Opini

Polemik UU ITE dan Polisi Virtual dalam Mengatur Etika Praktik Komunikasi di Media Sosial

Kaltim Today
29 Maret 2021 13:32
Polemik UU ITE dan Polisi Virtual dalam Mengatur Etika Praktik Komunikasi di Media Sosial

Oleh: Kiki Novita Sari (Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman)

Saat ini perkembangan teknologi komunikasi semakin pesat, hal tersebut memberikan kemudahan untuk semua orang dalam mendapatkan informasi ataupun menyebarkannya melalui media sosial. Untuk menyeimbangi perkembangan tersebut, sudah seharusnya dalam praktik komunikasi sendi-sendi etika juga harus dijaga eksistensinya. Hal ini berkaitan dengan bagaimana para pengguna media sosial tersebut memanfaatkan kecanggihan ini untuk hal yang positif serta bertanggung jawab saat berkomunikasi secara daring.

Berdasarkan hasil survei APJII 2019-2020 untuk pengguna internet, saat ini penetrasi di Indonesia berjumlah 73,7 persen pada sebelumnya pada tahun 2018 mencapai 64,8 persen data tersebut dikutip dari website Kominfo. Perkembangan pengguna internet tersebut juga meningkatkan pengguna aktif di media sosial karena sebagian besar pengguna internet di Indonesia akan mengakses media sosial.

Dari perkembangan ini tentu berkaitan erat dengan kebebasan berpendapat di media sosial. Kebebasan mengeluarkan pendapat di media sosial memanglah suatu hal yang wajar, mengingat sudah ada payung hukumnya yaitu Pasal 28 Ayat 3 UUD 1945 yang menjadi dasar hukum kebebasan dalam berpendapat. Selain itu ada Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam UU No. 39/1999 Pasal 14-32 melindungi kebebasan untuk mengemukakan pendapatnya, baik berupa lisan, tulisan, dan lain-lain. 

Namun, ketika pemanfaatan hak yang salah tentunya akan menimbulkan permasalahan baru. Akibatnya dari penyalahgunaan kemudahan yang disediakan media sosial seperti hoaks, ujaran kebencian, pembulian, perdebatan pro-kontra, ini hanya sebagian kecil dari banyaknya dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari penyalahgunaan kebebasan berpendapat di media sosial. 

Untuk menjawab keresahan warga Indonesia terkait dengan permasalahan dampak negatif dari kebebasasan berpendapat di media sosial, pemerintah Indonesia memberlakukan UU Nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur bagaimana pengguna internet harusnya mengambil, menggunakan, dan memberikan informasi di dunia maya. Sehingga sangat penting untuk memahami perspektif etika dalam kebebasan berpendapat di media sosial. 

Namun kenyataannya saat ini etika dalam praktik komunikasi di media sosial masih terbilang sangat bebas dan rendah. Contoh berkenaan dengan kasus salah satu artis tanah air yaitu Gisella Anastasia yang terjerat kasus video syur yang berdurasi 19 detik, ini menuai banyak hujatan dari warganet. Walaupun telah ditetapkan sebagai tersangka oleh tim penyidik Polda Metro Jaya 29 Desember 2020, Gisel tetap memposting produk endors di Instagram pribadinya pada tanggal 30 Desember 2020. Dimana dalam postingan di Instagram pribadinya ini banyak sekali menuai hujatan dan nasehat dari warganet.

Kasus lain yang berkenaan dengan kebebasan berpendapat di media sosial baru-baru ini adalah kasus hoaks vaksin Sinovac, dimana beredar informasi di media sosial yang menyebutkan bahwa vaksin COVID-19 dari Sinovac, telah dibuat sejak sebelum pandemi, karena memiliki masa kedaluwarsa dua tahun dan akan kedaluwarsa pada 25 Maret 2021. Faktanya berita tersebut hoaks, kebenarannya adalah yang disampaikan oleh Kementerian Kesehatan menyebutkan Sinovac memproduksi vaksin COVID-19 pada September-November 2020 dengan shelf life (masa simpan) selama 3 tahun. Badan POM, berdasarkan data dan prinsip kehati-hatian, tetapkan umur simpan vaksin tersebut menjadi enam bulan sejak tanggal produksi.

