Kaltim
Krusialnya Eksistensi Insinerator di Tengah Pandemi Covid-19
Kaltimtoday.co, Samarinda - Terjadinya pandemi virus Corona memang menuai banyak perhatian dari berbagai pihak. Hampir segala hal terdampak akibat virus yang awalnya ditemukan di Wuhan, Tiongkok itu. Tak terkecuali limbah medis yang jumlahnya cukup banyak. Terlebih, virus tersebut mulai memasuki kawasan Indonesia sejak Maret silam. Hingga saat ini pun, belum ada tanda-tanda bahwa virus Corona akan berakhir. Menandakan bahwa keberadaan limbah medis karena Covid-19 semakin meningkat.
Limbah medis bukanlah hal biasa. Terutama yang berasal dari penanganan Covid-19. Sebuah limbah infeksius dan mesti dikelola sebagai Limbah Berbahaya dan Beracun (B3). Pengelolaannya harus dilakukan sesuai dengan PP nomor 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah B3 dan Peraturan Menteri LHK nomor 56/2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun darti Fasilitas Kesehatan.
Hal tersebut dibenarkan oleh Munawwar, kabid Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltim. Limbah medis yang berasal dari penanganan Covid-19 memang harus dibedakan dengan limbah biasa dan penanganannya khusus. Beberapa contoh jenis limbah B3 dari penanganan Covid-19 seperti masker, sarung tangan, baju pelindung diri, tisu bekas, alat dan jarum suntik, infus, kain kasa, wadah bekas makan dan minum, serta sampah dari laboratorium.
Munawwar menjelaskan lebih lanjut bahwa limbah yang berasal dari dampak virus Corona itu harus dimusnahkan dengan alat bernama insinerator. Berfungsi sebagai alat pembakaran untuk semua jenis limbah medis.
Pemusnahan dilakukan dalam jangka waktu 1x24 jam. Paling lambat 2x24 jam. Hal tersebut dilakukan agar limbah tidak tersebar lebih luas. Suhu pembakarannya mulai 800-1000 derajat celsius.
“Tiap rumah sakit memiliki insinerator. Namun ada pula pihak swasta yang menyediakan jasa insinerator di luar rumah sakit. Mereka menerima limbah dari orang lain. Kemudian ada non jasa, contohnya dilakukan perusahaan tambang batu bara yang memiliki alat tersebut. Itu berdasar pada kegiatan sendiri, di luar pelayanan kesehatan,” jelas Munawwar.
Oleh sebab itu, lazimnya sebuah rumah sakit mesti memiliki alat itu. Seandainya tidak, maka harus menggunakan jasa pihak ketiga demi memusnahkan limbah medisnya. Di Kaltim, ada 12 rumah sakit rujukan yang dipilih untuk menangani pasien Covid-19. Termasuk rumah sakit swasta. Otomatis turut menangani limbah dari Covid-19. Tugas dari DLH Kaltim adalah melaporkan seluruh jenis limbah B3 karena Covid-19 ke Kementerian Lingkungan Hidup. Kemudian hanya mengkoordinasikan terhadap pelayanan kesehatan yang menjadi rujukan penanganan Covid-19.
Ditambahkan Munawwar, timbulan limbah medis disebabkan Covid-19 itu harus terdata setiap harinya sehingga dapat diketahui seberapa banyak yang harus melalui proses pembakaran. Biasanya, rumah sakit akan melaporkan jumlah spesifiknya dan DLH Kaltim akan mengkompilasi total dari data keseluruhan. Semisal, dalam sehari terkumpul sekitar 1 kilogram limbah medis Covid-19 dari tiap rumah sakit.
Sedangkan rumah sakit rujukan berjumlah 12. Maka jika ditotal dan secara rata-rata, ada 12 kilogram limbah medis terkumpul.
“Kami selalu meminta data terbaru dari pihak rumah sakit. Sehingga, 12 rumah sakit rujukan itu aktif dan mudah berkoordinasi dengan kami. Selain laporan harian, opsi lainnya juga boleh kalau ingin laporan per minggu. Nantinya akan tetap terdata,” lanjut Munawwar.
Koordinasi antara DLH Kaltim dengan 12 rumah sakit rujukan di Kaltim mengenai data limbah medis karena penanganan Covid-19 tersebut sudah dimulai sejak virus Corona mencuat di Tanah Air. Tepatnya pada Maret silam. Kaltim pun sudah menjadi yang pertama kali melaporkan kegiatan timbulan limbah itu kepada Kementerian Lingkungan Hidup melalui online meeting.
[YMD | ADV DISKOMINFO]