Headline

Pemilih Pemula Hadapi Tantangan Baru di Pilkada 2020

Kaltim Today
20 Oktober 2020 15:08
Pemilih Pemula Hadapi Tantangan Baru di Pilkada 2020
Pengamat politik dari Universitas Mulawarman, Luthfi Wahyudi.

Kaltimtoday.co, Samarinda - Sebentar lagi, warga Samarinda akan menentukan nasib kotanya selama 5 tahun ke depan melalui pilkada serentak 2020. Tak dapat dimungkiri, pilkada kali ini memang diwarnai dengan berbagai perubahan situasi. Salah satunya pandemi Covid-19. Bahkan, angka partisipan pemilih tahun ini diprediksi tidak mencapai target 77,5 persen. Disebabkan oleh keadaan yang belum kondusif dan Covid-19 masih menghantui sebagian besar warga. Golput biasanya akan menjadi pilihan terakhir. Disertai berbagai macam alasan di masing-masing individu. Sehingga, potensi terjadinya golput pun makin besar.

Namun, ada hal menarik yang bisa dibahas pada saat momentum pilkada. Perihal pemilih pemula. Biasanya, eksistensi mereka akan selalu ada kapan pun pemilihan digelar. Pengertian dari pemilih pemula adalah mereka yang akan memasuki usia memilih dan segera menggunakan hak pilihnya untuk pertama kali dalam pemilu. Lazimnya bagi yang berusia 17 tahun atau saat ini tengah menduduki tahun terakhir di SMA.

Kaltimtoday.co berkesempatan untuk berbincang dengan salah satu siswa SMA kelas 12 di Samarinda. Dia adalah Yazdi. Kini usianya sudah menginjak 17 tahun dan pada 9 Desember 2020 nanti bisa menggunakan hak pilihnya untuk pertama kali. Padahal, selama ini dia kerap mendengar cerita orang saja tiap selesai mencoblos yang ditandai dengan tinta ungu di jari kelingking. Ketika ditanya apakah dia mengetahui siapa saja pasangan calon (paslon) yang akan berlaga di kontestasi Pilkada, dia menjawab hanya tahu sekadarnya.

“Kalau nama paslonnya siapa saja, saya tahu. Kalau lagi di jalan kan juga banyak spanduk mereka dan nomor urutnya. Fotonya juga ada. Tapi enggak yang terlalu tahu banget,” ungkap Yazdi.

Pada 18 Oktober 2020 silam, KPU Samarinda juga menggelar debat publik perdana antar calon Wali Kota (Cawali) Samarinda. Diharapkan, melalui debat tersebut warga bisa mempertimbangkan calon mana yang akan dipilih. Termasuk mengetahui visi, misi, serta program unggulan. Yazdi pun juga ikut menyaksikan debat tersebut bersama orangtuanya. Namun dia tak menontonnya sampai tuntas.

“Saya baru tahu kalau debat publik antar cawali harus seperti itu. Ada moderatornya dan waktu mereka menjawab juga dibatasi. Tapi saya ingat pembahasan kala itu. Ada soal Covid-19, pendidikan, dan ekonomi. Saya kan masih sekolah, jadi tema pendidikan yang ditanyakan itu masih paham,” lanjutnya.

Perihal dari mana dia mendapatkan informasi soal Pilkada, dia mengaku masih merasa minim informasi. Meskipun sudah ada kampanye daring, dia belum begitu memahami dan tahu. “Mungkin selanjutnya saya bakal lebih pro aktif cari informasi ini. Kalau memilih, tentu saya akan gunakan hak itu. Sudah terdaftar juga dan punya KTP elektronik,” bebernya.

Yazdi hanyalah satu dari sekian banyak pemilih pemula lainnya. Mungkin sebagian dari mereka juga masih dilanda kebingungan dan tak begitu tahu siapa paslon yang berlaga. Pengamat politik dari Universitas Mulawarman, Luthfi Wahyudi pun memberikan tanggapannya. Pemilih pemula masih sangat baru dan belum tersentuh oleh hal-hal yang berkaitan dengan politik atau pilkada. Potensi golput di kalangan pemilih pemula pun tentu ada. Namun, mereka tidak serta-merta bisa disalahkan ketika memilih opsi tersebut. Sejatinya, yang paling berkepentingan di pemilihan adalah para kandidat. Sementara yang dilakukan oleh kandidat saat ini sangat terbatas.

“Sekarang kan tidak boleh mengumpulkan massa, ya bagaimana dia mau menggunakan terobosan itu. Misal, namanya pemilih pemula itu rata-rata 17 tahun dan akrab dengan gawai. Ketika mereka akrab dengan itu, lakukanlah dunia anak muda itu untuk menyentuhnya,” ungkap Luthfi.

Memang menjadi tantangan tersendiri. Menurut Luthfi, mendekati pemilih pemula harus ada terobosan baru dan disertai pendekatan yang ‘nyambung’ dan antara kebiasaan anak muda dengan metode pendekatan yang dilakukan oleh para kandidat. Namun mengingat saat ini pandemi masih berlangsung, tentu orangtua dari pemilih pemula ingin anak-anaknya tetap selamat dan sehat. Sehingga bisa saja ada yang meminta sang anak untuk tidak menggunakan hak pilih.

“Tapi bagaimana kemudian, keinginan orangtua itu bersambung juga dengan keinginan para kandidat pilkada bisa menyentuh pemilih pemula tapi tetap menghargai keinginan orangtua untuk menjaga keselamatan dan kesehatan keluarganya. Atau minimal informasi sosialisasi terhadap apa yang ingin mereka lakukan ke pemilih pemula itu juga bisa terpenuhi. Platform-nya kan sudah banyak,” sambung Luthfi.

Salah satu platform yang paling mudah diakses pemilih pemula adalah media daring. Kembali lagi ke konsep awal bahwa kalangan ini tak bisa terhindar dari gawai. Walaupun penyelenggara pilkada meminta paslon untuk memaksimalkan kampanye daring, tetap diperlukan penyesuaian. Pada intinya, Luthfi berpendapat bahwa selama tersentuh dengan metode pendekatan yang pas dan satu frekuensi antara kandidat dan pemilih pemula, maka ada kemungkinan jumlah pemilih pemula pun bisa tinggi dan meningkat.

[YMD | TOS]


Related Posts


Berita Lainnya