Opini
Catatan Reflektif Hari Anak Nasional 2020: Pentingnya Partisipasi Orangtua Tetap Menyekolahkan Anak Usia Dini
Oleh: Fachrul Rozie (Dosen Tetap Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Universitas Mulawarman)
Pada tanggal 2 Maret 2020, kasus pertama COVID-19 terdeteksi di Indonesia; per tanggal 8 Mei 2020, ada 12,776 kasus dan 930 kematian dilaporkan terjadi di 34 provinsi. Kendati demikian, studi model memperkirakan bahwa dari semua kasus infeksi, hanya 2 persen saja yang dilaporkan (channel New Asia, 2020). Tanpa perawatan atau vaksin, Indonesia dan banyak negara lainnya mengandalkan pembatasan interaksi fisik untuk memperlambat penyebaran COVID-19.
Intervensi yang diterapkan di Indonesia mencakup: karantina bagi orang-orang yang diduga terinfeksi, pembatasan perjalanan domestik dan internasional, larangan berkumpul dalam kelompok dan keramaian, serta penutupan sekolah, pabrik, restoran, dan ruang publik. Berbagai upaya untuk mengendalikan pandemi tersebut menimbulkan dampak signifikan di sektor ekonomi, kegiatan sehari-hari, dan seluruh aspek kehidupan anak.
Dampak tersebut bisa jadi melekat seumur hidup pada sebagian anak. Meskipun risiko kesehatan akibat infeksi COVID-19 pada anak lebih rendah dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih tua, terdapat 80 juta anak di Indonesia (sekitar 30 persen dari seluruh populasi) yang berpotensi mengalami dampak serius akibat beragam dampak sekunder yang timbul baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Ketidaksetaraan yang selama ini terjadi bisa semakin parah, khususnya terkait dengan gender, tingkat pendapatan, dan disabilitas. Pendapat Direktur Eksekutif UNICEF telah mengimbau pemerintah agar menyadari bahwa “anak-anak adalah korban yang tidak terlihat” mengingat adanya dampak jangka pendek dan panjang terhadap kesehatan, kesejahteraan, perkembangan, dan masa depan anak (UNICEF, 2020).
Indonesia telah menutup semua sekolah sejak awal Maret sehingga 60 juta siswa tidak dapat bersekolah (Dapodik PAUD DIKDASMEN, 2020). Sekolah-sekolah diminta memfasilitasi pembelajaran dari rumah menggunakan sejumlah platform digital milik pemerintah dan swasta yang memberikan konten secara gratis dan peluang pembelajaran daring dan dari jarak jauh di seluruh daerah. Meskipun nyaris 47 juta rumah tangga (66 persen) memiliki akses internet, pembelajaran jarak jauh secara daring masih menyimpan tantangan.
Pembelajaran daring merupakan hal baru bagi banyak siswa dan guru. Selain itu, studi terbaru UNICEF juga menemukan bahwa banyak remaja, terutama remaja perempuan, merasa memiliki keahlian digital yang kurang. Pandemi memberikan peluang penting untuk meluaskan penggunaan alat-alat seperti ‘Rumah Belajar’, platform daring yang menyediakan konten dan sistem pengelolaan pembelajaran untuk ruang kelas digital (UNICEF Indonesia, 2020).
Demi memberikan semua anak kesempatan untuk terus melanjutkan belajar dari rumah, termasuk mereka yang tidak memiliki akses internet, alternatif pembelajaran luring (offline) juga penting untuk dieksplorasi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan secara aktif bekerja sama dengan UNICEF dan mitra pembangunan lain untuk mengidentifikasi modalitas alternatif seperti TV, radio, dan bahan cetak. Upaya-upaya tersebut akan dipadukan dengan mekanisme untuk memantau pembelajaran jarak jauh secara langsung dan mendorong keterlibatan orangtua dalam proses pembelajaran anak.
Akan tetapi, ketakutan pada orangtua untuk menyekolahkan anak usia dini semakin membuat “drama” yang tidak pernah berakhir baik. Studi penelitian pada masa pasca pandemic Covid-19 menunjukkan adanya penurunan secara signifikan menyekolahkan anak usia dini oleh orangtua disebabkan faktor- faktor seperti perekonomian, ketidakmampuan melakukan pendampingan pada anak, serta merasa membebani orangtua dengan adanya tuntutan-tuntutan pihak sekolah penyelenggara untuk membantu melaporkan pencapaian perkembangan anak serta persepsi orangtua yang tidak setuju adanya kebijakan sekolah-sekolah untuk masuk di masa pandemi COVID-19 (Fachrul, 2020).
