Opini

Keteladanan

Kaltim Today
10 Juli 2020 08:03
Keteladanan

Oleh: Ustad Rifqi Rosyidi Lc., M.Ag

Semua nabi dan rasul utusan Allah adalah pribadi pilihan yang wajib dijadikan teladan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Tetapi dari sekian nabi dan rasul yang disebutkan di dalam al-Quran, hanya ada dua nabi yang secara khusus keteladanannya diungkapkan dengan kata uswatun hasanah; yaitu nabi Muhammad dan nabi Ibrahim.

Khusus keteladanan Nabi Muhammad diungkapkan di surat al-Ahzab ayat 21: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasululah itu suri tauladan yang baik bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. Sedangkan nabi Ibrahim dikukuhkan sebagai uswatun hasanah di surat al-Mumtahanah ayat 4 dan 6: ”Sungguh telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari pada kamu dan dari pada apa yang kamu sembah selain Allah …” (Q.S. al-Mumtahanah [60]: 4); “sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; yaitu bagi orang-orang yang mengharap pahala Allah dan keselamatan pada hari kiamat…” (Q.S. al-Mumtahanah [60]: 6)

Secara umum, umat Islam wajib berusaha untuk berperilaku seperti Rasulullah dan patuh mengikuti semua tradisi profetik yang diajarkan melalui ucapan dan perbuatannya. Tetapi yang menarik untuk dikaji adalah pernyataan keteladanan nabi Muhammad yang diungkapkan secara khusus dengan bahasa uswatun hasanah ini disebutkan di sela-sela rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang suasana perang Khandaq.

Ibnu Katsir (774 H) mengatakan bahwa, ayat ini merupakan landasan penting bagi umat Islam untuk meneladani Rasulullah dalam segala hal. Dengan menggunakan tinjauan kebahasaan, ayat tersebut bukan sekedar informasi tentang pengukuhan nabi sebagai teladan, tetapi juga mengandung perintah kepada semua manusia untuk menjadikan Rasulullah sebagai teladan dalam berperilaku dan bersikap. Tidak hanya terbatas ketika dalam suasana perang Khandaq saja, tetapi Rasulullah harus menjadi teladan yang mewarnai semua sisi kehidupan kita, karena semua sikap dan perilaku nabi Muhammad merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai al-Quran.

Perang Khandaq secara khusus memberi tantangan psikologis tersendiri bagi para sahabat karena perang ini terjadi pada masa paceklik, di samping itu strategi perang yang akan dijalankan juga sangat tidak lazim dan tidak populer di kalangan bangsa Arab, yaitu dengan menggali parit besar sebagai upaya menutup akses memasuki ke kota Madinah, dan strategi ini juga bukan gagasan nabi sendiri.

Dalam hal ini, Imam al-Mawardi (450 H) mengatakan bahwa, keteladanan yang dimaksud di dalam ayat ini adalah perintah bagi umat Islam untuk tetap bersabar membersamai rasulullah dalam setiap peperangan dan kegiatan dakwahnya. Dan keteladanan rasulullah yang ikut langsung di dalam menggali parit, mengangkat pasir, memecahkan bebatuan dan selalu menggelorakan semangat para sahabat dengan senandung-senandung spiritual memberi pesan penting bagi para pemimpin untuk tidak memaksakan gagasan dan kehendak pribadi tetapi seorang pemimpin harus mampu menggali ide krearif para anggota dan warganya. Dan ketika beberapa sahabat menunjukkan perutnya yang sudah diganjal dengan batu karena lapar, ternyata rasulullah juga demikian bahkan sudah mengganjal dengan dua batu. Apa yang dilakukan rasulullah benar-benar pembelajaran bagi para pemimpin bahwa jabatan adalah amanah yang tidak terkait dengan kenyamanan fasilitas dan menuntut terpenuhinya semua keinginan.

Sebagaimana yang telah dilakukan ketika perang Badar, pada perang Khandaq ini juga rasulullah tidak putus berdoa kepada Allah, sehingga para sahabat pun berusaha untuk “memberhentikan” doa nabi karena dalam perspektif sahabat al-Quran telah banyak memberi isyarat kemenangan dan kepastian terkabulnya do`a nabi, tetapi rasulullah tetap berdoa dan terus berdoa untuk memberikan pembelajaran bahwa doa itu bukan hanya bertujuan memohon kepada Allah untuk mewujudkan yang belum terwujud dan mengadakan yang belum ada, tetapi hakikat do`a itu merupakan ibadah dalam rangka menjaga kedekatan dengan Allah sebagai bentuk kelemahan seorang hamba yang membutuhkan kekuatan Dzat yang Maha Kuat, sehingga yang sudah ada tetap bertahan bahkan semakin bertambah kualitas dan kuantitasnya. Maka perspektif berdoa di dalam shalat ketika membaca: “ihdinâ ash-shirâth al-mustaqîm” bukan diartikan dengan tunjukanlah kami jalan yang lurus tetapi perspektifnya adalah tambahkanlah petunjukmu agar kami senantiasa berjalan di jalan yang lurus..

Perang Khandaq bagi umat Islam merupakan momentum untuk membangun kepercayaan diri dan membangun pondasi tauhid yang kuat di hadapan hegemoni kekuatan komunitas musyrik. Melalui totalitas nabi di dalam berdoa, melibatkan sahabat dalam menyiapkan strategi perang serta mencurahkan semua kekuatan dalam berikhtiar dengan ikut langsung dalam menggali parit, pondasi tersebut sampai saat ini menjadi syiar iman umat Islam seluruh dunia dan yang sering dikumandangkan secara verbal meskipun secara substansial nilai-nilainya tidak lagi mewarnai pola kehidupan umat Islam: lâ ilâha illâ Allâhu wahdahû, shadaqa wa`dahû, wa nashara `abdahû, wa a`azza jundahû, wa hazama al-ahzâba wahdahû”.

Makna kontekstual dari ungkapan profetik tersebut sebenarmya merupakan doktrin psiko-spiritual dan sosio-kultural; “janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya kamulah orang-orang yang paling unggul, jika kamu orang-orang yang beriman”. Dengan identitas keislaman yang jelas umat Islam harus membangun kepercayaan diri menjadi khaira ummah. Landasan inilah yang akan membangun pribadi tangguh, memegang prinsip dan tidak goyah menghadapi gempuran kekuatan-kekuatan lain, karena di alam bawah sadar mereka telah terbangun keyakinan akan kebenaran janji Allah, tidak ada keraguan bahwa Allah akan selalu membantu dan memuliakan hamba-hambaNya dalam memperjuangkan Islam.

Tauhid inilah yang diperjuangkan oleh para nabi dan rasul dalam dakwahnya. Tauhid inilah yang menjadikan ashhâbul kahfi menjadi pemuda-pemuda yang berbeda di zamannya. Tauhid inilah yang menggerakkan nabi Ibrahim dan Musa meruntuhkan hegemoni raja-raja yang menumbuhkembangkan perilaku-perilaku yang menyimpang dengan kekuatan dan kekuasaannya yang otoriter.(*)

*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya