Kaltim
Banyak Aturan dan Prosedur, Pengamat Minta Presiden Hati-Hati Jual Lahan Negara
Kaltimtoday.co, Samarinda - Presiden Jokowi berencana menjual lahan seluas 30.000 hektare (Ha) lahan di ibu kota neara baru. Hasil penjualan lahan itu rencananya akan digunakan untuk membiayai pemindahan ibu kota yang memerlukan biaya skira Rp 500 triliun.
Pengamat hukum agraria dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Haris Retno Susmiyati, mengingatkan wacana presiden tersebut perlu dikaji secara hati-hati. Utamanya, menyangkut aspek legalitas lahan milik negara.
Retno memulai penjelasan dengan mengacu Undang-Undang 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Secara garis besar, beleid ini menjelaskan dua makna tanah atau lahan milik negara. Pertama, tanah yang memang dikuasai negara dan belum dilekati hak atas tanah apapun.
Kedua, tanah yang dimiliki instansi pemerintah dengan hak atas tanah tertentu seperti hak pakai selama digunakan atau hak pengelolaan. Kedua jenis lahan itu tidak bisa dijual negara begitu saja.
Untuk jenis lahan negara yang kedua, juga jelas diatur dalam UU Pokok Agraria. Hak pengelolaan seperti hak guna usaha (HGU) dan hak pakai diberikan pemerintah untuk jangka waktu tertentu.
"Menurut hukum agraria, lahan negara tidak dapat dijual kepada swasta atau perseorangan atau pihak lain," tegasnya.
Jika kemudian terjadi perjanjian jual beli atas lahan, secara otomatis penjualan itu batal atas alasan hukum. “Konsekuensinya, tidak akan ada yang mau membeli lahan tersebut karena tidak bisa memilikinya," terangnya.
Pemerintah seharusnya mendefinisikan dengan pasti maksud lahan negara yang hendak dijual kepada perorangan. "Karena secara hukum, ketentuan itu (tidak menjual lahan negara) berprinsip dilarang dan tidak boleh dilanggar," jelasnya.
Namun demikian, Retno mengatakan, bukan berarti tidak ada jalan. Penjualan lahan negara masih bisa dilakukan tapi harus melewati beragam prosedur. Paling utama adalah pengalihan aset negara. Pemerintah harus meminta izin ke DPR, sebagaimana amanat UU.
"Bisa saja dijual tetapi harus ada batasan dan prosedur. Bila dijual secara individu, statusnya hak milik. Yang diperbolehkan membeli hanya warga negara Indonesia,” katanya.
Retno juga menegaskan, Jokowi tidak bisa serta-merta mewacanakan tanah negara tanpa mencantumkan status lahan. Seharusnya, status tersebut dirincikan. Bila yang ditawarkan di kawasan hutan, faktor Kalimantan sebagai paru-paru dunia harus dipikirkan. Alih fungsi kawasan hutan menjadi non-kehutanan, agar lahannya bisa dijual, juga perlu dipertimbangkan secara matang.
“Jangan dianggap menjual tanah dan aset negara seenaknya begitu. Tidak bisa. Ada prosedur. Parlemen pun, tidak bisa asal setuju. Harus dengan kajian," tutupnya.
[JRO | TOS]