Samarinda
Niat Pertahankan Sisi Sejarah, Wali Kota Samarinda Langgar Permen PUPR untuk Renovasi Rumah Ibadah
Kaltimtoday.co, Samarinda - Memasuki awal 2020, normalisasi Sungai Karang Mumus (SKM) akan memasuki babak baru. Karena kegiatan ini, rencana akan dianggarkan melalui program proyek strategis nasional (PSN). Namun lagi-lagi kendala kembali terjadi. Dibalik antusias mengembalikan wajah SKM agar bisa berfungsi layaknya pada zaman dahulu, dan sebagai salah satu ikonik baru Samarinda, justru hambatan datang lantaran kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda yang melakukan renovasi dua rumah ibadah di bibir sungai.
Lokasi tepatnya berada di seputaran Jalan Muso Salim. Kedua rumah ibadah tersebut rencananya di agendakan rampung pada akhir 2019. Namun kenyataan justru berkata sebaliknya. Renovasi pertama terjadi di Masjid Al-Wahhab yang dikerjakan oleh kontraktor CV Berlian, dengan besaran biaya Rp 3,5 miliar. Selanjutnya, yakni Langgar Al-Fallah direnovasi oleh CV Rotan Jaya Utama dengan total pengerjaan Rp 2,2 miliar.
Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang saat dikonfirmasi menuturkan, jika renovasi kedua rumah ibadah yang ada di bibir SKM ini karena memilik sisi historis dan selain itu juga, kalau mau dipindah sudah tidak ada lagi lahannya. Seperti yang diketahui, jika kawasan tersebut tengah padat pemukiman yang menjadi kendala lahan. Sementara segi historisnya, kedua bangunan itu telah ada sebelum waktu kemerdekaan Republik Indonesia.
"Jadi bagaimana? Keduanya ini sudah ada sejak 1930," ucap Jaang kepada awak media Kamis (9/1/2020) sore.
Wali kota dua periode ini juga mengatakan, kalau renovasi itu dilakukan juga untuk mempercantik estetika kota. Juga, mesjid dan langgar tersebut, lantaran memiliki sejarah yang cukup panjang. Singkat kata, sejarah itu menurutnya tidak bisa dihilangkan begitu saja.
"Kalau mau pindah lokasinya ada nggak. Ini bukan membuat baru, tapi membenahi yang sudah ada," imbuhnya.
"Pertanyaannya, dengan semangat normalisasi kami bongkar itu. Ada nggak lahan di situ. Sama juga dengan masjid, kami lihat dibangun di sana asal tempel. Tapi tidak bisa disalahkan, karena ini kebutuhan masyarakat jemaah," sambung Jaang.
Hanya saja, pada tahap renovasi itu Jaang mengakui kalau, dirinya tidak melakukan pemberitahuan terlebih dulu kepada Dinas PUPR dan Lingkungan Hidup Samarinda. Karena menurutnya, renovasi secara otomatis akan mendapat kesulitan dalam hal administrasi.
"Saya sudah bilang sama pak sekda, kalau di situ dibangunnya pasti akan diprotes. Sehingga saya perintahkan saja langsung proses membangun masjid itu," jelasnya.
Sementara itu, Kepala Balai Wilayah Sungai Kalimantan III Anang Muchlis mengaku, sudah melihat lokasi kedua rumah ibadah tersebut. Dia mengatakan, keduanya masuk ke dalam wilayah palung sungai.
Padahal, penataan seperti hal tersebut telah diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) PUPR nomor 28/PRT/M/2015 tentang penetapan garis sempadan sungai dan garis sempadan danau. Pasal 3, pasal 4 dan pasal 5.
"Harusnya ada jarak, sesuai dengan aturan Permen PUPR tentang sungai," tegasnya.
Dia mengaku, telah memberikan surat kepada Pemkot Samarinda. Pasalnya, bangunan tersebut hingga saat ini pengerjaannya belum memiliki izin.
"Kami sudah memantau. Kami juga sudah bersurat. Intinya harus izin. Selama ini kan tidak ada. Nanti mekanismenya seperti apa, kami akan bahas lebih lanjut," imbuhnya.
Terkait alasan bahwa bangunan rumah ibadah tersebut memiliki jejak sejarah. Namun, aturan yang mengatur tentang sungai itu ada. Dia meminta agar aturan tersebut tetap dijalankan. Karena itu untuk kepentingan bersama.
"Kalau kami kan ada aturan ya harus dijalankan. Kami melihatnya dari aturan saja. Aturan itu kan harus dijalankan bersama. Karena, itu kepentingan bersama. Kalau di sekitar sungai itu banjir, yang merasakan masyarakat banyak," tutupnya.
[JRO | RWT]