Opini
Masuk Sekolah, Siapa Jadi Tumbal?
Oleh: Mohammad Makmun Qomar, M.Pd. (Guru SMP Negeri 12 Samarinda)
Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri tentang Panduan Penyelengaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19. Hal ini berarti proses pembelajaran di sekolah dapat dilaksanakan kembali dengan persyaratan-persyaratan protokol kesehatan yang ketat.
Surat Keputusan Bersama (SKB) sekolah akan dibuka tidak lagi berdasar zona hijau atau oranye saja. Semua zona bisa melakukan pembukaan sekolah dengan persetujuan pemda, sekolah, terutama wali murid. Semua mempunyai tugas masing-masing sesuai porsinya. Pemda yang sangat mengetahui kondisi daerah, tenaga kesehatan, transportasi yang aman dari Covid-19, mobilitas warganya. Sekolah yang paling mengetahui kesiapan fasilitas protokol kesehatan dan kondisi guru-gurunya. Wali murid yang paling mengetahui kondisi anak dan keluarganya.
Surat Keputusan Bersama (SKB) di atas tentang peserta didik sudah bisa masuk sekolah disambut pro dan kontra berbagai kalangan. Wali murid, guru sekalipun banyak yang bergembira. Mereka kesulitan adaptasi dengan Pembelajaran Jarak Jauh. Relawan atau instansi kesehatan yang gencar menghalau Covid-19 kabar tersebut menjadi pukulan berat karena pandemi ini belum ada trend turun dan mendekati normal bahkan beberapa daerah masih cengderung merah. Begitu juga dengan Pemerintah daerah terkhusus Dinas Pendidikan harus melakukan kajian mendalam terhadap kebijakan akan kembali ke sekolah ini.
Wali murid yang berada di rumah yang berhadapan langsung dengan anaknya yang sedang Pembelajaran Jarak Jauh terutama yang tidak dapat memimbing, tidak bisa menjelaskan, tidak bisa menjawab kalau anaknya bertanya tentu menjadi kabar yang menggembirakan. Mereka merasa beban itu agar segera lepas. Tidak harus marah-marah ketika ditanya oleh anaknya. Kemarahan sebagai bentuk ketidakmampuan menjawab. Belang orang tua kelihatan bahwa beliau dulunya tidak pandai saat sekolah sehingga beban orang tua bertambah. Beban psikologis karena kelihatan bodoh di depan anak-anaknya. Beban ekonomi karena anak-anaknya minta handphone sebagai fasilitas Pembelajar Jarak Jauh, padahal untuk kebutuhan makan saja masih kesulitan. Bayangkan kalau anaknya ada tiga yang sedang proses Pembelajaran Jarak Jauh dan minta handphone semuanya.
Ketertutupan orang tua kepada anak-anaknya menjadi piranti penghambat dalam Pembelajaran Jarak Jauh. Selama ini tidak kelihatan kalau orang tuanya kurang pandai saat sekolah. Sehingga orang tua dapat bertindak semau-maunya kalau menyuruh anak untuk belajar. Apalagi kalau hasil belajarnya nilai jelek, keluar kata-kata sumpah serapah anggota kebun binatang untuk mengintimidasi anaknya. Kata-kata itu yang terkesan biasa saja bagi yang biasa berbicara kasar begitu. Bagi beberapa anak, kata-kata yang tidak terhormat akan tersimpan entah sampai kapan dan mungkin akan berlanjut saat anak tersebut menjadi orang tua. Berlanjut dan terus dari generasi ke generasi. Patut digaris bawahi bahwa kata-kata yang tak pantas keluar dari orang tua terutama seorang ibu mempunyai kekuatan kata yang hebat dan secara tidak langsung tercatat sebagai doa. Sangat merugikan dan bahaya bagi mental dan masa depan anak-anaknya.
Sejak Covid-19 menjadi pandemi dan sekolah ditutup kemudian dilaksanakan Pembelajaran Jarak Jauh, tidak sedikit orang tua yang tertekan oleh proses pembelajaran tersebut. Anak-anaknya yang terus merengek minta bimbingan dan tidak mampu memberi solusi telah membuat hubungan tidak nyaman dengan anaknya. Padahal membimbing anak adalah tugas utama orang tua. Ketika itu dikembalikan ke orang tua banyak dari mereka yang mengeluh. Bagaimana dengan guru yang harus membimbing tidak hanya satu atau lima anak. Beliau harus membimbing ratusan anak dengan kemauan yang beraneka ragam. Belum lagi anaknya di rumah yang harus ditemani dan dibimbing juga. Hal ini harapannya akan kembalinya peran guru dan orangtua pada porsi yang tepat. Tidak ada lagi penghinaan, perendahan martabat guru oleh orangtua.
Kerendahan hati orang tua dengan keterbukaan mohon maaf mengakui tidak dapat mengajar, membimbing adalah sebuah kemulian. Mengakui dengan keterbukaan, berbicara dengan kelembutan yang akan membawa kesadaran anak pada sebuah penghormatan, dan kemulian. Kerendahan hati orangtua, keterbukaannya akan membuka jalan kemandirian, menyelesaikan tugas-tugas yang diemban anak-anaknya.
