Opini
Kebijakan Tapera, Bikin Rakyat Merana
Oleh: Fitri Suryani, S. Pd, (Guru dan Penulis Asal Konawe, Sulawesi Tenggara)
Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25/2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera. Dengan adanya PP Tapera, maka perusahaan atau pekerja akan dipungut iuran baru. Gaji para pekerja siap-siap akan dipotong 2,5 persen untuk iuran Tapera tersebut.
Peserta dana Tapera di PP itu disebut terdiri dari pekerja dan juga pekerja mandiri. Golongan pekerja yang dimaksud meliputi calon PNS, anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara, pekerja BUMN, pekerja BUMD dan pekerja dari perusahaan swasta. Sedangkan pekerja mandiri menjadi peserta dengan mendaftarkan diri sendiri kepada BP Tapera (Viva.co.id, 03/06/2020).
Tabungan Perumahan Rakyat atau yang disingkat dengan Tapera ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 4/2016. Tapera dibentuk untuk tujuan membantu pembiayaan perumahan bagi para pekerja.
Pekerja yang pertama kali diwajibkan menjadi peserta Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) adalah aparatur sipil negara (ASN) atau pegawai negeri sipil ( PNS). Setelah itu, lingkup kepesertaan Tapera diperluas secara bertahap. Tahap kedua adalah pekerja di perusahaan badan usaha milik negara dan daerah serta TNI-Polri. Tahap ketiga berlaku untuk pekerja swasta, pekerja mandiri, dan pekerja sektor informal (Kompas.com, 07/06/2020).
Sementara itu, pengamat properti sekaligus Ketua Umum DPP Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI), Paulus Totok Lusida meminta pemerintah memperjelas aturan iuran tersebut. Pasalnya, iuran ini nantinya akan berlangsung dalam jangka panjang. Jangan sampai, kata dia, iuran ini justru membuat masyarakat menjadi antipati lantaran tidak jelas juntrungnya.
Tak kalah penting, kata dia, adalah transparansi pengelolaan dana Tapera. Karena sifatnya iuran dalam jangka panjang, tentunya dana Tapera berpotensi menjadi dana besar. Totok pun berharap, dana ini tidak menjadi 'bancakan' oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab lantaran akan mengendap dalam kurun waktu lama (Cnnindonesia.com, 03/06/2020).
Adanya kebijakan terkait Tapera tersebut, tentu tak sedikit menambah beban para pekerja/pegawai, terlebih di masa-masa sulit saat pandemi ini. Bagaimana tidak, gaji yang diperoleh para pekerja/pegawai banyak mengalami potongan ini dan itu. Padahal kebutuhan keluarga pun tak kalah banyak dan penting. Apalagi tak bisa dipungkiri kebutuhan pokok semakin hari mengalami kenaikan. Belum lagi pembiayaan sekolah bagi mereka yang telah memiliki anak dan sederat kebutuhan lainnya yang begitu banyak.
Tidakkah para pejabat berwenang merasa iba pada nasib rakyat yang kehidupannya kian sulit ini? Seolah rakyat kini sulit memperoleh sesuatu dengan harga terjangkau, apalagi cuma-cuma. Sudah kebutuhan primer seperti pendidikan dan kesehatan mahal, masyarakat dibebani lagi dengan berbagai iuran ini dan itu. Belum lagi kalau membahas persoalan pajak yang tak kalah membuat rakyat pusing.
Kewajiban iuran Tapera sebesar 2,5% gaji tentu menambah daftar iuran bersama yang mesti ditanggung perusahaan dan pekerja, selain iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Dana Tapera ini pun termasuk yang minim memberi manfaat pada pekerja karena jangka waktu iurannya yang sangat panjang dan tidak mudah bagi peserta untuk melakukan klaim pengambilan dana tersebut.
Ketetapan PP Tapera seakan menggambarkan bahwa para pejabat berwenang masih minim rasa empati terhadap kesulitan hidup yang dihadapi rakyat, terlebih di masa pademi ini. jika memang para pejabat tersebut belum mampu menyejahterakan rakyatnya secara menyeluruh, janganlah membuat kebijakan yang malah menambah beban hidup rakyat yang sudah berat ini.
Padahal sejatinya pemimpin atau pejabat pemerintahan merupakan pelayan atas urusan rakyatnya yang mana ia bertugas melayani mereka, bukan sebaliknya minta dilayani. Sebagaimana Nabi saw bersabda, “Sayyid (pemimpin, pejabat, pegawai pemerintah) suatu kaum adalah pelayan (khadim) mereka.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Jadi memudahkan urusan rakyat merupakan bagian memberikan pelayanan yang baik. Sedangkan mempersulit urusan publik merupakan bentuk kezaliman dan dapat membuka peluang perbuatan buruk yang lainnya.
Oleh karena itu, sulit mewujudkan pejabat yang memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap urusan rakyatnya, jika mereka masih minim empati, apalagi rasa takut saat dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Olehnya itu, hanya pejabat yang takut pada Allah saja yang akan benar-benar menjalankan amanah dengan baik, karena ia tak hanya mempertanggungjawabkan di hadapan manusia, tapi di hadapan-Nya pula nanti. Wallahu a’lam.(*)
*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co