Penulis sendiri menyadari fenomena- fenomena yang terjadi dalam kasus-kasus para orangtua tidak ingin berpartisipasi menyekolahkan anak usia dini terutama usia prasekolah, karena adanya regulasi yang tidak mewajibkan ijazah kelulusan PAUD menjadi tolak ukur untuk anak masuk sekolah dasar (SD). Kesulitan yang dihadapi oleh orangtua sebagian besar mengarah pada pendapatan serta kompetensi pendampingan selama homelearning.
Adanya pengaruh latar belakang pendidikan pun memberikan pengaruh secara signifikan untuk melanjutkan atau tidak untuk menyekolahkan anak usia dini. Namun, pada sisi pendidik anak usia dini menyikapi fenomena rendahnya partisipasi menyekolahkan anak usia dini justru meningkatkan keterampilan menggunakan pembelajaran daring dan luring sebagai bentuk tantangan pada abad 21. Mirisnya, dampak COVID-19 membuat pendidik anak usia dini pun ketakutan terutama pendidik yang telah memiliki sertifikat pendidik sebagai bukti telah tersertifikasi oleh Kemendikbud sebagai pendidik professional.
Belum adanya perubahan kebijakan regulasi bagi guru yang telah bersertifikasi dalam memenuhi beban mengajar selama pandemi COVID-19, mengakibatkan jumlah penerimaan siswa di jenjang PAUD se-Indonesia merosot tajam. Adanya laporan rilis hasil survey bersumber dari The Asian Parent kepada orangtua yang menunjukkan sikap tidak setuju dan setuju bahwa bulan Juli 2020 anak untuk masuk sekolah tahun ajaran baru selama masa pandemi Covid-19 belum berakhir (Anisyah Kusumawati, 2020).
Hasil survey tersebut memberikan gambaran bentuk- bentuk sikap tidak setuju bersekolah mengarah pada alasan:
- Kasus covid19 semakin tinggi
- Khawatir anak tertular oleh COVID-19 dalam perjalanan berangkat-pulang ke sekolah
- Wastafel di sekolah masih minim
- Jarang ada sabun cuci tangan di toilet dan wastafel sekolah
- Toilet sekolah tidak bersih
- Air terbatas
Untuk sikap-sikap orangtua setuju tetap bersekolah di bulan Juli adalah sebagai berikut:
- Sudah jenuh mendampingi anak belajar di rumah
- PJJ tidak dapat maksimal dilaksanakan karena keterbatasan peralatan daring yang memadai dan siswa kesulitan membeli data internet
- Kesulitan membeli kuota untuk pembelajaran daring
- Kasihan anak-anak terlalu berat dalam melaksanakan tugas-tugas daring
- Anak selama PJJ mengalami kelelahan mata karena mengerjakan tugas melalui telepon genggam
Oleh sebab itu, dalam memperingati Hari Anak Nasional 2020, maka penulis menyarankan agar orangtua tetap menyekolahkan anak pada jenjang usia dini. Mengingat usia-usia lahir - 6 tahun merupakan fase yang berisi pengalaman belajar menyenangkan dan bermakna bagi anak. Usia tersebut membutuhkan segala pengetahuan yang diperoleh melalui kegiatan mengeksplorasi lingkungan sekitar. Masa usia dini merupakan masa yang tidak akan pernah kembali pada usia remaja. Meskipun kita menyadari dalam kondisi pandemi Covid-19 yang belum diketahui kapan berakhir, lebih baik tetap menjalin kerja sama dengan pihak sekolah dalam bentuk program keterlibatan orangtua dalam penyelenggaraan PAUD. Para pendidik PAUD, kepala sekolah, dan pemerhati anak senantiasa merapatkan barisan dan menyuarakan betapa pentingnya agar tetap menyekolahkan anak usia dini di masa pandemi COVID-19.
Hal tersebut bertujuan untuk memberikan kesadaran ke orangtua bahwa, disadari atau tidak, anak-anak kita adalah korban yang paling banyak secara kasat mata apabila memutuskan tidak mau menyekolahkan dan melakukan pendampingan pembelajaran di rumah selama COVDI-19 di Indonesia masih mewabah. Dampak yang akan dirasakan oleh anak-anak kelahiran tahun 2011 ke atas merupakan dampak yang bersifat jangka pendek dan jangka panjang. Terutama anak-anak pada kelahiran tahun 2011 merupakan termasuk generasi alfa yang menjadi tantangan demografi oleh seluruh pihak dalam menyambut 100 tahun kemerdekaan Indonesia.(*)
*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co