Daerah
Bukan Sekadar Persoalan Ruang, Akademisi Kritik Pendekatan Pemkot dalam Penertiban Prostitusi Loa Hui
Kaltimtoday.co, Samarinda - Gelombang razia di eks Lokalisasi Loa Hui, Loa Janan, kembali membuka kenyataan pahit: praktik prostitusi yang disebut “sudah ditutup sejak 2016” ternyata hidup lagi, beroperasi dalam bayang-bayang. Satpol PP Samarinda menjaring 122 perempuan tanpa identitas dan menyita lebih dari 200 botol minuman keras, menandai kebangkitan aktivitas yang seharusnya telah diberangus delapan tahun lalu.
Terbaru, Plt. Asisten I Setda Kota Samarinda, Asli Nuryadin menegaskan pihaknya tengah menyusun laporan guna melakukan penertiban lanjutan kepada Wali Kota Andi Harun. Ia menegaskan bahwa kawasan itu harus dibersihkan dan diawasi lebih ketat. Respons ini tampak tegas, tetapi menurut akademisi, justru memperlihatkan pola kegagalan yang berulang.
“Ini bukan masalah ruang yang harus ditutup ulang, tapi persoalan struktural yang tidak disentuh,” tegas pengamat sosial Sri Murlianti.
Ia menyebut rencana penertiban fisik sebagai langkah yang “secara sosial memang cenderung gagal” karena tidak pernah menyentuh akar penyebab prostitusi.
Penertiban Gagal Karena Salah Diagnosis: Prostitusi Bukan Soal Ruang
Murlianti menjelaskan bahwa kebijakan menutup atau menertibkan lokalisasi secara fisik keliru karena memperlakukan prostitusi sebagai persoalan lokasi.
“Ia memperlakukan prostitusi sebagai isu ruang, bukan sebagai konsekuensi struktural dari kemiskinan, ketimpangan gender, dan ekonomi informal,” ujarnya.
Kajian urban policy dari Loïc Wacquant dalam jurnal Urban Studies menunjukkan pola serupa di banyak kota: ketika negara hanya menutup lokasi tanpa menyediakan alternatif ekonomi, aktivitas tersebut tidak menghilang, melainkan berpindah ke bentuk yang lebih tersembunyi. Inilah fenomena spatial displacement dari los bangunan ke rumah kos, usaha UMKM berkedok kuliner, hingga munculnya “kafe plus-plus”.
Literatur ekonomi informal bahkan menjelaskan bahwa ketika regulasi represif bertemu tekanan ekonomi, pasar akan beradaptasi dengan penyamaran. Di sinilah risiko baru muncul: prekariasasi, kondisi ketika pekerja semakin rentan tidak mendapat perlindungan kesehatan, lebih sulit diawasi, dan lebih mudah dieksploitasi.
Respons Pemkot Dianggap Normatif dan Abaikan Kelompok Rentan
Kritik akademis semakin tajam ketika menyikapi pernyataan Wali Kota Andi Harun yang menolak memberikan kompensasi kepada perempuan non-lokal yang terjaring razia. Semua perempuan yang ditangkap, berdasarkan laporan lapangan, memang berasal dari luar daerah.
Bagi Sri Murlianti, sikap itu menunjukkan pola kebijakan yang hanya “fokus pada penegakan legalitas tetapi abai terhadap konsekuensi sosial”. “Ini sangat normatif,” katanya. Dalam teori kebijakan publik, tindakan seperti ini rentan menghasilkan compliance failure, sebuah ketidakpatuhan yang bukan karena melawan aturan, melainkan karena aturan tersebut bertentangan dengan realitas ekonomi orang yang ditertibkan.
Konteks migrasi perempuan juga diabaikan. Samarinda sebagai kota tambang menarik gelombang tenaga kerja informal dari berbagai daerah. Menolak memberi perlindungan atau bantuan transisi kepada mereka justru malah memperkuat pola gendered displacement. Di mana, perempuan dipaksa keluar tanpa pilihan nafkah yang layak.
Menurut Murlianti, solusi tidak akan datang dari razia atau penutupan ruang.
“Penegakan hukum perlu diarahkan pada pemilik modal dan pelanggar izin usaha,” tegasnya.
Sementara pekerja harus mendapat intervensi sosial yang nyata: pendapatan transisi, layanan kesehatan dan pemeriksaan rutin, perlindungan hukum dari kekerasan, program reintegrasi ekonomi yang realistis, bukan pelatihan generik yang tak berkaitan dengan pasar kerja.
Pendekatan ganda termasuk penegakan aturan dan jaring pengaman sosial, harus berjalan bersama. Tanpanya, kata Murlianti, pemerintah hanya menghasilkan “simbol ketegasan”, bukan solusi.
Penutup: Tanpa Perubahan Paradigma, Kerentanan Akan Terus Diproduksi
Kebijakan penertiban Pemkot Samarinda saat ini kembali menunjukkan pola lama: mengobati gejala, bukan penyakitnya. Selama prostitusi diperlakukan sebagai masalah ruang, bukan akibat struktural dari kemiskinan dan ketimpangan, lokasi seperti Loa Hui tidak akan pernah benar-benar “bersih” melainkan hanya berpindah wajah menjadi “kafe plus-plus” atau ruang sembunyi lainnya.
Dan tanpa desain kebijakan yang memadukan legalitas dengan perlindungan sosial, pemerintah bukan hanya gagal menyelesaikan akar persoalan tetapi ikut memperdalam structural vulnerability yang justru seharusnya mereka tangani.
[RWT]
Related Posts
- Tolak Keberatan ESDM, PTUN Jakarta Wajibkan Pembukaan Dokumen AMDAL PT KPC
- Update Harga TBS Sawit Kaltim Akhir November 2025, Ini Rinciannya
- SPBU Khusus ASN Siap Dibangun, Fokus Lokasi Mengarah ke MT Haryono
- Dispar Kukar Dorong Ekosistem Ekraf Formal dan Berdaya Saing Lewat Legalitas dan Insentif Baru
- Aplikasi Pendataan Pedagang Pasar Pagi Ditarget Rampung Pekan Ini, Pembukaan Mulai Disiapkan Bertahap









