Nasional
Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim: Absennya Partisipasi Masyarakat Rentan Ancaman Nyata Kegagalan COP30
JAKARTA, Kaltimtoday.co - Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) memandang penyelenggaraan Konferensi Iklim Global atau COP-30 di Belém, Brasil, minim transparansi serta absennya partisipasi bermakna masyarakat terdampak krisis iklim.
ARUKI menilai, di tengah realitas yang membutuhkan tindakan segera, sayangnya panggung COP-30 belum cukup mampu menyediakan proses inklusif dan keadilan iklim.
Dalam dialog publik "Suara Rakyat Indonesia untuk CoP-30" ARUKI menyoroti sejumlah fakta lapangan yang mengerikan.
Maikel Peuki, Direktur Eksekutif WALHI Papua, menyebut laju tingkat deforestasi di Papua terus melonjak akibat pembangunan dan ekspansi industri ekstraktif. Antara 2001–2019, sekurang-lebihnya 1,3 juta hektar hutan hilangakibat sawit dan tambang.
Ancaman deforestasi kini disebabkan oleh Proyek Strategis Nasional (PSN) Merauke dan industri kelapa sawit.
Sementara di kawasan pesisir, Asmania dari Pulau Pari, menuntut perlindungan. Pulau Pari diprediksikan tenggelam pada tahun 2050 akibat perubahan iklim dan reklamasi.
"Saat ini, Pulau Pari sering mengalami banjir rob yang dapat terjadi 3-4 bulan dalam setahun. Nelayan mengalami gagal panen budidaya rumput laut dan ikan kerapu,” ungkap Asmania.
Ia menuntut Pemerintah mencabut kebijakan yang berdampak buruk seperti UU Cipta Kerja dan izin laut untuk reklamasi.
Ahmad Subhan Hafidz, Direktur Eksekutif WALHI Bangka Belitung, menyebut daratan Bangka Belitung dibebani izin ekstraktif hingga sekitar 70%. Daratan tersebut dibebani tambang dan perkebunan sawit.
Terdapat hingga 12.607 kolong tambang yang tidak direklamasi. Kerusakan ini memicu bencana ekologis seperti banjir besar (2016), kekeringan panjang (2015), dan meningkatkan risiko gelombang ekstrem.
Hafidz mendesak agar solusi iklim palsu dari negara seperti co-firing PLTU dan rencana Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Pulau Kelasa segera dievaluasi karena menambah beban ekologis.
ARUKI juga menyoroti total 15% populasi dunia sebagai penyandang disabilitas yang minim pelibatan bermakna dalam perundingan iklim global.
Maria Un, Perempuan Disabilitas dan Masyarakat Adat asal Sulawesi Selatan, menegaskan penyandang disabilitas lebih rentan terhadap dampak krisis iklim. Mereka sulit beraktivitas dan mengalami kesulitan akses informasi dan bantuan.
“COP-30 harusnya menghasilkan pengakuan penyandang disabilitas sebagai subjek utama dalam seluruh pilar negosiasi iklim,” tegas Maria Un.
Senada, Gofur Kaboli, Nelayan asal Ternate, menuntut jaminan dan perlindungan hak-hak nelayan kecil sebagai tulang punggung negeri yang paling merasakan dampak perubahan iklim. Ia mendesak pemerintah agar cepat merespons nelayan ketika menghadapi cuaca ekstrem.
Dialog Publik ini merupakan bagian kelanjutan dari penyampaian mandat Indonesia Climate Justice Summit (ICJS) yang digelar ARUKI pada Agustus 2025 lalu.
[TOS]
Related Posts
- Kerugian Ekonomi Diperkirakan Mencapai Rp 544 Triliun, CSO Desak Pemerintah Bawa Komitmen Iklim Ambisius ke COP30
- HUT ke-59 KAHMI Konsolidasi di IKN, Tanam Ratusan Pohon dan Rumuskan Deklarasi Nusantara
- Bawa Suara Kaltim ke Nasional, Pemuda Samarinda Raih Wakil I Duta DPD RI 2025
- Dana Gratispol Segera Cair, Pengamat Ingatkan Soal Akurasi Data hingga Potensi Penyalahgunaan
- YJI Kaltim Dorong Kesadaran Kesehatan Jantung Lewat Senam Sehat di Islamic Center







