Opini
Literasi Media di Era Digital
Oleh Eko Ernada (Dosen Komunikasi Internasional Universitas Jember)
KITA hidup di era di mana hampir semua hal dapat diakses dengan sentuhan jari. Informasi mengalir deras melalui platform digital, mulai dari media sosial, blog, hingga podcast. Menurut laporan dari Statista (2023), pengguna internet global mencapai lebih dari 5 miliar, dengan sebagian besar mengakses informasi melalui perangkat digital. Namun, di tengah banjir informasi ini, satu pertanyaan mendasar muncul: apakah kita benar-benar memahami apa yang kita konsumsi?
Sebuah survei oleh Pew Research Center (2022) menunjukkan bahwa lebih dari 60% pengguna media sosial merasa kesulitan membedakan berita asli dari disinformasi. Perkembangan teknologi telah membuka pintu menuju aksesibilitas yang belum pernah terjadi sebelumnya, tetapi juga membawa tantangan besar. Literasi media digital bukan lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak agar kita dapat menjadi konsumen informasi yang cerdas dan kritis.
Media sosial seperti Instagram, Twitter, dan YouTube telah bertransformasi dari sekadar alat komunikasi menjadi pusat distribusi informasi. Platform ini memberikan panggung bagi siapa saja untuk berbagi pandangan, baik berupa fakta, opini, maupun spekulasi. Di satu sisi, ini adalah revolusi demokratisasi informasi; di sisi lain, ada bahaya besar dalam penyebaran disinformasi yang dapat menggiring opini publik ke arah tertentu tanpa adanya pengecekan fakta yang memadai.
Contohnya adalah kasus “Pizzagate” pada 2016, ketika teori konspirasi yang tidak berdasar menyebar luas di Twitter dan Facebook, memicu tindakan kekerasan di dunia nyata. Sebuah video viral atau podcast dengan narasi kuat, seperti yang sering muncul dalam kampanye politik, juga dapat memengaruhi ribuan, bahkan jutaan orang dalam hitungan menit, terlepas dari kebenaran isi kontennya.
Fenomena “Echo Chamber”
Fenomena “echo chamber” menjadi sorotan utama dalam era digital ini. Kondisi ini terjadi ketika seseorang hanya terpapar pada informasi yang memperkuat pandangannya sendiri, menciptakan ilusi bahwa semua orang berpikir serupa. Algoritma media sosial, yang dirancang untuk meningkatkan keterlibatan pengguna, secara tidak langsung memperburuk masalah ini.
Sebuah studi dari Pariser (2011) dalam The Filter Bubble mengungkapkan bagaimana algoritma ini menciptakan lingkungan informasi yang sangat personal, mempersempit pandangan dunia seseorang. Dengan hanya menampilkan konten yang relevan dengan minat kita, algoritma ini membuat kita terjebak dalam lingkaran opini yang sama, tanpa memberikan ruang untuk perspektif berbeda.
Akibatnya, polarisasi semakin menguat, dan diskusi yang sehat dan berimbang menjadi langka. Selain itu, penelitian oleh Sunstein (2018) menunjukkan bahwa “echo chambers” juga dapat meningkatkan radikalisasi dalam kelompok tertentu, terutama dalam diskusi terkait politik dan ideologi.
Solusi: Literasi Media Digital
Fenomena ini bukan tanpa solusi. Literasi media digital adalah kunci untuk keluar dari jebakan echo chamber dan disinformasi. Literasi ini melibatkan kemampuan untuk mengenali bias, memverifikasi sumber informasi, dan memahami konteks sebelum membentuk opini.
Sebuah studi oleh Buckingham (2003) menekankan pentingnya literasi media dalam mendidik masyarakat agar lebih kritis dalam menghadapi informasi dari berbagai arah. Langkah-langkah sederhana dapat diterapkan, seperti memeriksa kredibilitas sumber informasi, mencari perspektif dari berbagai sudut pandang, dan berhenti sejenak sebelum membagikan konten di media sosial.
Literasi ini tidak hanya mencakup kemampuan teknis, tetapi juga pemahaman bagaimana narasi dibangun dan bagaimana narasi tersebut dapat memengaruhi cara kita berpikir.
