Headline
Dugaan Politik Uang dalam Penjaringan Bakal Calon Wali Kota Samarinda
Kaltimtoday.co, Samarinda - Menjelang pemilihan kepada daerah (pilkada) tahun depan, isu mahar politik kembali mencuat. Praktiknya, meminta bayaran kepada kandidat ketika mendaftar ke partai politik. Nominal “pungutan” berkisar Rp 10-25 juta.
Parpol berdalih pungutan kepada bakal calon itu diperuntukan untuk sejumlah kegiatan. Mulai kampanye kandidat di internal partai politik, hingga untuk membiayai survei popularitas dan elektabilitas.
Kepada Kaltimtoday.co, Pengamat Hukum dari Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah mengaskan praktik pungutan yang dilakukan partai politik tersebut bertentangan dengan Undang-Undang (UU) 8/2015 tentang Perubahan atas UU 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Karena dalam Pasal 47 secara eksplisit menyebutkan, partai politik atau gabungan partai politik tidak diperkenankan menerima imbalan dalam bentuk apapun saat proses pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota.
“Imbalan apapun tidak diperkenankan saat proses pencalonan. Aturan itu termasuk biaya yang disyaratkan bagi bakal calon yang melamar ke partai politik,” tegas Castro.
Menurut dia, penjaringan bakal calon itu senada dengan proses pencalonan. Apabila parpol tetap kukuh dengan syarat biaya pendaftaran, maka UU yang ada bakal dilanggar.
"Parpol terkesan melegitimasi politik uang yang bersifat transaksional. Caranya, mematok sejumlah biaya dalam proses pendaftaran bakal calon," terangnya.
"Intinya, parpol tidak boleh berlindung di balik alasan biaya administrasi, biaya survei, biaya operasional dan lain sebagainya," sambungnya.
Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi) Fakultas Hukum Unmul itu berpendapat, bila melanggar parpol bakal diganjar sanksi administratif hingga pidana. Rinciannya berada dalam UU 8/2015, yang menyebutkan parpol atau gabungan parpol yang menerima kompensasi saat proses pencalonan, bakal dilarang mengajukan calon untuk periode berikutnya di daerah yang sama tempat pilkada berlangsung. Bahkan, ada denda sebesar 10 kali lipat dari nilai imbalan yang diterima.
Sedangkan untuk pidananya, tambah dia, diatur dalam UU 10/2016 tentang
Perubahan kedua atas UU 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1/2014 tentang Pemilihan gubernur, bupati dan wali kota menjadi undang-undang, khususnya pasal 187B dan 187C.
"Tetapi ini berlaku bagi anggota parpol atau anggota gabungan parpol yang menerima imbalan, dan orang atau lembaga yang memberi imbalan," rincinya.
Lebih lanjut, dia menerangkan, biaya pendaftaran yang disyaratkan oleh parpol punya sejumlah dampak, misalnya saja membatasi hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih. Lalu, modal politik itu tak selamanya mengenai finansial, lebih penting kecakapan, integritas, rekam jejak dan keberpihakan. Soal pendanaan, negara-lah yang harus bertanggungjawab menyediakan. Yang kedua, tentu saja menyangkut edukasi politik bagi masyarakat. Upaya untuk melegalkan politik uang secara transaksional akan memengaruhi tingkat kemampuan dan kecerdasan politik masyarakat (political efficacy).
"Prilaku parpol ini akan membentuk pola pikir bahwa politik uang adalah hal yang biasa," tuturnya.
Ditambahkannya, situasi ini tentunya menuntut negara agar bertindak tegas agar proses demokrasi tak diciderai. Negara tidak boleh diam, bila diam berarti turut mengizinkan tindakan tersebut. Negara melalui penyelenggara pesta demokrasi seperti Bawaslu, seharusnya bisa memberikan imbauan secara tegas kepada parpol, agar politik transaksional melalui biaya pendaftaran bakal calon, tidak lakukan dengan alasan apapun. Dalam konteks ini dikategorikan sebagai suatu imbalan.
[irp posts="4960" name="Polling I: Siapa Pantas Memimpin Samarinda 2020?"]
"Iya, secara letterlijk, imbalan dalam bentuk apapun itu termasuk uang pendaftaran," katanya.
Artinya, imbalan apapun tidak diperbolehkan dalam proses pencalonan, termasuk biaya yang dipatok bagi bakal calon yang mengajukan lamaran ke parpol tertentu.
Sebab fase proses pencalonan sudah dapat dimaknai sejak masa penjaringan bakal calon oleh parpol. Jika parpol tetap kekeuh, maka hal ini tentu saja melabrak aturan yang ada.
"Jika tetap melakukan maka proses hukum harus dilakukan tanpa kompromi," tegasnya.
Tolak Disebut Politik Uang
Menanggapi kritik keras Herdiansyah Hamzah, Wakil Ketua Bidang Hukum Politik dan Keamanan DPD PDI Perjuangan Kaltim Roy Hendrayanto membantah jika dana yang dipatok partainya untuk pendaftaran wali kota disebut politik uang.
Menurut Roy, parpol menetapkan atau mematok harga untuk pendaftaran bukan masuk dalam kategori menerima imbalan sehingga tidak disebut sebagai politik uang.
"Dalam UU disebut partai politik dilarang menerima imbalan. Tidak ada larangan bagi partai menetapkan uang pendaftaran," dalihnya.
Dalam hal ini, dia menyebut, PDI Perjuangan tidak pernah menerima imbalan. Namun, dia mengistilahkan pungutan itu sebagai uang pendaftaran alias dana gotong royong.
Dana tersebut digunakan untuk sebagaimana mestinya. Seperti konsolidasi partai. Dana yang terkumpul untuk konsolidasi ke 25 Pengurus Anak Cabang (PAC) PDI Perjuangan se-Samarinda.
Karena semua calon diberikan hak yang sama untuk semua PAC. Untuk menyampaikan visi dan misi agar mendapat keterpilihan dari para kader partai.
"Dana itu digunakan untuk makan, minum, ATK dan lainnya," tegasnya.
Sebagaimana yang telah disebutkan Roy, bahwasanya dana Gotong Royong ini, tidak bisa dikaitkan dengan Pasal 47 seperti yang dikatakan oleh Herdiansyah Hamzah. Karena menurutnya, memaknai UU tersebut tidak boleh jika terputus-putus.
Di dalam UU tersebut, menurutnya, dijelaskan bahwa partai politik dan atau gabungan partai politik, tidak boleh menerima imbalan dalam bentuk apapun. Menurutnya, hal itu berarti, pencalonan yang sudah ditetapkan oleh partai dan gabungan partai politik tersebut. Jika nantinya sudah masuk tahapan pemilu KPU.
"Saya sebagai perwakilan PDI Perjuangan siap menantang siapapun yang mau melaporkan itu (pungutan pendaftaran) jika terindikasi pidana, silakan saja,” tantangnya.
Bawaslu Masih Mengkaji
Dugaan praktik politik uang yang dilakukan sejumlah parpol dalam proses penjaringan bakal calon wali kota tidak kunjung ditindak Bawaslu Samarinda. Kendati, aturan yang dilabrak sudah sangat jelas.
Ketika dikonfirmasi, Ketua Bawaslu Samarinda Abdul Muin mengatakan, saat ini pihaknya hanya bisa mengkaji. Belum bisa mengambil tindakan. Sebab, saat ini belum masuk tahapan pilkada.
"Sepanjang tertuang dalam aturan, ya, sah-sah saja," jawabnya.
Dia menyebutkan, di Bawaslu ada mekanisme tertentu yang harus diperhatikan, sebab hingga saat ini belum masuk konteks tahapan pilkada, sehingga pihaknya tak bisa melakukan intervensi terhadap parpol.
"Saya kira Bawaslu tidak bisa terlalu mengintervensi. Ya jadi catatan bagi kami," sebutnya.
Dikonfirmasi terpisah, Ketua Bawaslu Kaltim Saiful juga menyampaikan hal serupa. Dia mengaku belum bisa mengambil tindakan tegas soal dugaan politik uang yang dilakukan parpol selama proses penjaringan bakal calon kepala daerah. Pihaknya mesti terlebih dahulu mempelajari indikasi tersebut di lapangan.
"Saya sudah minta Bawaslu kabupaten/kota untuk memantau perkembangan (mahar politik), masuk kriteria atau tidak," katanya.
Sikap Bawaslu Kaltim dan Bawaslu Samarinda ini berbeda dengan Bawaslu Ternate di Maluku Utara. Bawaslu Ternate lebih tegas menyikapi uang mahar dalam proses penjaringan kepala daerah menjelang pilkada.
Seperti dilansir dari Antara, Ketua Bawaslu Ternate Kifli Sahlan menerbitkan surat edaran kepada parpol untuk tidak melakukan praktik mahar politik. Dalam edarannya, Kifli menegaskan, menerima imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan kepala daerah dilarang.
[JRO | TOS]