Opini
Kepemimpinan Perempuan: Membangun Peradaban yang Berkeadilan
Oleh: Ida Farida (Dosen UINSI, Anggota Dewan Pendidikan Kalimantan Timur, dan Ketua Muslimat NU Samarinda)
DI TENGAH tantangan sosial, politik, dan ekonomi yang semakin kompleks, muncul pertanyaan mendasar mengenai bentuk kepemimpinan yang diperlukan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, damai, dan sejahtera. Dalam banyak tradisi, kepemimpinan sering kali dikaitkan dengan kekuasaan, dominasi, dan penguasaan. Namun, dengan semakin mendalamnya ketidaksetaraan sosial, apakah model kepemimpinan semacam ini masih relevan? Di sinilah kepemimpinan perempuan, yang menekankan nilai-nilai kasih sayang, pengasuhan, dan keadilan sosial, menawarkan sebuah alternatif yang lebih inklusif dan manusiawi.
Kepemimpinan perempuan tidak hanya berfokus pada siapa yang memimpin, tetapi lebih pada bagaimana kepemimpinan tersebut dijalankan. Kepemimpinan berbasis perempuan mengutamakan hubungan sosial yang harmonis dan kolaborasi, bukan dominasi atau penaklukan. Pemimpin perempuan dengan karakter pengayom dan pemberdaya cenderung fokus pada pemberdayaan masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya pada segelintir kelompok yang berada di puncak hierarki. Dalam hal ini, kepemimpinan perempuan berpotensi menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, adil, dan damai, di mana keputusan-keputusan yang diambil mengutamakan kesejahteraan bersama.
Namun, kepemimpinan perempuan tidak berarti menghapuskan peran laki-laki dalam masyarakat. Sebaliknya, kepemimpinan ini membuka ruang untuk kerja sama yang lebih kuat antara laki-laki dan perempuan. Kepemimpinan yang berbasis kolaborasi ini menekankan pentingnya kerja sama dan nilai-nilai moral dalam menghadapi tantangan sosial, mengurangi ketegangan, serta mendorong terciptanya kesejahteraan bersama. Dengan pendekatan yang lebih humanis, kepemimpinan perempuan mengedepankan pengasuhan, keadilan sosial, dan pemberdayaan, yang membawa dampak positif bagi seluruh masyarakat.
Salah satu pemikir yang mendalami konsep kepemimpinan berbasis kasih sayang adalah Martha C. Nussbaum dalam bukunya Political Emotions: Why Love Matters for Justice (2013). Nussbaum berargumen bahwa emosi—terutama cinta dan kasih sayang—memainkan peran penting dalam membentuk sikap moral serta membangun solidaritas dalam masyarakat. Kepemimpinan yang mengutamakan emosi positif ini, menurut Nussbaum, dapat menumbuhkan rasa empati yang lebih dalam terhadap sesama dan memprioritaskan kebajikan sosial di atas kepentingan individu atau kelompok tertentu. Dengan pendekatan ini, pemimpin perempuan dapat mengarahkan kebijakan dan keputusan publik dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya pada mereka yang memiliki kekuasaan.
Pemikiran serupa juga muncul dalam karya Johann Gottfried Herder, seorang filsuf Jerman, yang menekankan pentingnya rasa kemanusiaan dalam kepemimpinan. Menurut Herder, seorang pemimpin sejati bukan hanya bertugas mengatur negara atau organisasi, tetapi juga harus mampu menumbuhkan rasa empati terhadap sesama, serta menegakkan keadilan yang berpihak pada mereka yang paling rentan dalam masyarakat. Dalam konteks ini, pemimpin perempuan berpotensi menghadirkan perubahan dalam paradigma kepemimpinan yang lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan universal, memastikan bahwa kebijakan yang diambil berpihak pada kesejahteraan masyarakat luas, bukan kepentingan segelintir pihak.
Kepemimpinan perempuan juga memiliki dimensi yang penting dalam konteks agama, terutama dalam Islam, di mana kepemimpinan dipandang sebagai amanah dan tanggung jawab moral. Dalam Islam, baik laki-laki maupun perempuan diharapkan untuk menegakkan keadilan sosial dan memperhatikan kesejahteraan umat. Pemimpin perempuan yang menghayati prinsip ini tidak hanya berfokus pada penguasaan atau dominasi, tetapi pada kemampuan untuk merawat, mendidik, dan memberdayakan masyarakat. Dalam pandangan Islam, kekuasaan sejati terletak pada amanah dan tanggung jawab moral seorang pemimpin, yang harus memperjuangkan keadilan sosial dan kemaslahatan umat, bukan semata-mata untuk menguasai atau menindas.
Namun, tantangan terbesar dalam penerapan kepemimpinan perempuan adalah bagaimana menegakkan prinsip-prinsip keadilan dalam konteks sosial yang semakin terhubung ini. Ketidakadilan sosial dan ekonomi yang semakin mencolok di berbagai wilayah menuntut pemimpin perempuan untuk berani menghadapi ketidaksetaraan tersebut dengan kebijakan yang lebih adil dan berpihak pada kesejahteraan seluruh umat manusia. Kepemimpinan perempuan yang bijaksana dapat menginspirasi terciptanya hubungan sosial yang lebih seimbang, di mana kepentingan semua individu dan kelompok dihormati dan diperjuangkan. Kepemimpinan berbasis nilai-nilai sosial yang inklusif ini berpotensi mengurangi kesenjangan sosial, menciptakan peluang yang lebih merata, dan memastikan bahwa kebijakan pembangunan mencakup seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang selama ini terabaikan.
Di samping itu, kepemimpinan perempuan juga sangat relevan dalam upaya membangun perdamaian dan menyelesaikan konflik sosial. Banyak studi menunjukkan bahwa perempuan memiliki kemampuan luar biasa dalam meredakan ketegangan dan membangun konsensus antara berbagai pihak yang berseteru. Kepemimpinan perempuan, yang berbasis pada kasih sayang dan keadilan sosial, mampu mengatasi polarisasi sosial dan membuka ruang untuk dialog serta rekonsiliasi. Dengan mengedepankan perdamaian, empati, dan keadilan sosial, pemimpin perempuan dapat memainkan peran kunci dalam menjaga stabilitas sosial, politik, dan ekonomi, baik di tingkat lokal maupun global.
Kesimpulan
Kepemimpinan perempuan yang berbasis pada nilai-nilai kasih sayang, pengasuhan, dan keadilan sosial menawarkan model kepemimpinan yang lebih inklusif, lebih manusiawi, dan berfokus pada kesejahteraan bersama. Meskipun tantangannya besar, kepemimpinan perempuan dapat menjadi jalan menuju peradaban yang lebih berkeadilan dan damai. Dengan prinsip-prinsip keadilan yang kokoh dan pengutamaan kebajikan sosial, kepemimpinan perempuan dapat menginspirasi dunia untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Masyarakat memerlukan pemimpin yang tidak hanya mengedepankan kekuasaan, tetapi juga yang berfokus pada upaya menciptakan harmoni sosial dan perdamaian global, di mana setiap individu dapat meraih kebahagiaan dalam kesejahteraan bersama. Apakah kita siap untuk menerima kepemimpinan ini dan membangun peradaban yang lebih adil bagi semua? (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- UMP dan UMSP Kaltim 2025 Naik 6,5 Persen, Ini Rinciannya
- ASN Terus Menanti Kepastian Jadwal Pindah Ke IKN
- Tembus 424 Laporan, Ombudsman Kaltim Fokus Berikan Solusi Non-Litigasi
- Rembuk Perempuan Pesisir Serukan Prioritas Air Bersih dan Sanitasi untuk Komunitas Pesisir
- Isran-Hadi Ajukan Gugatan Hasil Pilgub Kaltim ke MK, Refly Harun Jadi Kuasa Hukum