Peran Media dan Platform Digital
Di sisi lain, media, baik konvensional maupun digital, memiliki tanggung jawab besar untuk menyediakan informasi yang akurat dan seimbang. Namun, tanggung jawab ini tidak sepenuhnya dapat dibebankan pada penyedia konten. Kita, sebagai konsumen informasi, juga harus berperan aktif. Dengan meningkatkan literasi media digital, kita dapat menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar korban dari sistem informasi yang tidak sempurna.
Sebagai contoh, McChesney dan Nichols (2010) menekankan pentingnya mendukung jurnalisme yang independen dan berbasis fakta untuk melawan dominasi narasi manipulatif di media arus utama.
Perkembangan teknologi juga menghadirkan tantangan etis bagi platform digital. Algoritma yang dirancang untuk meningkatkan keterlibatan sering kali lebih mengutamakan popularitas konten dibandingkan akurasinya. Hal ini memperkuat efek “klikbait,” di mana judul atau deskripsi yang sensasional menarik perhatian tetapi sering kali mengorbankan substansi.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah kita lebih peduli pada fakta atau pada hiburan? Menurut laporan Pew Research Center (2018), mayoritas pengguna media sosial di Amerika Serikat mengaku mendapatkan berita dari platform seperti Facebook, meskipun mereka menyadari risiko disinformasi yang tinggi.
Pendidikan Literasi Media: Prioritas Utama
Di tengah semua ini, pendidikan literasi media harus menjadi prioritas. Di Indonesia, kasus penyebaran hoaks selama pandemi COVID-19 menunjukkan bagaimana disinformasi dapat memengaruhi kebijakan publik dan perilaku masyarakat.
Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), telah berupaya menangani masalah ini dengan membentuk tim khusus untuk menangkal hoaks dan menyebarkan informasi yang benar melalui kampanye digital. Selain itu, kasus penyebaran berita palsu terkait pemilu sering kali memicu ketegangan politik dan sosial. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah meluncurkan program “Siberkreasi” yang fokus pada edukasi literasi digital, bekerja sama dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat untuk meningkatkan kesadaran publik.
Selain itu, platform media sosial juga harus lebih bertanggung jawab dalam menyaring dan memprioritaskan konten yang kredibel. Sebuah studi oleh Wardle dan Derakhshan (2017) menyoroti pentingnya kerja sama antara penyedia platform, pembuat kebijakan, dan masyarakat sipil untuk melawan penyebaran disinformasi.
Mengelola Teknologi untuk Masa Depan
Pada akhirnya, era digital menawarkan peluang sekaligus tantangan. Jika dikelola dengan baik, teknologi dapat menjadi alat yang kuat untuk memperkaya diskusi publik dan memperluas wawasan kita. Namun, jika dibiarkan tanpa pengawasan, ia dapat menjadi senjata yang memperburuk polarisasi dan disinformasi.
Oleh karena itu, mari kita mengambil langkah konkret: mulailah dengan mempraktikkan literasi media sederhana, seperti memeriksa kredibilitas sumber sebelum membagikan berita, berdiskusi dengan orang-orang yang memiliki pandangan berbeda, atau bahkan mengikuti pelatihan literasi digital.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Castells (2009), “Kekuatan komunikasi di era digital terletak pada kemampuan masyarakat untuk menggunakan informasi secara kritis dan produktif.”
Dengan langkah-langkah ini, kita dapat menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat dan konstruktif. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Tingkat Penetrasi Internet di Kaltim Capai 80,63 Persen di 2024
- Ajak Anak Muda Terlibat Aktif di Bidang Ekonomi, Suara.com dan Core Indonesia akan Gelar Youth Economic Summit 2024
- Pengelola Media Lokal Berkumpul di Yogyakarta, Bedah Solusi Bisnis Media Masa Depan
- 36 Bahasa Gaul 2024 yang Viral di Media Sosial: Mulai "Ilmu Padi" hingga "Tipis-Tipis"
- 40 Ucapan Selamat HUT ke-67 Provinsi Kaltim Sesuai Tema, Cocok Dibagikan di Media Sosial