Opini

Berinteraksi dengan Al-Quran

Kaltim Today
11 Mei 2020 18:06
Berinteraksi dengan Al-Quran

Oleh: Rifqi Rosyidi Lc., M.Ag, (Pengasuh Pondok Pesantren Istiqamah Muhammadiyah Samarinda)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Perumpamaan seorang mukmin yang suka membaca Al Qur'an seperti buah Utrujjah, baunya harum dan rasanya enak. Perumpamaan seorang mukmin yang tidak suka membaca Al Qur'an seperti buah kurma, tidak berbau namun rasanya manis. Perumpamaan seorang munafik yang suka membaca Al Qur'an seperti buah raihanah, baunya harum tapi rasanya pahit. Dan perumpamaan seorang munafik yang tidak suka membaca Al Qur'an seperti buah hanzhalah, tidak berbau dan rasanya pahit”.

Ilustrasi profetik di atas memberikan pesan kuat bahwa membaca Al-Quran dengan intensitas tertentu dapat mempengaruhi kualitas kepribadian seseorang, sehingga  semakin sering membaca Al-Quran, akan semakin terasa nyata Al-Quran menjadi ruh di dalam kehidupannya.

Di dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengklasifikasi manusia menjadi empat kategori kepribadian yang didasarkan pada intensitasnya berinteraksi dengan Al-Quran dalam bentuk aktifitas membaca saja:

Kriteria pertama, orang Islam dengan intensitas membaca Al-Quran yang tinggi digambarkan seperti buah utrujjah. Ibnu hajar ketika di kitabnya Fath al-Barî menjelaskan bahwa al-utrujjah mirip dengan buah apel tetapi memiliki tampilan yang lebih menarik, baunya harum menggugah selera, memiliki tekstur yang lembut, dengan rasa yang sangat enak. Maka seseorang dengan karakter buah ini adalah pribadi yang menyenangkan lahir dan bathin; tampilan lahirnya sama baiknya dengan kondisi hatinya; bukan hanya sholeh secara individu, tetapi juga sholeh secara sosial karena kehadirannya banyak memberikan manfaat bagi manusia lainnya.

Kriteria kedua, orang Islam yang “tidak membaca al-Quran” [dalam tanda kutip] diumpamakan seperti buah kurma, yang rasanya manis tetapi tidak mempunyai bau. Konkritnya, umat Islam yang dikategorikan seperti buah kurma adalah orang-orang yang secara individual memiliki kualitas kepribadiannya baik, tetapi kesalehan individualnya tidak diimbangi dengan kesalehan sosial, minimnya berinteraksi dengan Al-Quran menjadikan hatinya tumpul tidak peka dan kualitas imannya tidak mampu menampilkan rasa empati dan kepedulian sosial.

Kualifikasi tidak membaca Al-Quran, bukan hanya untuk yang tidak membaca Al-Quran sama sekali, oleh karena itu dalam menyebutkan kriteria orang Islam yang “tidak membaca Al-Quran” di atas perlu diberi tanda kutip, karena orang Islam yang jarang-jarang membaca Al-Quran, atau yang tidak rutin setiap hari membaca Al-Quran juga masuk dalam kategori ini. Bahkan sebagian ahli tafsir ketika menjelaskan Q.S. al-Furqan [25] ayat 30: “Sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan (mahjûran)”, memberikan pernyataan  bahwa orang Islam yang selama tiga hari tidak membaca al-Quran dikategorikan sebagai orang yang telah meninggalkan Al-Quran.

Kriteria ketiga adalah orang munafik yang imannya jelas tidak berkualitas, tetapi peran sosialnya sangat tinggi, bahkan tidak jarang menjadi pelopor gerakan kemanusiaan yang menembus batas agama dan suku bangsa. Filosofi orang-orang semacam ini digambarkan di dalam hadits tidak ubahnya seperti satu buah bernama raihâna; tampilan luarnya menarik, buah dan bunganya menebar keharuman, tetapi rasanya sangat pahit dan tidak enak.