Melihat contoh kasus di atas bahwa saat ini etika dalam praktik komunikasi di media sosial masih sangat rendah. Dimana dalam menyampaian pendapat mengenai kasus Gisel kebanyakan warganet menghujat artis tersebut terus menerus tanpa memikirkan perasaannya, walaupun saat itu ia sedang bekerja yaitu melalukan endors di akun Instagramnya tetapi tetap mendapat hujatan. Sedangkan dalam kasus hoaks berita vaksin Sinovac, oknum yang menyebarkan berita tersebut masih tidak takut pada hukum UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam menyampaikan informasi. Artinya disini kesadaran masyarakat akan etika dalam berkomunikasi masih kurang saat mengemukakan pendapatnya di media sosial.

Beberapa kasus hoaks dan pelanggaran etika sebenarnya sudah terjerat pada hukum UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan diseret kepengadilan untuk diproses hanya saja belum bisa memberikan efek jera untuk publik.  Padahal disini UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memiliki wewenang yang kuat untuk mengatur publik terkait etika pratik komunikasi ketika di media sosial. selain Undang-undang, pihak kepolisian juga ambil alih untuk menertibkan masyarakatnya di dunia maya dengan program polisi virtual.

Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri mulai mengaktifkan polisi virtual pada Rabu 24 Februari 2021 untuk mengawasi aktivitas warganet di jejaring dunia maya. Polisi virtual adalah kegiatan pelacakan unggahan tulisan atau gambar yang berpotensi melakukan pelanggaran pidana. Fungsi polisi virtual adalah menegur masyarakat yang mengunggah aktivitas yang berpotensi melanggar UU ITE serta memberi edukasi kepada masyarakat terkait UU ITE.

Namun kenyataannya dari program polisi virtual ini malah mendapat kritik dan polemik dimasyarakat yaitu dengan adanya polisi virtual dianggap akan membuat orang ketakutan untuk berpendapat karena ancaman UU ITE, polisi virtual juga dianggap tidak menyelesaikan polemik karena ketika melakukan kritik terancam dijerat UU ITE, serta adanya virtual police tidak serta merta bisa menjadi solusi untuk memperbaiki etika warganet di media sosial.

Melihat hal tersebut seharusnya masyarakat bisa lebih terbuka dengan program pemerintah karena hal tersebutlah yang bisa memperbaikan etika dalam praktik komunikasi diruang lingkup media sosial. Ketika ada hukum yang mengatur hal tersebutlah yang bisa menertibkan komunikasi yang ada di dunia maya agar teratur sehingga tidak merugikan siapapun. Apabila hal tersebut dibiarkan tanpa adanya hukum dan oknum kepolisian yang mengatur akan menyebabkan hoaks ada dimana-mana seperti kasus hoaks vaksin Sinovac dari hal tersebut akan merugikan negara karena apabila publik terhasut maka berkurang pula kepercayaan publik kepada program vaksin yang dilakukan oleh pemerinta, serta orang akan semena-mena dalam berpendapat tanpa memperhatikan etika dalam praktik komunikasinya. 

Masalah etika dalam praktik komunikasi di media sosial yang terbilang bebas akan semakin berlajut dan merugikan publik apabila masyarakat juga tidak terbuka dengan program pemerintah itu sendiri. Diperkirkan polemik ini terjadi karena masyarakat kurang mendapat informasi menganai program polisi virtual tersebut dan mengenai hukum UU ITE, serta harapannya pemerintah dan pihak kepolisian bisa lebih memberikan edukasi mengenai program tersebut dan lebih memberikan perhatian yang lebih kepada publiknya dengan terus mematau perkembangan di media sosial karena ketika publik selalu diterpa dengan berita hoaks dan juga kebebasan mengemukakan pendapat tanpa adanya etika akan memberikan efek buruk untuk perkembangan negara itu sendiri.(*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya