Opini
Ketimpangan Kekayaan Kaltim: Jakarta Nikmati, Mahulu Tertinggal

Oleh: Margareth Henrika, M.M (Dosen Manajemen di FEB Universitas Mulawarman)
Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu pilar ekonomi Indonesia berkat sumber daya alam (SDA) seperti minyak, gas, batu bara, dan kelapa sawit. Hingga Maret 2025, Kaltim menyumbang Rp4,92 triliun ke APBN, dengan Rp4,18 triliun dari pajak dan Rp779,68 miliar dari PNBP. Sektor pertambangan menyumbang 35,34% PDRB Kaltim, dan ekspor batu bara mendominasi 70,30% dari total ekspor Rp1.710,97 juta pada Triwulan I 2025.
Namun, sebagian besar kekayaan ini mengalir ke Jakarta dan kota-kota besar lain, sementara Kaltim, khususnya Kabupaten Mahulu, masih menghadapi ketertinggalan pembangunan. Tuntutan otonomi khusus (otsus) muncul sebagai solusi untuk mengatasi ketimpangan ini, dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kaltim.
Kontribusi Besar, Alokasi Minim
Kaltim mampu menghasilkan ratusan triliun per tahun, tetapi hanya kurang dari 10% yang kembali melalui Dana Bagi Hasil (DBH) dan Transfer ke Daerah (TKD). Hingga April 2025, TKD Kaltim terealisasi Rp8,58 triliun dari pagu Rp38,41 triliun, dengan DBH sebesar Rp5,91 triliun sebagai komponen utama.
Pada 2024, TKD mencapai Rp41,93 triliun, namun turun 19,39% akibat penurunan harga batu bara. Sementara itu, anggaran IKN sebesar Rp40,89 triliun pada 2024, yang 99,56% dikelola Kementerian PUPR, lebih mendukung proyek nasional ketimbang kesejahteraan lokal.
Gubernur Kaltim, beberapa hari lalu mengkritik alokasi DBH yang timpang, sejalan dengan aspirasi masyarakat yang merasa kekayaan Kaltim tersedot ke pusat. UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah menetapkan pembagian 84,5% untuk pusat dan 15,5% untuk daerah dari minyak bumi, serta 69,5% untuk pusat dan 30,5% untuk daerah dari gas bumi. Ketimpangan ini memicu tuntutan otsus, sebagaimana diusulkan oleh DPD, DPR RI, dan KNPI Kaltim, untuk memperoleh porsi DBH yang lebih besar, serupa dengan Aceh dan Papua.
Mahulu: Potret Ketimpangan di Kaltim
Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu) mencerminkan ketimpangan pembangunan di Kaltim dengan nyata. Menurut BPS 2024, IPM Mahulu hanya 69,45, jauh di bawah rata-rata Kaltim (76,24), mencerminkan keterbatasan di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Infrastruktur jalan sangat memprihatinkan, dengan 62% jalan kabupaten rusak sedang hingga berat, menyulitkan akses ke desa-desa terpencil, terutama di kecamatan seperti Long Apari dan Long Pahangai.
Pada musim kemarau 2025, surutnya Sungai Mahakam, jalur utama distribusi logistik, memperparah isolasi wilayah. Perahu besar seperti longboat tidak dapat melintas karena batu-batu besar di dasar sungai, dan beberapa kapal karam, seperti KM Karunia F, akibat kebocoran lambung. Akibatnya, harga beras di Long Apari melonjak drastis hingga Rp1,2 juta per karung 25 kg (setara dengan Rp240.000 per 5 kg), jauh di atas harga normal, membebani warga yang mayoritas bergantung pada sembako dari luar.
Kondisi air bersih di Mahulu juga jauh dari memadai. Hanya 41,2% rumah tangga memiliki akses ke air bersih, dan banyak warga, termasuk penulis selama kunjungan tiga hari dua malam di Mahulu, harus mandi dengan air berwarna coklat dan berasa besi, menunjukkan kualitas air yang buruk.
Listrik hanya tersedia 24 jam di 38% desa, dengan sebagian besar desa hanya mendapat pasokan 4-6 jam sehari. Sinyal komunikasi juga sangat terbatas, menyebabkan kesulitan navigasi—bahkan perjalanan dari kantor ke penginapan bisa tersesat karena ketiadaan sinyal yang memadai.
Jalur darat yang ada, seperti ruas Long Bagun–Long Pahangai–Long Apari, masih bergelombang dan rusak akibat longsor, dengan beberapa jembatan kayu putus, sehingga distribusi logistik ke kampung-kampung hulu seperti Noha Tivab dan Noha Silat bergantung pada perahu kecil (ketinting) dengan biaya angkut tinggi, mencapai Rp5-6,5 juta per perjalanan untuk kapasitas 4 ton.
