Nasional

Kajian IESR: Pengetatan Standar BBM Euro IV Dapat Kurangi Polusi Udara Hingga 80 Persen

Kaltim Today
19 November 2024 20:35
Kajian IESR: Pengetatan Standar BBM Euro IV Dapat Kurangi Polusi Udara Hingga 80 Persen
Julius Christian, Analis Senior IESR.

JAKARTA, Kaltimtoday.co - Polusi udara dari sektor transportasi terus menjadi perhatian utama di Indonesia, terutama akibat penggunaan bahan bakar minyak (BBM) berkualitas rendah. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu segera memperketat standar kualitas BBM yang dijual di Indonesia.

Dalam kajian bertajuk “Analisis Dampak Kebijakan Pengetatan Standar Kualitas BBM pada Aspek Lingkungan, Kesehatan, dan Ekonomi”, yang diluncurkan pada Selasa (19/11/2024) oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), Center of Reform on Economics (CORE Indonesia), Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), dan Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI), pengetatan standar BBM setara Euro IV dinilai dapat memberikan dampak signifikan pada kualitas udara, kesehatan masyarakat, serta perekonomian.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengungkapkan bahwa sektor transportasi menyumbang sekitar 45 persen polusi udara di Jakarta, dengan mayoritas BBM yang digunakan seperti Pertalite dan Pertamax masih mengandung sulfur hingga 150–400 ppm, jauh melebihi standar Euro IV yang membatasi maksimal 50 ppm.

“Polusi udara tidak hanya merugikan kesehatan, tetapi juga menyebabkan kerugian ekonomi. Bank Dunia mencatat, polusi udara di Indonesia mengurangi PDB negara hingga US$ 220 miliar atau sekitar 6,6 persen per tahun. Jika ingin mencapai target pertumbuhan ekonomi delapan persen, maka pemerintah harus serius mengatasi masalah ini,” ujar Fabby.

Fabby menambahkan, meskipun penerapan standar Euro IV membutuhkan investasi besar pada teknologi pengolahan BBM dan infrastruktur kilang minyak, manfaat jangka panjangnya jauh lebih besar dalam bentuk pengurangan biaya kesehatan dan kerusakan lingkungan.

Ketua RCCC-UI, Prof. Budi Haryanto, menjelaskan bahwa polusi udara telah menyebabkan 175 ribu hingga 599 ribu kasus penyakit seperti ISPA, asma, dan radang paru-paru di Jakarta pada periode 2016–2021.

“Biaya pengobatan yang diklaim melalui BPJS mencapai Rp191 juta hingga Rp1,8 miliar pada periode yang sama. Kualitas udara yang lebih bersih akan mengurangi risiko rawat inap dan biaya pengobatan, sekaligus melindungi kesehatan masyarakat,” jelas Prof. Budi.

Julius Christian, Analis Senior IESR, mengungkapkan bahwa penerapan standar BBM Euro IV mampu menurunkan emisi polutan seperti CO, NOx, SO2, serta konsentrasi PM2.5 dan PM10 hingga lebih dari 80 persen. Selain itu, langkah ini juga berpotensi menurunkan lebih dari 50 persen penyakit terkait polusi udara di Jabodetabek dan menghemat biaya pengobatan hingga Rp550 miliar per tahun di Jakarta saja.

“Penerapan standar BBM Euro IV akan meningkatkan biaya produksi BBM, yang dapat diatasi dengan tambahan anggaran subsidi atau pembatasan akses BBM subsidi untuk segmen tertentu,” tambah Julius.

Kajian ini memberikan lima rekomendasi strategis untuk meningkatkan kualitas udara dan menurunkan emisi di sektor transportasi:

 1. Pengetatan Standar BBM: Segera menerapkan standar BBM Euro IV, selaras dengan teknologi mesin kendaraan sesuai Permen LHK No. 20/2017.

 2. Peta Jalan Emisi Kendaraan: Merumuskan regulasi dan peta jalan untuk pengetatan standar emisi kendaraan bermotor menuju Euro VI.

 3. Edukasi dan Penegakan Hukum: Memperkuat pengawasan serta memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya bahan bakar berkualitas tinggi.

 4. Infrastruktur BBM: Meningkatkan kemampuan kilang BBM melalui investasi, kerja sama dengan swasta, dan pengalihan impor BBM ke standar Euro IV.

 5. Transportasi Ramah Lingkungan: Mendorong penggunaan transportasi publik dan kendaraan rendah emisi dengan insentif untuk mempercepat peralihan.

Para ahli sepakat bahwa pengetatan standar BBM tidak hanya akan memperbaiki kualitas udara, tetapi juga mendukung daya saing industri otomotif di pasar global dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

“Langkah ini tidak hanya melindungi kesehatan masyarakat, tetapi juga mendorong Indonesia menuju pembangunan berkelanjutan,” tutup Fabby.

[TOS]



Berita Lainnya