Samarinda
Pius Lustrilanang yang Tularkan Semangat Perjuangan Reformasi dari ALDERA ke Unmul
Kaltimtoday.co, Samarinda – Kuliah Umum dan Bedah Buku “Aliansi Demokrasi Rakyat (ALDERA) Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999” di Universitas Mulawarman (Unmul) menghadirkan Anggota VI BPK RI, Pius Lustrilanang. Dulunya, Pius merupakan aktivis.
Namanya kian populer pada akhir 90an kala melapor ke Komnas HAM tentang penculikan dan penyekapan yang dia alami selama 2 bulan dan dilakukan oleh orang tak dikenal. Masa itu merupakan momen sebelum jatuhnya Presiden Soeharto yang memang dibarengi dengan kegaduhan politik dan keamanan.
Buku ALDERA, ujar Pius, mengisahkan perjuangan mahasiswa pada akhir 80-an. Gerakan ini muncul sekian tahun setelah gerakan mahasiswa dibungkam rezim orde baru pada 1978. Ditandai dengan didudukinya kampus gerakan pada saat itu. Seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Gadjah Mada (UGM), hingga Universitas Padjadjaran (Unpad). Para aktivis di kampus tersebut juga ditangkapi.
“Setelah pembungkaman mahasiswa pada 1978, ada kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Mahasiswa tidak boleh berpolitik di dalam kampus. Tugasnya belajar saja,” ungkap Pius saat menjadi keynote speaker di agenda tersebut, Selasa (28/2/2023) di GOR 27 September Unmul.
Walhasil, ketika kampus-kampus sudah steril dari gerakan mahasiswa, sebagian aktivis banyak yang melanjutkan pendidikan keluar negeri. Ketika kembali ke Tanah Air, banyak dari para aktivis tersebut yang berkarier sebagai dosen, jurnalis. hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tiga profesi itu dipilih aktivis untuk mempertahankan idealismenya.
Pius bercerita, awal mula dia tertarik menjadi aktivis ketika dia mengambil kursus bahasa Prancis di salah satu pusat kebudayaan Prancis di Jogjakarta. Kala itu, Pius bertemu dengan salah seorang mahasiswa UGM yang memberikannya dua buku. Buku tersebut mengilhaminya. Dua buku itu berjudul Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 dan Indonesia Di Bawah Sepatu Lars.
“Dua buku ini membuat saya sadar tentang struktur politik dan ekonomi orde baru yang otoriter dan kemudian terpancing untuk berjuang membangun demokratisasi. Bersyukur saya bertemu dengan aktivis lain di Bandung pada 1989, muncul lagi gerakan mahasiswa. Gara-gara solidaritas pendudukan IAIN Bandung oleh tentara,” sambungnya.
Kejadian tersebut memicu protes dari para mahasiswa. Seluruh kampus turun ke jalan. Dari demonstrasi tersebut, lahir Badan Koordinasi Mahasiswa Bandung. Namun pergerakan itu tak bertahan lama. Sebab pada 5 Agustus 1989, saat mahasiswa berdemonstrasi menentang Menteri Dalam Negeri (Mendagri) kala itu, Rudini. Sehingga kembali terjadi penangkapan 5-6 aktivis mahasiswa sekitar 4 tahun.
“Sebagian aktivis kemudian membentuk panitia pergerakan mahasiswa untuk Indonesia untuk mengadvokasi kasus Badega. Lalu kami membuat pelatihan selama 2 minggu di Lembang. Terdiri dari 30-40 mahasiswa yang jadi cikal bakal aktivis-aktivis yang berjuang untuk mewujudkan reformasi,” tambah Pius.
Pelatihan itu bernama participatory action research. Perkumpulan para aktivis itu semakin berkembang sampai akhirnya 1993. Pada akhirnya, para aktivis menyadari bahwa untuk menumbangkan rezim Soeharto tidak cukup dengan gerakan mahasiswa secara sporadis. Tapi harus membangun kekuatan yang lebih serius. Salah satunya dalam bentuk seperti partai kader.
“Ada dua kelompok mahasiswa saat itu yang memilih Partai Kader. Yakni Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan ALDERA. PRD lebih dikenal karena aktivisnya banyak ditangkap. Kalau ALDERA, tidak banyak dikenal,” sambung alumnus Universitas Parahyangan (Unpar) itu.
