Headline

Jokowi Abaikan Putusan MK, Aliansi Akademisi Serukan Masyarakat Batalkan Omnibus Law

Kaltim Today
02 Desember 2021 13:59
Jokowi Abaikan Putusan MK, Aliansi Akademisi Serukan Masyarakat Batalkan Omnibus Law

Kaltimtoday.co, Samarinda - Aliansi Akademisi Tolak Omnibus Law menyerukan masyarakat untuk menolak pemberlakuan Undang Undang (UU) 11/2020 tentang Cipta Kerja dan seluruh aturan turunannya. 

Seruan itu disampaikan sebagai tindaklanjut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang mengabulkan uji formil terhadap UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Di mana, menurut mereka, dalam putusan itu MK sudah memberikan penegasan tentang prosedur ugal-ugalan dalam pembentukan UU Cipta Kerja.

"Pemerintah dan DPR telah melakukan penyimpangan terhadap tata cara pembentukan UU sebagaimana yang diatur dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jalan pintas pembentukan UU yang menghalalkan segala cara, untuk memuaskan kepentingan investasi harus kita tolak!" kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, Rabu (1/12/2021) kepada Kaltimtoday.co. 

Ditegaskan Herdiansyah Hamzah, dikabulkannya uji formil oleh MK itu, maka secara ex-officio juga turut membatalkan substansi atau materi UU a quo secara keseluruhan.

Pengamat Hukum Unmul, Herdiansyah Hamzah.
Pengamat Hukum Unmul, Herdiansyah Hamzah.

Ibarat salat, sebut dia, jika wudu-nya tidak benar, maka batal pula salat-nya. Maka tidak mengherankan jika MK pada akhirnya menolak keseluruhan uji materi UU a quo, sesaat setelah uji formil UU a quo dikabulkan. Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah menyatakan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. 

Atas putusan MK itu, Aliansi Akademisi Tolak Omnibus Law menyatakan, pemerintah dan DPR seharus tunduk terhadap seluruh amar putusan MK. Namun anehnya, Presiden Jokowi justru memberikan tafsir berbeda terhadap amar putusan MK tersebut, tanpa merujuk kepada keseluruhan makna putusan MK sebelumnya, khusunya yang berkaitan frase “inkonstitusional bersyarat”.

Presiden Jokowi bahkan secara terbuka memberikan pernyataan jika UU 11/2020 tentang Cipta Kerja beserta aturan turunannya tetap dapat dijalankan tanpa terpengaruh oleh putusan MK tersebut. 

Pernyataan Presiden Jokowi dapat ditonton melalui kanal resmi Sekretariat Negara berikut ini: https://youtu.be/yQBApvSs6Pg.

Menurut pria yang akrab disapa Castro tersebut, pernyataan yang cenderung menyesatkan publik yang disampaikan Jokowi mesti diluruskan. Pasalnya, pernyataan Jokowi itu seolah menjadi jaminan para investor dan kelompok oligarki yang berkepentingan terhadap UU a quo. 

Dijelaskan Castro, perihal penafsiran inkonstitusional bersyarat (conditionaliy unconstitutional) sendiri, dijelaskan oleh MK dalam putusannya Nomor 4/PUU-VII/2009. Dalam putusan a quo, MK berpendapat bahwa inkonstitusional bersyarat adalah tidak konstitusional sepanjang tidak dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh MK.

Oleh karena itu, dalam putusan 91/PUU-XVIII/2020 yang memerintahkan untuk melakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan tersebut diucapkan, adalah syarat mutlak agar UU 11/2020 tentang Cipta Kerja dapat dinyatakan konstitusional.

Dengan demikian, UU a quo adalah inkonstitusional pada saat putusan dibacakan dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi saat putusan MK, dalam hal ini Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU.

Sehingga, berdasarkan putusan MK tersebut,  maka keberlakuan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja beserta seluruh aturan turunannya, harus ditangguhkan sampai syarat konstitusionalitasnya terpenuhi.

Hal ini, kata Castro, disebutkan secara eksplisit dalam amar putusan MK, yang menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Makna strategis dan berdampak luas sendiri diuraikan secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 4 UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, yang pada initinya mencakup 11 klaster yang diatur dalam UU a quo beserta aturan pelaksananya. Untuk itu, keberlakuan aturan pelaksana dari UU a quo juga harus ditangguhkan, hingga dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun.

Berikut pernyataan sikap dan seruan lengkap dari Aliansi Akademisi Tolak Omnibus Law:

1. Presiden telah mengabaikan putusan MK, dengan menyatakan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja beserta seleuruh aturan pelaksananya tetap berlaku dan dapat dijalankan. Ini jelas merupakan pemabangkangan terhadap putusan MK yang dapat dikategorikan sebagai penghinaan terhadap peradilan (contempt of court).

2  Menolak pemberlakuan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja beserta seluruh aturan pelaksananya, sebagaimana yang disebutkan secara eksplisit baik dalam amar putusan maupun pertimbangan putusan MK.

3. Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, dari berbagai sektor, yang telah menjadi korban dari Omnibus Law UU Cipta Kerja yang pro investasi, untuk terus melancarkan aksi-aksi menuntut agar UU 11/2020 tentang Cipta Kerja dibatalkan secara permanen.

[TOS]



Berita Lainnya