Kriteria orang-orang munafiq dengan kategori raihânah ini, secara teori dapat dikatakan keberadaannya menjadi absurd dan merupakan hal yang mustahil, karena iman yang merupakan pondasi bangunan keberagamaannya saja tidak jelas, bagaimana mungkin mengamalkan satu cabang agama yang tidak begitu fundamental; membaca Al-Quran. Tetapi ini adalah hadits nabi yang derajat keshahihannya sangat tinggi karena diriwayatkan oleh dua imam besar Bukhari dan Muslim. Maka pengertian “membaca Al-Quran” dalam hadits ini harus dijelaskan dengan memadukan hadits lain dalam pembahasan yang sama, dan hadits yang dimaksud itu menggunakan lafadz ya`mal (melaksanakan nilai-nilai Al-Quran), bukan yaqra` (membaca). Sehingga muncul ungkapan yang sangat terkenal yang dinisbatkan kepada Muhammad Abduh: “wajadtu al-islâm bilâ muslimin fi bilâd al-kuffâr, wa wajadtu al-muslimîna bi lâ islâmin fî bilâd al-muslimîn” (saya menyaksikan nilai-nilai ajaran Islam dipraktekan di negara-negara barat yang tidak ada orang islamnya, sementara saya menyaksikan orang-orang Islam yang tidak mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam dinegara-negara yang mayoritas penduduknya orang islam).

Terlepas dari pembacaan dan pemaknaan yaqra` Al-Qur`an (membaca al-Quran) yang dilakukan oleh orang munafiq di dalam hadits ini, secara tidak langsung hadits ini juga menunjukkan betapa kuatnya pengaruh Al-Quran dalam menggerakan kebaikan sosial. Tetapi dalam pandangan teologi Islam, tanpa bermaksud menafikan peran yang telah mereka mainkan di dalam misi kemanusiaan, sebanyak apapun kebaikan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki pondasi keimanan yang benar seperti orang munafiq ini, amal sosialnya tersebut hanya memberikan manfaat bagi orang lain di dunia saja, sementara dirinya sendiri tidak akan pernah menikmati keshalehan sosialnya ketika berada di kehidupan akhirat. Al-Quran telah memberikan gambaran orang-orang dengan kriteria semacam ini [Q.S. al-Kahfi [18]: 103]: “Katakanlah: “apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?, yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunai ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”.

Kriteria keempat adalah munafiq yang tidak membaca Al-Quran, dan ini merupakan karakter mereka sesungguhnya yang digambarkan nabi seperti buah handhalah yang tidak ada kenikmatan yang bisa diharapkan dari buah tersebut. Maka orang-orang semacam ini akan selalu menebar kebencian dan berbuat kerusakan, hati dan pikirannya sudah ditutup rapat-rapat oleh keakuannya, sehingga tidak ada celah bagi mereka untuk mendapat sedikit cahaya dari kebenaran Al-Quran.

Secara umum, kewajiban membaca Al-Quran masuk di dalam perintah membaca yang termaktub di Q.S. al-`Alaq ayat 1; “iqra` bismi rabbika alladzî khalaq” (Bacalah dengan nama Tuhanmu Dzat yang telah menciptakan). Namun, terkait dengan kegiatan membaca Al-Quran,  Allah menggunakan dua istilah; yaitu qirâ`ah dan tilâwah. Meskipun dua-duanya diterjemahkan dengan bahasa yang sama yakni membaca, tetapi dalam kajian kebahasaaraban masing-masing memiliki muatan makna dan falsafah yang berbeda. Secara singkat dapat dikatakan bahwa qirâ`ah menunjukkan aktifitas membaca secara umum, tetapi membaca dengan paradigma tilâwah lebih menunjukkan kepada intensitas kegiatan membaca yang berkesinambungan dan berkelanjutan. Oleh karena itu, salah satu karakter ulama yang takut kepada Allah adalah mereka yang membaca Al-Quran dengan paradigma tilâwah: yatlûna kitâballâhi (Q.S. Fathir [35]: 29; Salah satu tugas nabi dan rasul adalah membacakan dan menyampaikan ayat-ayat Allah juga dengan paradigma tilâwah: yatlû `alaihim âyâtihî (Q.S. al-Jumu`ah [62]: 2), yatlû `alaihim âyâtika (Q.S. al-Baqarah [2]: 129) dan ayat-ayat Al-Quran lain yang senada dengan dua ayat tersebut, karena dakwah itu harus dilakukan secara terus-menerus, berkesinambungan dan berkelanjutan. Semakin intens membaca Al-Quran, maka akan semakin besar perlindungan dan jaminan keamanan dalam hidup yang akan diberikan Allah: “Dan apabila kamu membaca Al-Quran, niscaya kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup”. (Q.S. al-Isra` [17]: 45)

Berinteraksi dengan Al-Quran tidak hanya terbatas pada kegiatan membaca (qirâ`ah atau tilâwah) saja, karena semua jenis kegiatan literasi secara umum juga merupakan cara untuk berinteraksi dengan Al-Quran. Contohnya istimâ` yang dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan mendengar.