ALDERA mulai muncul sejak 1993 dan fokus untuk perjuangan demokratisasi. Pius juga bercerita soal Peristiwa Kudatuli pada 27 Juli 1996. Yakni pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI.
“ALDERA terlibat di penggalangan 27 Juli 1996. Mengadvokasi PDI dan juga mengadvokasi ketika ada 3 media yang dibredel. Tempo, Detik Editor, dan menjelang sidang umum 1997, kami membentuk Solidaritas Indonesia untuk Amien dan Mega (SIAGA),” ucapnya lagi.
Saat itu, ALDERA sudah keluar dari sekadar mengorganisir gerakan mahasiswa tapi juga sudah mengorganisir LSM dan berkoalisi dengan partai. Berangkat dari situ, jadi membuat rezim orde baru melakukan tindakan kekerasan dengan menculik sejumlah aktivis. Salah satunya termasuk Pius.
“Saya diculik selama 58 hari. Mengalami penyiksaan. Termasuk disetrum, kepala ditekan di bak mandi. Ada juga yang digantung di balok es, dipukuli. Saat saya di dalam, mereka bilang ada yang keluar hidup, ada yang keluar mati dari tempat ini,” sambung Pius bercerita.
Ketika dia dibebaskan, dia langsung mengecek teman-temannya yang lebih dulu dibebaskan. Jumlahnya 3 orang. Ketika dia cek, ketiganya tak ada yang pulang ke rumah. Alias telah meninggal dunia.
Meski ada ancaman dibunuh jika berani memberikan konferensi pers, Pius tetap melakukannya pada 27 April 1998 di Komnas HAM. Segera setelah itu, Pius pergi ke Belanda dan melanjutkan kampanye nasional.
“7 Mei 1998, saya diundang Kongres Amerika Serikat (AS) dan bilang pada mereka untuk tolong hentikan bantuan militer AS ke Indonesia. Luar biasa, besoknya pemerintah AS langsung menghentikan bantuan militer,” tambahnya.
Dia juga berbicara di depan National Security Council untuk meminta pemerintah AS mencabut dukungan terhadap Presiden Soeharto. Kesaksian Pius saat itu memicu amarah mahasiswa dan makin berani untuk melakukan demonstrasi. Ditandai dengan 12 Mei 1998 di mana terjadi penembakan yang mengakibatkan tewasnya 4 mahasiswa Universitas Trisakti. 13-14 Mei 1998 juga terjadi kerusuhan. Mahasiswa kala itu pun menduduki Gedung DPR RI. Hingga akhirnya Presiden Soeharo jatuh pada 21 Mei 1998.
“Dampak kesaksian itu sangat luar biasa. Inti perjuangan reformasi itu adalah pembatasan kekuasaan. Dalam konstitusi Indonesia diterjemahkan bahwa masa jabatan tidak boleh lebih dari 2 periode,” ujar pria kelahiran Palembang itu.
Tujuan dari hadirnya Buku “ALDERA Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999” ini, ujar Pius, agar mahasiswa bisa melanjutkan perjuangan mahasiswa terdahulu. Dia berharap, siapapun yang membaca buku tersebut, khususnya mahasiswa, bisa ikut merasa terpanggil menjajak demokrasi yang telah diperjuangkan.
Rektor Unmul, Abdunnur turut merespons agenda kuliah umum dan bedah buku tersebut yang akan memberi makna sangat mendalam. Khususnya bagi mahasiswa Unmul secara umum. Menurutnya, penting bagi mahasiswa untuk memahami sejarah reformasi Indonesia.
“Mahasiswa adalah kader bangsa untuk menguatkan rasa kebangsaan. Perlu saya sampaikan, Pak Pius kami sangat bangga, penulis ALDERA bisa hadir bersama kami. Hari ini, kader bangsa dan mahasiswa bisa memahami dan melanjutkan ide serta gagasan reformasi yang sudah dibangun dan dicanangkan sejak 1998,” tegasnya.
Antusiasme mahasiswa Unmul mengikuti kuliah umum dan diskusi buku ini sangat besar. Sekitar 2.800 mahasiswa berkumpul di GOR 27 September Unmul. Kuliah umum dan bedah buku di Unmul ini merupakan yang ke-25 kalinya digelar di Indonesia.
“Output-nya, harapannya bagaimana mahasiswa bisa memahami perjuangan reformasi Indonesia. Kita akan makin kuat dan besar untuk meneruskan perjuangan ini,” tandasnya.
[YMD | RWT]
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.