Kaltim

Pengamat: Partai Golkar Tidak Bisa Seenaknya Ganti Makmur HAPK Sebagai Ketua DPRD Kaltim

Kaltim Today
19 Juni 2021 19:10
Pengamat: Partai Golkar Tidak Bisa Seenaknya Ganti Makmur HAPK Sebagai Ketua DPRD Kaltim

Kaltimtoday.co, Samarinda - Pengamat politik dan hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah menilai Partai Golkar tidak bisa seenaknya mengganti Makmur HAPK sebagai ketua DPRD Kaltim.

Menurut Herdiansyah Hamzah, masa jabatan pimpinan DPRD terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji pimpinan dan berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan keanggotaan di DPRD.

[irp posts="38430" name="Beredar Surat DPP Golkar Setujui Hasanuddin Mas'ud Jadi Ketua DPRD Kaltim, Makmur HAPK Resmi Diganti?"]

Namun demikian, pimpinan DPRD bisa diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir jika ia meninggal dunia, mengundurkan diri, diberhentikan sebagai anggota DPRD, atau diberhentikan sebagai pimpinan DPRD.

Dalam ketentuan Pasal 36 Ayat 3 PP 12/2018 tentang Pedoman Tata Tertib DPRD juncto Pasal 24 Ayat 4 Peraturan DPRD Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tatib DPRD Provinsi Kaltim, disebutkan secara eksplisit bahwa, pimpinan DPRD diberhentikan dalam dua kondisi.

Pertama, melanggar sumpah atau janji dan kode etik berdasarkan keputusan Badan Kehormatan BK).

Kedua, partai politik yang bersangkutan mengusulkan pemberhentian yang bersangkutan sebagai pimpinan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

”Secara prosedural, partai politik asal memang memiliki hak untuk mengusulkan pemberhentian anggotanya sebagai pimpinan DPRD,” kata Herdiansyah Hamzah.

Meski begitu, menurut dia, seharusnya partai politik asal juga harus punya alasan yang rasional dan memadai untuk mengganti anggotanya sebagai pimpinan DPRD. Bukan asal main ganti begitu saja.

Hal itu penting, sebab sejak saat anggotanya diusulkan untuk diangkat menjadi pimpinan DPRD, maka sesungguhnya partai politik sudah menghibahkan anggotanya untuk kepentingan rakyat.

“Jadi ada hak publik yang mesti dipertimbangkan juga. Untuk itu, mesti jelas apa alasan penggantiannya,” tutur pria yang akrab disapa Castro tersebut.

Jika yang bersangkutan, pimpinan DPRD yang mau diganti, keberataan terhadap keputusan partai yang mengusulkan pemberhentiannya sebagai pimpinan DPRD, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai "perselisihan partai politik".

Penjelasan Pasal 32 Ayat (1) UU 2/2011 tentang Perubahan UU 2/2008 tentang Partai Politik, secara eksplisit menyebutkan bahwa cakupan perselisihan partai politik meliputi: perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan, pelanggaran terhadap hak anggota partai politik, pemecatan tanpa alasan yang jelas, penyalahgunaan kewenangan, pertanggungjawaban keuangan, dan/atau "keberatan terhadap keputusan partai politik".

Untuk itu, penyelesaian terhadap perselisihan ini harus dilakukan secara internal melalui Mahkamah Partai Politik dalam waktu 60 hari sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU 2/2011 tentang Partai Politik.

Terkecuali jika penyelesaian perselisihan tidak tercapai, maka proses berikutnya diserahkan kepada pengadilan negeri (PN) untuk paling lama 60 hari. Putusan PN merupakan putusan ditingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi paling lama 30 hari. Ketentuan ini, disebutkan Castro, dapat dilihat dalam Pasal 33 UU 2/2011 tentang Partai Politik.

Inilah proses formil, sebut dia, yang harus ditempuh sebelum pemberhentian pimpinan DPRD dilakukan dalam rapat paripurna untuk ditetapkan melalui Keputusan DPRD.

Jika proses penyelesaian perselisihan tersebut tidak dilakukan melalui mekanisme yang disebutkan di atas, dan DPRD nantinya tetap bersikeras menetapkan keputusan pemberhentian tersebut, maka keputusan itu rentan digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Konsekuensinya keputusan DPRD tersebut lemah dalam argumentasi prosedural,” tutupnya.

[TOS]



Berita Lainnya