[irp posts="25008" name="Kebijakan KBM Tatap Muka Januari 2021 Masih Prematur (?)"]
Wali murid yang menyetujui dibukanya kembali sekolah harus memperhitungkan kondisi anaknya. Sehat apakah tidak. Bagiamana kondisi keluarga, apakah sehat semua. Apakah tidak ada yang sedang sakit berat. Ketika si anak pulang dari sekolah yang ternyata membawa virus maka yang harus diwaspadai anggota keluarga yang sedang sakit, orangtua yang sudah lemah. Hal ini harus menjadi pertimbangan agar keputusan wali murid tidak menjadikan bumerang bagi keluarganya sendiri. Jangan sampai lepas satu masalah membuka masalah yang lebih besar.
Guru yang bergembira dengan kabar ini, bisa ditafsirkan mungkin beliau mengalami kesulitan yang sangat berat melakukan Pembelajaran Jarak Jauh. Sinyal ini sebagi tanda beliau mempunyai komitmen untuk melakukan proses pembelajaran. Semangat mengajarnya perlu menjadi teladan. Antusiasme bertemu dengan peserta didik secara langsung untuk mengobati kekangenannya saat bisa tertawa bersama, diskusi, dan mentrasfer nilai-nilai kehidupan. Guru yang hebat tentu bukan hanya guru yang dapat mengajar materi pembelajarannya saja tetapi dapat mengelaborasi dan kolaborasi kondisi, nilai-nilai dan tata krama lingkungan dalam pembelajarannya. Hal ini ada jalan buntu yang harus dapat ditembus saat Pembelajaran Jarak Jauh.
Guru yang kesulitan beradaptasi dengan Pembelajaran Jarak Jauh akan merasa tertekan karena tidak dapat menjadi guru yang baik. Sedikit banyak keadaan ini menjadi beban. Apalagi banyak para guru yang lain sudah dapat beradaptasi dengan pembelajaran ini. Dia menggerutu kapan keadaan ini segera kembali normal kembali. Padahal cengkraman pandemi Covid-19 ini pada sendi-sendi kehidupan manusia sangat hebat, entah sampai kapan dia akan melepasnya.
Guru yang gaptek teknologi akan terpenjara dengan Pembelajaran Jarak Jauh. Salah satu kunci adaptasi Pembelajaran Jarak Jauh adalah dapat bergaul dengan teknologi walaupun masih banyak kendala. Berani belajar dan mencoba adalah jalan keluar dari kegagapan teknologi. Tidak bisa menyalahkan teknologi karena dia akan terus berkembang bahkan mungkin akan melebihi perkembangan zamannya. Kalau guru tetap bangga denga status quonya, alamat akan terlindas dan mati berdiri di kerumunan teknologi yang tertawa melihatnya. Berani belajar dan mencoba, akan bisa.
Belajar Memahami Covid-19
Siapakah manusia yang tidak akan pernah mendengar Covid-19 di bumi ini. Hamparan bumi yang berisi manusia yang saling bertemu langsung, satu dengan lainnya bepergian dari tempat bebas atau pandemi Covid-19 tanpa pembatasan dan pengecekan dapat disimpulkan semua daerah telah tersebar Covid tersebut. Adakah yang terbebas daerah dari Covid-19. Mungkin banyak yang menjawab daerah saya zona hijau berarti sudah bebas Covid-19. Pertanyaannya apakah semua penduduknya sudah melakukan pengecekan kesehatan, kalau belum dan tidak ada yang pasti maka dapat dipastikan tiba-tiba Covid-19 akan menusuk dari belakang.
Adakah daerah yeng terbebas dari Covid-19. Ada. Di daerah yang tidak terjadi perpindahan manusia. Manusianya hanya berada di kawasan itu dan tidak ada yang keluar daerah dan tidak ada yang masuk. Daerah terisolasi. Manusia-manusia di tengah hutan. Dan mungkin berita pandemi Covid-19 pun tidak mendengar. Inilah manusai yang paling selamat dari pandemi ganas ini.
Detesi kasus secara mandiri yang dilakukan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) hingga 18 Mei 2020 menunjukkan temuan sebagai berikut: Pasien dalam pengawasan (PDP) usia anak sebanyak: 3.324 kasus,, Anak berstatus PDP meninggal: 129 kasus, Anak terkonfirmasi positif COVID-19: 584 kasus, Anak meninggal karena COVID-19: 14 kasus. Berdasar data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 pada 6 Agustus 2020, 1 persen dari jumlah kematian tersebut berusia 0–5 tahun dan 1,1 persen berusia 6–18 tahun. Data American Academy of Pediatrics menunjukkan, terdapat 338.982 kasus Covid-19 pada anak (0–24 tahun) atau 8,8 persen. Data ini memberi gambaran bahwa anak-anak juga rentan terhadap bahaya Covid-19.
Penularan Covid-19 melalui droplet, menyebar melalui udara. Sehingga untuk menbatasi penyebaran itu harus memakai masker, jaga jarak dan cuci tangan secara rutin. Sepertinya sederhana, tetapi pelaksanaan tentu tidak mudah. Perhatikan orang-orang dewasa saja tidak disiplin dengan protokol itu. Mereka lebih sering terlihat menurunkan masker hanya menutup mulutnya saja bahkan tidak sedikit dibiarkan dilehernya. Membudayakan memakai masker pada orang dewasa banyak kendala bagaimana kalau sekolah dibuka. Para peserta didik, guru, dan pegawai yang lain harus memakai masker secara benar. Di sekolah harus ditunjuk tim sekolah sebagai pengawas dan pemberi sanksi dalam pemakain masker yang benar. Kalau pengawasan lemah, alamat kluster baru akan berkembang di sekolah. Menakutkan.
Kebijakan Trial and Error
Idealnya sebelum sekolah dibuka semua keluarga besar sekolah sudah di vaksinasi Covid-19. Hal ini lebih aman, nyaman dan proses pembelajaran tidak menakutkan. Tetapi kalau dirasa memang vaksinasi masih lama untuk sementara waktu membuka sekolah dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Langkah awal memastikan bahwa protokol kesehatan sudah siap yang jangka panjangnya harus menjadi budaya. Slogan Ingat Pesan Ibu dengan 3M yang isinya memakai masker, menjaga jarak, sering cuci tangan harus menjadi pembelajaran setiap hari. Sekolah harus terus mengajarkan 3M dengan pengawalan ketat.
Saat pimpinan sekolah mengajukan diri ke pengambil kebijakan siap membuka sekolahnya, saat itu kepala sekolah harus jujur dalam mengisi angket atau persyaratan lain. Kadang kala pimpinan sekolah ewah pekewuh dengan permintaan atasannya. Sekolah harus terbuka dan jujur secara independen dalam memutuskan membuka kembali sekolah atau tidak. Pihak sekolah bersama komite sekolah harus memutuskan bersama. Jangan sampai sekolah membohongi publik bahwa semua fasilitas dan sarana pendukung lengkap padahal masih banyak compang-campingnya. Kalau hal ini terjadi peserta didik, guru, orang tua wali, dan keluarganya akan menjadi korban kebijakan yang salah itu. Jangan sampai sekolah mengambil kebijakan trial and error. Sangat berbahaya.
Seyogyanya ketika sekolah menyatakan kesiapan membuka sekolah, ada pihak berwenang yang telah mempunyai lisensi untuk mengawasi awal pembukaan perjalanan pembelajaran tersebut. Pihak berwenang inilah yang akan menjadi wasit kebijakan kembali ke sekolah. Beberapa hari mereka ada di sekolah. Setiap hari memberi evaluasi kepada sekolah. Setelah dirasa sudah memenuhi persyaratan yang ditentukan, sekolah dapat melanjutkan programnya. Kalau gagal maka sebaiknya untuk sementara waktu sekolah ditutup kembali sambil memperbaiki diri.
Riwayat bepergian keluarga sekolah harus diketahui tim protokol kesehatan sekolah. Hal ini untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Sebagai langkah pencegahan. Keluarga sekolah yang baru pulang dari daerah yang zona merah sebaiknya isolasi mandiri di rumah masing-masing dan tidak diperkenankan ke sekolah. Ini akan lebih memberi rasa aman bagi pelaksanaan pembelajaran di sekolah.
[irp posts="24249" name="Sekolah Kembali Dibuka, Bijakkah?"]
Guru-guru yang mempunyai penyakit komorbid harus didata. Guru-guru yang mempunyai komorbid imunnya lemah, padahal virus Covid-19 menyerang imun calon korbannya. Sebaiknya guru yang mempunyai komorbid tidak terkendali tetap melakukan pembelajaran secara daring. Begitu juga apabila ada komorbid di rumah peserta didik sebaiknya mereka tidak sekolah dulu. Keluarga besar sekolah harus terbuka dengan kondisi masing-masing dan kondisi keluarga di rumahnya.
Kegiatan ini harus dilakiukan di sekolah. Sekolah harus sering melakukan test swab pada guru dan kelurga sekolah lainnya. Apabila ditemukan yang positif maka sebaiknya sekolah ditutup kembali sementara waktu agar dilakukan tracing dan sterilisasi. Tidak murah biaya yang harus ditanggung sekolah karena secara berkala harus melakukan test swab dan sterilisasi sekolah.
Pada dasarnya yang paling diutamakan dalam mengambil keputusan kembali ke sekolah ini adalah keselamatan para guru, pegawai dan peserta didik beserta keluarganya. Keselamatan mereka adalah hal yang paling urgen. Tanpa terjaminnya keselamatan, sangat tidak layak dibuka kembali sekolah. Karena sesungguhnya apa yang akan dikejar kalau keselamatan masih menjadi tanya besar. Pendidikan adalah memanusiakan manusia. Pendidikan adalah menyelamatkan manusia. Harus tidak ada korban. Tidak ada yang menjadi tumbal.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co