Opini

Menata Sawit ke Depan

Kaltim Today
27 Desember 2025 09:59
Menata Sawit ke Depan
Penulis, Doddy S. Sukadri, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau (YMH).

Oleh: Doddy S. Sukadri, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau

BENCANA Sumatera yang secara masif telah memporak-porandakan Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada awal Desember 2025 lalu telah melampaui batas krisis ekonomi, ekologi, dan kemanusiaan dengan angka fatalitas yang signifikan. Berdasarkan data terakhir dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan laporan Basarnas, angka kematian di ketiga wilayah provinsi tersebut telah mencapai lebih dari seribu jiwa. Bencana ini juga menghancurkan fasilitas jalan, memutuskan ratusan jembatan, serta menimbulkan ancaman kelaparan yang serius dan kekurangan air bersih di berbagai wilayah terdampak.

Berbagai pihak menyampaikan bahwa bencana ini terkait erat dengan krisis iklim, krisis ekologi, dan krisis lingkungan. Banyak pihak menuding salah satu penyebabnya adalah alih guna lahan dan kehutanan yang tidak terkendali dengan baik. Deforestasi yang dilanjutkan dengan pembangunan kebun kelapa sawit besar-besaran telah mengubah bentang alam (landscape) wilayah tersebut sehingga menjadi rawan banjir, erosi, dan tanah longsor.

Sawit atau Hutan?

Terlepas dari pro-kontra pembangunan perkebunan kelapa sawit, pada kenyataannya dalam lima tahun terakhir, luas kebun kelapa sawit di Indonesia telah mencapai 17 juta hektar. Dari luas tersebut, lebih dari 10 juta hektar (63%) berada di Sumatera, dan sisanya tersebar di Kalimantan, Sulawesi, serta pulau-pulau lainnya. Luas ini setara dengan luas negara Austria atau Portugal dan lebih besar dari Yordania. Provinsi Riau merupakan kawasan terbesar kebun sawit di Sumatera.

Dalam perspektif ekologi dan lingkungan, keberadaan hutan alam (khususnya di lahan mineral) jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan kelapa sawit. Hutan alam memiliki lapisan tajuk yang nyaris sempurna, terdiri dari lapisan atas, tengah, dan bawah. Di bagian terbawah, tanahnya tertutup serasah yang berlapis-lapis dan tebal seperti spons.

Apabila terjadi hujan, lapisan tajuk tersebut akan menahan curahan air sehingga tidak langsung menuju permukaan tanah. Selain itu, “spons” berupa serasah tersebut akan menyerap air hujan sehingga mengurangi lapisan air di permukaan tanah (run-off) dengan cukup signifikan. Dengan demikian, hutan alam akan menjaga kawasan di sekitarnya dari bahaya banjir dan erosi. Hutan alam di daerah tropis juga menjadi tempat berkembang biaknya berbagai jenis vegetasi dan keanekaragaman hayati yang sangat bermanfaat untuk kehidupan manusia. Apabila musnah, maka akan mengganggu keseimbangan ekologis bumi.

Sebaliknya, perkebunan kelapa sawit tidak dapat menggantikan fungsi hutan alam tersebut. Jenisnya yang monokultur tidak mampu menjadi pelindung biodiversitas. Struktur tajuknya, ketiadaan serasah, dan perakarannya yang dangkal justru menjadi penyebab aliran permukaan yang tinggi pada saat hujan besar, sehingga menjadi rawan banjir dan menimbulkan erosi tanah yang hebat seperti bencana Sumatera.

Dampak Iklim

Pembangunan kebun sawit di Indonesia tidak hanya terjadi di lahan mineral, tetapi juga di lahan basah pesisir dan lahan gambut yang luas. Dari perspektif perubahan iklim, pembangunan kebun sawit di pesisir sangat membahayakan karena merusak perlindungan alami dari abrasi pantai yang biasanya ditumbuhi jenis Rhizophora atau Bruguiera.

Untuk lahan gambut, perlu dipahami bahwa ia merupakan gudang raksasa karbon organik. Apabila lahan gambut dikeringkan untuk ditanami sawit, maka gas karbon yang jumlahnya luar biasa besar akan keluar menjadi gas karbon dioksida (CO2​) yang merupakan gas utama penyebab pemanasan global.

Perlu dicatat bahwa dari 17 juta hektar kebun sawit di Indonesia, sebanyak 4,8 juta hektar (28%) berada di lahan gambut. Sumatera (terutama Riau), Kalimantan Tengah, dan Papua merupakan wilayah dengan dominiasi lahan gambut terbesar. Menurut para ilmuwan, emisi gas CO2​ yang dikeluarkan dari lahan gambut yang ditanami sawit cukup besar, yaitu antara 31,4 hingga 38 ton CO2​ per hektar per tahun. Bisa dibayangkan besarnya emisi yang dikeluarkan saat pemerintah tengah gencar meluncurkan program pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan.

Saran Perbaikan

Pemerintah nampaknya perlu mempertimbangkan untuk segera melakukan reformasi dalam pembangunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Moratorium pembangunan sawit adalah salah satu pilihan kebijakan yang perlu segera diterapkan, terutama di lahan gambut. Dengan 17 juta hektar lahan sawit yang ada, nampaknya sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kepentingan ekonomi dan kebutuhan dalam negeri.

Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana meningkatkan produktivitas agar mampu bersaing dengan negara pesaing. Jadi bukan dengan ekstensifikasi luas areal, tapi dengan intensifikasi, efisiensi, dan melakukan hilirisasi produksi untuk meningkatkan nilai tambah.

Sekitar 50% kebun sawit dikelola korporasi besar, 40% oleh petani pekebun, dan 10% oleh perusahaan negara. Perhatian perlu diarahkan kepada petani pekebun untuk meningkatkan kapasitasnya, membantu sarana prasarana, menyediakan benih dan pupuk berkualitas, serta membangun koperasi di antara mereka.

Barangkali sudah saatnya Pemerintah memikirkan agar aset sebesar ini berada dalam struktur pemerintahan yang tersendiri dengan kewenangan jelas terkait perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaan. Saat ini, sawit ditangani oleh lebih dari 30 Kementerian/Lembaga dari hulu ke hilir. Tumpang tindih kewenangan ini membingungkan para pihak. Hal ini menjadi lebih rumit ketika Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) di tingkat daerah tidak seragam antara satu provinsi/kabupaten dengan lainnya. (*)


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya