Opini
Filantropi Kemanusiaan
Oleh: Rifqi Rosyidi Lc., M.Ag (Pengasuh Ponpes Istiqomah Samarinda)
Di tengah ujian Pandemi Covid-19 yang mengakibatkan sebagian besar masyarakat terdampak baik dari segi kesehatan maupun perekonomian, muncul gerakan sosial kepedulian baik dari perseorangan maupun bergerak secara kelembagaan. Filantropi kemanusiaan hadir mengiringi musibah-musibah alam maupun non alam sebagai panggilan keimanan. Tidak semua relawan atau penggiat filantropi kemanusiaan berlatarbelakang kecukupan harta, namun gelora memberi menyertai setiap langkahnya.
Tulisan Ustadz Rifqi Rosyidi Lc., M.Ag ini menjadi bagian penyemangat dalam menghadirkan filantropi kemanusiaan sebagai bagian gaya hidup yang hadir dalam kehidupan kita.
Menciptakan Harmoni dengan sikap Îtsâr
Al-Îtsâr (bahasa arab), secara etimologi artinya memberikan, tetapi mengandung makna mengistimewakan dan mengutamakan. Sedangkan dalam tataran teologis, al-Îtsâr ini merupakan salah satu sifat terpuji; tentang rasa empati dan tingkat kepedulian sosial seseorang dengan memberikan miliknya yang berharga, dan lebih mengutamakan diberikan kepada orang lain yang membutuhkan meskipun pada dasarnya dirinya sendiri juga sangat membutuhkannya.
Penduduk Madinah, yang dalam sejarah dikenal dengan al-anshâr, merupakan golongan masyarakat yang sangat sempurna menumbuhkembangkan prinsip hidup berwawasan sosial ini. Maka sebagai bentuk apresiasi dan penghormatan yang tinggi bagi mereka, Allah mengunggah kisah kemuliaan pribadi mereka di dalam Surat al-Hasyr [59] ayat 9 :
[irp posts="15600" name="Aliansi Vaksin dan Imunisasi Global Dapat Bantuan Dana US$ 8,8 Miliar untuk Covid-19"]
Artinya: “Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”.
Ada beberapa pesan moral yang ingin Allah sampaikan kepada hambaNya melalui ayat tersebut; Iman yang benar merupakan remote control bagi kebaikan seseorang, sehingga kaum Anshâr dengan keimanan yang benar dan mantap, tidak menjadikan posisi mereka sebagai penduduk asli kota Madinah sebagai alasan untuk menjadi jumawa dan berbuat semena-mena terhadap pendatang (al-Muhâjirîn). Keimanan yang baik menjadikan mereka sebagai pribadi yang sangat cair; menerima pendatang dengan lapang dada, tidak ada perasaan iri dan dengki karena kedekatan muhajirin dengan nabi, lebih dari itu kaum Anshâr merelakan harta yang mereka miliki meskipun tidak banyak untuk diberikan kepada para pendatang, bahkan dalam beberapak kasus mereka kaum Anshar lebih mengutamakan kebutuhan para muhajirin dari pada kebutuhan mereka sendiri, meskipun pada prinsipnya mereka juga sangat membutuhkannya.
Potret kehidupan sosial semacam inilah yang menjadi cita-cita prophetik yang sudah mantap tertanam dalam sistem kehidupan para sahabat, dan setiap muslim seharusnya mengejawantahkan konsep tersebut dalam sistem kehidupannya sehari-hari, karena sesungguhnya yang demikian itu merupakan kekuatan spiritual umat Islam untuk menjadi pemenang dan tidak terhinakan selamanya.
Khadijah, yang telah menjadi istri nabi sebelum mendapat wahyu, meyakini kekuatan energi yang dilahirkan dari sistem kehidupan sosial yang cair dan saling membantu ini. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari di Shohihnya di dalam bab Bad`ul wahyi; bahwa setelah Muhammad menerima wahyu pertama di Gua Hira, beliau langsung pulang ke rumah Khadijah dalam keadaan badan gemetar, panas dingin dan rasa takut yang luar biasa seraya berkata kepada Khadijah: ”innî Khasyîtu `alâ nafsî” (saya takut keburukan menimpa diriku).
Dengan tenang dan tegas Khadijah meyakinkan nabi, bahwa tidak akan terjadi sesuatu hal yang buruk menimpa diri nabi, seraya berkata dengan ungkapan yang meyakinkan: ”kallâ wallâhi mâ yukhzîka Allâhu Abadan” (sekali-kali tidak, Demi Allah, Allah tidak akan pernah menghinakan kamu selamanya). Keyakinan Khadijah ini dilandaskan kepada realitas kehidupan nabi yang memperhatikan kepentingan orang lain, serta selalu berupaya memenuhi kebutuhan orang lain, yang secara gamblang diidentifikasi oleh khadijah dalam beberapa bentuk perilaku sosial nabi; antara lain, bahwa nabi Muhammad selalu melakukan silaturrahim, memuliakan tamu, meringankan dan menanggung beban orang lain, memberikan jaminan kehidupan dan selalu membantu serta menyokong lembaga-lembaga sosial yang bergerak menebar kebaikan dan mewujudkan keharmonisan hidup.
Dengan menggunakan paradigma prophetik dengan pendekatan historis seperti kasus di atas dapat disimpulkan bahwa orang dengan yang memiliki rasa empati dan kepedulian sosial, bahkan tingkat keshalehan sosialnya mencapai derajat al-îstâr, Allah akan menjamin kehidupannya menjadi semakin terarah, penuh harmoni dan kemenangan.
Tetapi, rasa empati dan kepedulian sosial, membantu sesama dan meningkatkan standard kelayakan hidup orang lain dengan paradigma al-îtsâr ini harus dilakukan dengan ikhlas mengharap ridla Allah semata dan tanpa pamrih. Tidak dibenarkan membayangkan dan mengharap balas budi dari orang yang dibantu, karena Allah lah yang akan menjamin kehidupannya dan akan membalas segala kebaikannya.
Artinya: “Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini, Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan (nya)?” (Q.S. Hud [11]: 51).(*)
*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co