Pemkab Mahulu telah mengerahkan alat berat untuk memperbaiki jalan dan menyalurkan bantuan beras Bulog sebanyak 1,4 ton ke Long Apari dan 1,3 ton ke Long Pahangai pada Juli 2025, tetapi solusi ini belum cukup mengatasi krisis. Keterbatasan infrastruktur, seperti di Mahulu, menyebabkan isolasi wilayah dan biaya tinggi untuk Pembangunan.
Otonomi Khusus: Harapan Kesejahteraan
Tuntutan otsus Kaltim didasarkan pada kontribusi besar SDA dan ketimpangan pembangunan. Bahkan di tahun 2013, Kaltim, bersama Aceh, Riau, dan Papua, termasuk provinsi terkaya SDA, namun hanya menerima sekitar 5% dari kontribusi ekonominya ke pusat. Berita Kompas (29 April 2025) menyebutkan bahwa Kaltim termasuk di antara lima daerah yang mengusulkan otsus, bersama Kepulauan Riau, Bali, Kalimantan Selatan, dan Maluku Utara.
Usulan ini terkendala moratorium dan belum rampungnya dua Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penataan Daerah dan Desain Besar Penataan Daerah (Desartada). Namun, otsus dianggap sebagai solusi untuk meningkatkan kewenangan daerah dalam mengelola SDA dan anggaran, sehingga mempercepat pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik.
Otsus diharapkan memberikan Kaltim porsi DBH lebih besar, seperti yang dinikmati Aceh dan Papua, untuk mendanai pembangunan di daerah tertinggal seperti Mahulu. Penurunan DBH SDA bisa melemahkan kapasitas daerah untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan.
Dengan otonomi khusus (otsus), Kaltim dapat mengelola sumber daya alam (SDA) secara lebih mandiri, termasuk menetapkan kuota produksi untuk mengurangi kerusakan lingkungan akibat eksploitasi berlebihan, seperti pada pertambangan batu bara yang menghasilkan 368 juta ton pada 2024, berkontribusi pada deforestasi dan emisi gas rumah kaca yang signifikan.
Otsus juga dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang pada 2024 mencapai Rp5,21 triliun atau sekitar 19,18% dari total pendapatan APBD Kaltim sebesar Rp27,15 triliun hingga Juni 2024, menunjukkan potensi fiskal yang kuat untuk mendukung pembangunan daerah.
Tantangan dan Solusi
Ketimpangan fiskal Kaltim dipicu oleh tiga faktor utama: penurunan DBH akibat fluktuasi harga komoditas, pengelolaan terpusat anggaran IKN, dan ketergantungan pada Dana Transfer (79,5% APBD 2024). Penelitian oleh Harefa (2018) menunjukkan bahwa penurunan DBH SDA berdampak pada kemampuan daerah untuk mendanai pembangunan dan mengatasi kemiskinan.
Untuk mengatasi ini, otsus perlu didukung dengan reformasi skema DBH, memberikan porsi lebih besar kepada Kaltim. Dana TKD harus diarahkan pada investasi produktif, seperti hilirisasi industri dan energi terbarukan, serta pembangunan infrastruktur di Mahulu, seperti perbaikan 62% jalan rusak, peningkatan akses air bersih hingga 70%, dan listrik 24 jam di semua desa. Keterlibatan daerah dalam pengelolaan anggaran IKN juga harus diperkuat. Namun, tantangan otsus meliputi kapasitas SDM dan pengelolaan anggaran, dengan silpa Kaltim mencapai 14% dan Kukar hingga 30% akibat keterbatasan SDM dan korupsi.
Penutup
Kaltim telah lama menjadi penyokong ekonomi nasional, namun ketimpangan fiskal menyebabkan daerah seperti Mahulu tertinggal. Tuntutan otonomi khusus, yang didukung oleh DPD, DPR, dan masyarakat, menjadi harapan untuk mendistribusikan kekayaan secara adil, mempercepat pembangunan, dan melindungi lingkungan.
Dengan otsus, Kaltim dapat mengelola SDA dan anggaran secara lebih mandiri, memastikan kesejahteraan masyarakatnya. Pemerintah pusat harus segera merampungkan PP Penataan Daerah dan Desartada untuk mewujudkan “Kaltim Berdaulat” yang sejati, bukan sekadar slogan.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp
Related Posts
- Enam Perusahaan di Berau Terima Proper Merah, DLHK Akui Keterbatasan Pengawasan
- Gubernur Kaltim Genjot Pajak Alat Berat untuk Dongkrak Pendapatan Daerah
- Gubernur Kaltim Ajak BUMD dan Perusahaan Tambang-Migas Bersinergi untuk Optimalkan PAD
- Harus Berdampak Langsung untuk Warga Kaltim, Pemprov Siapkan Roadmap CSR Tambang
- Ketua DPRD Kukar Soroti Tambang Gunakan Jalan Umum: Legal atau Ilegal, Keduanya Bermasalah