Internasional
SEA Games 2025, Tes Gender Atlet Putri Jadi Tanggung Jawab Federasi

Kaltimtoday.co - Otoritas Olahraga Thailand (SAT) menegaskan bahwa pihaknya hanya berperan sebagai pengawas dalam penyelenggaraan SEA Games ke-33. Sementara itu, pelaksanaan tes gender bagi atlet perempuan akan sepenuhnya diserahkan kepada federasi olahraga masing-masing sesuai regulasi internasional.
Isu tes gender dalam dunia olahraga kerap menimbulkan perdebatan. Pada Olimpiade Paris 2024, kontroversi mencuat terkait petinju asal Aljazair, Imane Khelif, serta atlet Taiwan, Lin Yu Ting. Kasus serupa kembali terjadi pada 2025, ketika Federasi Bola Voli Internasional mendiskualifikasi atlet Vietnam dari Piala Dunia Voli Putri U-21 karena dugaan masalah identitas gender.
Dalam konferensi pers di Bangkok pada Jumat (15/8/2025), Direktur Jenderal SAT, Kongsak Yodmanee, menjelaskan bahwa keputusan tes gender ditentukan oleh federasi internasional masing-masing cabang olahraga.
“Cabang yang sifatnya kompetitif seperti bela diri, renang, atletik, dan olahraga bola biasanya menerapkan tes gender. Namun, untuk olahraga berbasis performa seperti panahan dan menembak, isu ini tidak terlalu berpengaruh,” ujarnya.
Untuk SEA Games ke-33, SAT menugaskan federasi mengatur aturan teknis dan prosedur pertandingan, sementara SAT hanya memastikan semuanya berjalan sesuai standar.
“Jika cabang olahraga mewajibkan tes, maka atlet harus mengikutinya. Tidak bisa dihindari,” tegas Kongsak.
Berbeda dengan Olimpiade yang memiliki standar umum, Thailand menyerahkan sepenuhnya kewenangan pada federasi. Di Paris 2024, status atlet ditentukan melalui paspor dan dokumen resmi negara peserta.
Komite Olimpiade Internasional (IOC) sendiri telah menegaskan bahwa isu gender tidak hanya menyangkut aspek sains, tetapi juga hak asasi manusia. Pada 2021, IOC mengeluarkan pedoman bahwa Olimpiade tidak mewajibkan tes gender universal maupun pembatasan testosteron. Setiap federasi diberi kewenangan membuat aturan sendiri selama tetap menghormati martabat atlet dan tidak melakukan paksaan medis.
Meski demikian, kebijakan tersebut sempat menimbulkan ketegangan dengan Asosiasi Tinju Internasional (IBA) terkait kasus Khelif dan Lin Yu Ting. IBA menganggap tes kromosom maupun kadar testosteron perlu dilakukan, sedangkan IOC menilai metode tersebut tidak akurat sepenuhnya dan bisa melanggar prinsip Olimpiade.
Sejak pertengahan abad ke-20, metode tes gender terus berkembang, mulai dari pemeriksaan fisik, analisis kromosom, hingga pengukuran hormon. Namun, setiap metode selalu menimbulkan perdebatan etis maupun medis.
Kini, Federasi Atletik Dunia (WA) telah menetapkan aturan baru yang berlaku mulai 1 September 2025. Semua atlet yang ingin tampil di nomor putri pada ajang internasional wajib menjalani tes genetik sekali seumur hidup. Proses ini dilakukan dengan metode usap pipi atau sampel darah kering.
Tes genetik serupa pernah diterapkan di Olimpiade 1992 dan 1996, namun dihentikan karena dinilai diskriminatif terhadap perempuan dengan kondisi medis tertentu. Meski begitu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menilai teknologi terbaru lebih akurat dengan risiko kesalahan hasil yang sangat minim.
Atlet yang tidak sepakat dengan hasil tes dapat mengajukan banding ke Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS). Namun, mereka yang menolak menjalani tes tidak diperkenankan mengikuti kompetisi resmi berperingkat, meskipun tetap bisa turun di ajang non-resmi.
[RWT]