Terminologi Istimâ` di dalam kajian kebahasaan bukan berarti mendengar saja, tetapi istimâ` adalah proses mendengarkan dengan memaksimalkan upaya yang kuat untuk fokus mendengarkan dan konsentrasi pada sumber suara. Syekh Mutawalli Sya`rawi menjelaskan bahwa, dalam proses mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan kualifikasi istama`a lebih tinggi dari sekedar sami`a. Banyak yang mendengar  bacaan Al-Quran tetapi tidak mendapatkan pengaruh spiritualnya karena kualifikasi aktivitas mendengarnya hanya sekedar sami`a; mendengar sambil lalu. Sedangkan aktifitas mendengarkan Al-Quran yang bernilai ibadah dan yang dapat mendatangkan rahmat Allah adalah aktifitas mendengarkan dengan kualifikasi  istama`a yang prakteknya harus dibarengi dengan inshât; diam untuk menambah ketenangan dalam mendengarkan bacaan Al-Quran: “dan apabila dibacakan Al-Quran, maka dengarkanlah dengan baik-baik (istami`û), dan perhatikanlah dengan tenang (anshitû) agar kamu mendapat rahmat (dari Allah)”. (Q.S. al-A`raf [7]: 204.

Menghafal (hifdz) juga merupakan salah satu cara kita berinteraksi dengan Al-Quran, dan interaksi dengan cara ini merupakan yang paling istimewa karena masuk dalam ruang lingkup orang yang dipilih oleh Allah dalam menjaga Al-Quran. Tidak bisa diragukan lagi bahwa Al-Quran merupakan satu-satunya kitab suci yang tetap terjaga keasliannya, karena  Allah sendiri yang menjamin originalitas Al-Quran dan yang menjaganya sesuai dengan firmanNya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kamilah yang akan menjaganya”. (Q.S. al-Hijr [15]: 9). Tetapi dalam menjaga Al-Quran, Allah juga melibatkan peran hamba-hambanya dalam bentuk peran al-hifdzu fi as-suthûr dan peran al-hifdzu fi ash-shudûr.

Gagasan kodifikasi Al-Quran yang dimulai oleh Khalifah Bakar atas usulan Umar bin Khathab, kemudian distandarisasi pada masa Khalifah Utsman bin Affan dengan al-rasm al-`Utsmâmî, dan disempurnakan pada zaman ali bin Abi Thalib dengan titik dan harakat merupakan bentuk peran manusia dalam menjaga Al-Quran dengan tulisan (al-hifdzu fi as-suthûr). Tentunya dengan taufîq dari Allah. Tetapi kodifikasi Al-Quran dalam bentuk mushaf tidak akan terwujud, seandainya saja tidak ada hamba-hamba Allah yang diberi kekuatan untuk menghafal Al-Qur`an dan menyimpan hafalannya di dalam hati-hati mereka. Ini merupakan bentuk penjagaan Al-Quran dengan perspektif al-hifdzu fî ash-shudûr. Maka menghafal Al-Quran sebenarnya merupakan bentuk tertinggi dari wujud berinteraksi dengan al-Quran, karena secara tidak langsung mendapat amanat dan tanggug jawab menjaga Al-Quran sesuai konteks ayat di atas.

Tetapi yang paling penting untuk digarisbawahi sebelum kita melakukan interaksi yang lebih intens dengan Al-Quran adalah meyakini kebenaran Al-Quran dalam tiga dimensi: Pertama, meyakini bahwa Al-Quran ini adalah benar-benar kalâmullâh yang diturunkan kepada nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril. Kedua, meyakini bahwa semua yang ada di dalam Al-Quran adalah kebenaran yang tidak mungkin diragukan sedikitpun. Ketiga, meyakini bahwa berinteraksi dengan Al-Quran benar-benar mampu mempengaruhi kualitas manusia lahir dan batin; tergantung intensitas, kadar dan jenis interaksi yang dilakukan.(*)

*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya