Samarinda

Tak Cukup Sekadar Sanksi Administrasi dan Pembubaran, Diskualifikasi Paslon yang Langgar Protokol Kesehatan Tengah Dipertimbangkan

Kaltim Today
28 September 2020 17:58
Tak Cukup Sekadar Sanksi Administrasi dan Pembubaran, Diskualifikasi Paslon yang Langgar Protokol Kesehatan Tengah Dipertimbangkan
Ketua KPU Kaltim, Rudiansyah. (Yasmin/Kaltimtoday.co)

Kaltimtoday.co, Samarinda - Dalam hitungan bulan, perhelatan pesta demokrasi terbesar dilaksanakan. Pada 9 Desember 2020, calon kepala daerah terbaru di 270 daerah seluruh Indonesia siap dipilih masyarakat. Termasuk di Samarinda untuk pemilihan wali kota dan wakil wali kota. Pilkada di tengah pandemi memang menuai banyak polemik. Sebagian besar menolak keras dengan alasan kesehatan lebih penting. Namun nyatanya, ditegaskan bahwa tidak ada pengunduran untuk Pilkada serentak kali ini.

Perihal Pilkada serentak makin jadi perbincangan hangat di tengah-tengah masyarakat. Terlebih lagi, dikeluarkannya PKPU Nomor 13/2020 pada 23 September 2020. Tepat 1 hari sebelum pengundian nomor urut paslon pada 24 September 2020. Peraturan tersebut mengemukakan terkait adanya pembatasan massa. Khususnya jika mengadakan kampanye tatap muka yang dibatasi untuk 50 orang saja.

Disampaikan Ketua KPU Kaltim, Rudiansyah bahwa sanksi yang diberikan pada paslon jika terbukti berkampanye dengan mengumpulkan massa dan tidak mengutamakan protokol kesehatan Covid-19 adalah sanksi administrasi sampai penghentian kegiatan.

Namun, di dalam PKPU tersebut, tidak menerangkan adanya sanksi diskualifikasi bagi para paslon yang masih bersikukuh laksanakan kampanye di tempat terbuka dengan massa banyak. Mengenai hal tersebut pun rupanya mengundang perhatian dari berbagai pihak.

Dilansir dari suatu sumber, disebutkan bahwa Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian tengah mencanangkan adanya diskualifikasi bagi paslon yang melanggar protokol kesehatan. Saran mengenai sanksi diskualifikasi juga sempat disinggung antara Komisi II DPR RI bersama KPU dan Bawaslu saat rapat dengar pendapat (RDP). Kemudian, beberapa pengamat politik nasional juga beranggapan bahwa sanski administrasi atau pembubaran saja tak cukup. Masih ada potensi untuk dilakukan. Sehingga, diskualifikasi dianggap sebagai sanksi yang paling cocok.

Penyelenggara Pilkada yakni KPU dan Bawaslu juga tak bisa berbuat banyak. Sebab belum ada ketentuan undang-undang yang valid dan pasti terkait diskualifikasi paslon. Menurut informasi yang Rudi dapatkan, pembahasan mengenai undang-undang tersebut masih dilakukan di tingkat pusat.

"Sebetulnya, semangat Pemprov dan penyelenggara itu sama. Ya akhirnya kita berharap, mudah-mudahan ada Perppu yang khusus menuangkan sanksi pelanggaran Covid-19 pada pemilihan serentak 2020 ini. Kita sama-sama tunggu itu," ungkap Rudi.

Ditegaskan oleh Rudi bahwa, seluruh penyelenggara bersama pihak-pihak terkait memiliki prinsip yang sama. Seluruhnya akan memaksimalkan terlebih dahulu dalam penerapan yang sudah ada saat ini. Rudi pun berharap bahwa keseriusan dalam menghadapi Pilkada pada masa pandemi ini bisa tersosialisasikan dengan baik di seluruh kabupaten kota.

[YMD | RWT]



Berita Lainnya