Nasional

AJI: Pencabutan Kartu Identitas Liputan Istana Wartawan CNN Indonesia Bentuk Pembungkaman Pers

Kaltim Today
28 September 2025 23:26
AJI: Pencabutan Kartu Identitas Liputan Istana Wartawan CNN Indonesia Bentuk Pembungkaman Pers
Erick Tanjung, Kepala Divisi Advokasi AJI Indonesia.

JAKARTA, Kaltimtoday.co - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengecam keras tindakan Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden (BPMI Setpres) yang mencabut kartu identitas liputan istana milik jurnalis CNN Indonesia, Diana Valencia.

Insiden ini terjadi usai Diana mengajukan pertanyaan kepada Presiden Prabowo Subianto terkait program Makan Bergizi Gratis (MBG) saat menyambut kepulangan Presiden dari Sidang Majelis Umum PBB di Bandara Halim Perdanakusuma, Sabtu (27/9/2025).

Menurut AJI, alasan pencabutan karena “pertanyaan di luar konteks” adalah bentuk pembatasan yang tidak berdasar.

“Apa yang dilakukan Biro Pers Istana ini adalah bentuk represi terhadap jurnalis. Negara tidak boleh menentukan pertanyaan apa yang boleh atau tidak boleh diajukan kepada presiden,” ujar Nany Afrida, Ketua Umum AJI Indonesia, dalam pernyataan resminya, Minggu (28/9/2025).

Wartawan Dilarang Bahas MBG?

AJI mengungkap adanya instruksi tak tertulis agar wartawan istana tidak bertanya soal MBG. Namun, Diana tetap mengajukan pertanyaan karena menilai isu tersebut menyangkut kepentingan publik—terutama setelah kasus keracunan massal siswa akibat MBG mencuat di sejumlah daerah.

“Jurnalis bekerja untuk publik, bukan untuk melayani ego penguasa. Pencabutan kartu liputan ini adalah bentuk pembungkaman terhadap pers yang kritis,” tegas Erick Tanjung, Kepala Divisi Advokasi AJI Indonesia.

Setelah insiden tersebut, pihak Istana mendatangi kantor CNN Indonesia pada malam hari untuk mengambil kartu liputan. AJI menyebut tindakan itu sebagai intimidasi langsung terhadap jurnalis.

AJI Tuntut Pemulihan dan Permintaan Maaf

AJI Indonesia menyampaikan enam poin sikap, di antaranya mendesak pemulihan hak peliputan Diana Valencia, memecat pihak yang terlibat penyensoran, dan menuntut Presiden Prabowo meminta maaf secara terbuka.

“Ini bukan hanya soal satu wartawan, tapi soal prinsip kebebasan pers yang dilindungi konstitusi,” kata Nany.

AJI juga mengingatkan, pembatasan ini merupakan pelanggaran terhadap UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 4 yang melindungi kemerdekaan pers dari penyensoran.

Selain itu, AJI mencatat, tekanan terhadap jurnalis yang meliput isu MBG tidak hanya terjadi di istana. Sejumlah wartawan di daerah seperti Semarang, Lombok Timur, dan Sorong juga mengalami intimidasi saat melaporkan kasus serupa.

“Pemerintah seharusnya melindungi jurnalis, bukan menghalangi kerja-kerja mereka. Kalau merasa dirugikan, gunakan hak jawab, bukan kekuasaan,” ujar Erick Tanjung.

[TOS]



Berita Lainnya