Opini
Kritisnya Dunia Penyiaran
Oleh: Akbar Ciptanto, S.Hut, MP.Sc (Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Kaltim)
Memasuki usia 18 tahun, bagi sebuah Undang Undang (UU) merupakan masa-masa kritis, apalagi UU itu terkait teknologi, informasi, dan komunikasi, betapa sangat tertinggalnya peraturan tersebut. Perubahan, itu pasti dan sebuah keharusan.
Inilah yang dirasakan ketika membuka Undang Undang Nomor 32/2002 tentang Penyiaran. Menjadi sangat krusial, karena perkembangan teknologi dan semakin beragamnya media, ternyata tidak dibarengi dengan ketersediaan infrastruktur peraturan.
Rancangan Undang Undang (RUU) Penyiaran terus terkatung-katung, meski telah masuk dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) sejak 2010. Sedemikian hebatnya konflik kepentingan dan tangan-tangan yang bermain, membuat RUU ini tak kunjung selesai dibahas hingga 2020. Bahkan, nasibnya terus menggantung hingga RUU Penyiaran kembali dianulir sebagai Prioritas Prolegnas 2020.
Mengapa mejadi sangat krusial, lihat saja konten media digital yang semakin bebas berkeliaran tanpa batas dan aturan. Bahasa cacian, makian, hinaan, hingga perlakuan kasar, prank tak bermutu, serta kekerasan secara fisik dan psikis terus menghiasi dunia internet Indonesia. Bahkan berita hoax terkait politik, pemerintah, dan pejabat negara sedemikian mudahnya dibuat.
Sementara dunia penyiaran yang memanfaatkan frekuensi yang dipinjamkan negara, secara ketat diatur dalam UU Penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar program Siaran (P3SPS). Tujuannya jelas, agar dunia penyiaran menyajikan tontonan yang ramah terhadap anak dan bermanfaat bagi khalayak.
Berbanding terbalik dengan konten digital yang sangat mudah diakses melalui gawai. Tidak hanya menjadi momok bagi dunia pertelevisian, tetapi ancaman nyata bagi moral anak bangsa. Jika tidak segera diatur, maka degradasi moral generasi milenial dan generasi Z akan nyata terjadi.
UU Penyiaran yang ada saat ini, jelas tidak dapat mengakses, menyentuh, hingga menindak tegas konten tidak bermoral dalam dunia internet. Hal ini lah yang menjadi pertanyaan mendasar yang disuarakan publik dan dikeluhkan media penyiaran atau media mainstream.
Tentu tidak adil melihat kondisi ini. Media penyiaran diawasi sangat ketat dalam payung regulasi serta memberikan kontribusi bagi pemasukan negara, sementara dunia internet masih bebas bergerak tanpa pengawasan dan belum memberikan sumbangsih nyata.
Memaknai perkembangan dan pertumbuhan dunia penyiaran yang sangat-sangat dinamis, tak sekadar mengubah teknologi analog menjadi digital, tetapi harus diakui jika perubahan ini merupakan solusi atas keterbatasan frekuensi dan ketidakefisienan pada penyiaran analog. Keuntungan yang paling dirasakan, yakni meningkatnya resolusi gambar dan suara yang lebih stabil sehingga kualitas penerimaan oleh penonton akan lebih baik.
Namun, sebelum berbicara perubahan digitalisasi dunia penyiaran, maka harus jelas langkah-langkah yang diambil pemerintah agar migrasi ini berhasil. Banyak aspek yang harus dipertimbangkan, seperti kebijakan simulcast dan switch off, sosialisasi ke masyarakat, pengadaan set-top-box (STB), ketersediaan pusat layanan informasi, dan kejelasan regulasi sebagai aturan main bila terjadi pelanggaran selama proses migrasi, hingga penyelenggara negara yang memainkan peran penting untuk menegakkan aturan.
Selain itu, pemerintah juga harus mencermati ketimpangan sosial ekonomi sebelum menyongsong era digitalisasi penyiaran. Tak perlu malu untuk mencontoh negara lain dalam proses migrasi ini. Seperti langkah pemerintah Amerika Serikat yang mendanai perangkat STB bagi masyarakat tak mampu.
Dari segi infrastruktur, digitalisasi juga memerlukan persiapan matang seperti peralatan teknis dan program siaran yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Jangan sampai kehadiran teknologi ini malah menjadi karpet merah bagi pemodal asing dan monopoli bagi pengusaha media.
Pemerintah sudah seharusnya mendorong industri dalam negeri dalam upaya mendukung migrasi sistem penyiaran. Apalagi STB sudah dapat dibuat oleh industri dalam negeri dengan berbahan baku dari bumi nusantara.
Bahkan putra putri bangsa ini juga mampu menghasilkan konten bermutu, bahkan banyak industri konten lokal yang berdiri. Kehadiran digitalisasi tentu harus dibarengi dengan peningkatan kualitas dan kuantitas konten yang dihasilkan.
Pemerintah juga harus peduli dengan industri pembuatan perangkat lunak aplikasi layanan (software) guna mendukung sistem penyiaran digital, dengan menelurkan kebijakan teknologi yang mendukung pertumbuhan industri kreatif.
Teknologi tentu memiliki posisi yang strategis dalam pemberian nilai-nilai ke masyarakat, sehingga sudah sewajarnya pemerintah untuk terus menjaga nilai-nilai kebudayaan Indonesia melalui kebijakan yang berat kepada masyarakat.(*)
*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co