana sekitar Rp 275 miliar. Dengan penambahan ini, diperkirakan bisa digunakan untuk penanggulangan Covid-19 hingga akhir Desember 2020.

Kekurangan inilah yang akan kita ambil dari pendapatan asli daerah. Kita berharap agar pendapatan dari pajak, kemudian dari dana bagi hasil dari (pemerintah) pusat.” ucap Andyka, Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta.

Lebih lanjut, ia memastikan bahwa Pemprov DKI Jakarta tidak pernah meminta bantuan tunai kepada Pemerintah Pusat. Semua dana penanggulangan Covid-19 bersumber dari APBD Pemprov DKI. Kendati demikian, tidak dipungkiri Pemprov DKI memang mengajukan pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ke pemerintah pusat sebesar Rp 12,5 triliun. Untuk tahun ini dialokasikan penggunaan dana sekitar Rp 3,2 triliun. Namun, uang ini bersifat pinjaman bukan permintaan, dan akan dilunasi dalam periode 10 tahun melalui sistem bagi hasil pajak daerah dengan pemerintah. (https://www.jawapos.com/nasional/18/09/2020/anggaran-pemerintah-pusat-untuk-tes-pcr-belum-diungkap/)

Miris! Penanggulangan pun banyak dibebankan ke daerah! Disesuaikan dengan kemampuan daerah itu sendiri. Padahal, sudah 7 bulan pandemi berjalan, namun angka tes masih sangat kecil dengan segala problema seperti ketersediaan nakes, alat tes, sebaran per wilayahnya, sementara wabah semakin meluas, pun mobilitas masyarakat semakin tinggi. Jelas angka standar dari WHO sudah tidak relevan lagi. 

Untuk menekan penyebaran kasus positif, tentu testing dan tracing massal harus dilakukan dalam tempo waktu yang lebih singkat agar dapat cepat diketahui mana yang sakit dan mana yang tidak. Lantas, jika anggaran untuk tes saja masih tidak jelas, bagaimana bisa mengendalikan semua ini? 

Ini semakin menunjukkan bahwa sistem kapitalisme yang sejatinya diterapkan di negeri ini gagal dalam mengatasi penyebaran wabah. Negara hanya bertindak sebagai wasit bagi rakyatnya. Baru bertindak jika ada masalah. Adapun jaminan yang diberikan, hanyalah bentuk tambal sulam penyelesaian masalah. Rakyat harus menanggung mahalnya biaya tes, melonjaknya harga pangan, menjamurnya pengangguran, juga melambatnya roda ekonomi. Rakyat dibiarkan secara mandiri mengurus seluruh urusannya. Jelas bahwa sistem kapitalisme melemahkan peran negara yang seharusnya.

Ini berbeda dalam perspektif Islam sebagai suatu aturan menyeluruh dalam kehidupan, mitigasi wabah lewat testing dan tracing untuk memisahkan yang sakit dan yang sehat niscaya dilakukan sejak awal dan di episentrum pusat wabah. 

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Apabila kalian mendengar ada wabah di suatu tempat, maka janganlah memasuki tempat itu; Dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu, maka janganlah keluar darinya.” (HR Imam Muslim).

Sementara, alokasi anggaran termasuk alokasi anggaran untuk testing dan tracing diambil dari Baitul mal. Kemampuan finansial yang luar biasa dalam sistem Islam ditopang melalui politik anggaran berbasis Baitul mal menjadikan anggaran yang bersifat mutlak. Baitul mal adalah bagian khusus pengelola semua harta yang diterima dan dikeluarkan negara sesuai ketentuan syariat. Bersifat mutlak, maksudnya ada atau tidak ada kekayaan negara untuk pembiayaan pelayanan kemaslahatan masyarakat –termasuk penanggulangan wabah–, maka wajib diadakan negara.

Demikian fokus perhatian yang totalitas diberikan negara pada rakyatnya karena dalam pandangan Islam, kesehatan adalah hak dasar publik yang harus diberikan. Jaminan tersebut berupa tersedianya fasilitas kesehatan yang mudah dijangkau dengan berbagai peralatan medis yang lengkap dan tersedianya tenaga medis yang profesional. Pemberlakuan tes massal baik rapid test maupun swab test secara gratis dilakukan bagi warganya. Adapun bagi yang terinfeksi, negara mengurus pengobatannya hingga sembuh.

Imam (Khalifah) adalah raa’iin (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Sungguh agung Islam dalam meletakkan kepemimpinan berada di tangan umat Islam yang dengan syariat itulah segala problema kehidupan mampu diselesaikan. Sayangnya, banyak yang tak melirik atau bahkan sengaja dibutakan oleh kebenaran itu sendiri. Maka, sudah seharusnya mempercepat estafet dakwah ini pada umat agar mereka semakin tercerdaskan oleh Islam dan meraih kemuliaan hidup yang sesungguhnya. Wallahu a'lam bish-shawab.(*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co


Related Posts


Berita Lainnya