Kaltim
Tantangan Penggunaan Biomassa untuk Co-firing di PLTU Teluk Balikpapan
Kaltimtoday.co - Pemanfaatan biomassa dari cacahan kayu, sekam padi, dan cangkang kelapa sawit sejatinya dapat mengurangi pemakaian batu bara dalam pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan metode "co-firing". Namun, upaya pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) ini ternyata tidak mudah. Jaminan pasokan yang tidak memadai membuat metode ini masih jadi alternatif yang belum bisa diandalkan sepenuhnya.
Kepala UPTD TPAS Manggar, Muhammad Haryanto, dengan bersemangat memperlihatkan proses mencacah kayu di Tempat Pengolahan Akhir Sampah (TPAS) Manggar. Satu per satu potongan kayu bulat dimasukkan ke mesin pencacah. Menghasilkan woodchip yang bakal digunakan sebagai bahan baku co-firing di PLTU Teluk Balikpapan.
Setiap bulan, kata Haryanto, woodchip beserta pelet yang dihasilkan TPAS Manggar berkisar antar 5-10 ton. Jumlah produksi itu belum signifikan karena masalah keterbatasan bahan baku.
Kendati begitu, dia menyebut, setidaknya TPAS Manggar saat ini sudah berperan terhadap lingkungan dan menciptakan nilai tambah ekonomi dari pengolahan limbah. Sebab, woodchip dan pelet yang mereka produksi bisa menekan penggunaan batu bara di PLTU Teluk Balikpapan.
“Produksi woodchip dan pelet di TPAS Manggar masih terbatas. Tiap bulan hanya berkisar 5-10 ton. Masih jauh dari target karena keterbatasan bahan baku,” ungkap Haryanto.
Penggunaan biomassa sebagai salah satu komponen dalam co-firing PLTU Teluk Balikpapan adalah langkah yang diharapkan dapat mengurangi dampak lingkungan dan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Namun, upaya ini menemui kendala ketersediaan biomassa yang terbatas. Pasalnya, untuk menjalankan program co-firing dengan sukses, PLTU Teluk Balikpapan membutuhkan pasokan biomassa yang kontinu dan berkelanjutan. Namun, dalam praktiknya, pasokan biomassa seperti woodchip atau cacahan kayu masih sulit untuk dipenuhi sesuai dengan kebutuhan.
Asisten Manajer Operasi PT PLN Nusantara Power Unit Pembangkit Kaltim Teluk Balikpapan, Dhidhik Kridho Laksono mengamini kesulitan memenui pasokan bahan baku co-firing tersebut. Kepada peserta Jelajah Energi Kaltim, Dhidhik menyampaikan saat ini implementasi co-firing masih menghadapi tantangan. Mulai dari pemenuhan bahan baku untuk woodchip, perlakuan khusus untuk woodbark, hingga harga di atas rata-rata yang ditetapkan direksi untuk cangkang sawit.
"Selama pasokan biomassa terpenuhi, kami berkomitmen mengoperasikan unit dengan 3 persen biomassa. Saat ini masih belum terpenuhi targetnya karena ketersediaan masih terbatas," kata Dhidhik usai menerima rombongan Jelajah Energi Kaltim di Kantor UP Teluk Balikpapan, Rabu (6/9/2023).
Soal kendala pasokan, Dhidhik menggambarkan, PLN Nusantara Power UP Teluk Balikpapan mendapatkan suplai dari PT Teluk Borneo Nusantara yang merupakan penyuplai dari TPAS Manggar. Dari target suplai biomassa 2023 sebesar 400 ton, hingga Agustus baru mencapai 30,31 ton. Kemudian dari PT AW Technology yang menyuplai woodchip dari sekitar Balikpapan, dari target 850 ton, baru bisa merealisasikan 46,67 ton.
Untuk memastikan target suplai co-firing terpenuhi, pihaknya sudah melakukan sejumlah upaya. Selain berkomunikasi untuk kepastian pasokan biomassa dari mitra, pihaknya juga menganalisis potensi biomassa baru, seperti sorgum, tandan sawit, dan sawdust.
Sejauh ini, dikatakan dia, PLN Nusantara Power UP Teluk Balikpapan telah melakukan ujicoba pada tiga jenis biomassa sebagai bahan baku co-firing PLTU. Tiga jenis biomassa yang diujicobakan adalah cangkang sawit, woodbark, dan woodchip. Dari ketiganya, penggunaan woodchip dinilai paling memungkinkan.
“Untuk menyelesaikan masalah suplai, kami berupaya menambah kontrak baru untuk woodchip dan mencoba opsi biomassa lain sebagai bahan baku co-firing,” katanya.
Analis Senior IESR Raditya Wiranegara mengatakan, untuk mendukung operasi co-firing di PLTU Teluk Balikpapan, PLN harus menjalin kerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Balikpapan untuk penyediaan Bahan Bakar Jumputan Padat (BBJP) dari sampah dan woodchip dari limbah kayu yang bersumber dari TPAS Manggar.
“Rasio co-firing yang direncanakan sejauh ini baru 5 persen,” kata Raditya Wiranegara.
Padahal, menurut dia, dengan teknologi tungku bakar yang digunakan di PLTU Teluk Balikpapan saat ini, yaitu Circulating Fluidised Bed (CFB), sebetulnya masih memungkinkan untuk ditingkatkan rasionya, paling tidak hingga 20%, berdasarkan pengalaman dari penggunaan tungku bakar yang sama di pembangkit listrik milik Cikarang Listrindo.
Namun, karena masalah keberlanjutan suplai rasio tersebut tidak bisa ditingkatkan atau dicapai. Apalagi TPAS Manggar dijadwalkan akan berakhir masa operasinya pada 2026.
“PLN perlu merencanakan bagaimana memastikan keberlanjutan dari suplai bahan bakar ke depannya setelah TPAS Manggar ditutup, baik itu dengan mengambangkan hutan tanaman energi maupun dengan pemanfaatan limbah lainnya, seperti limbah dari perkebunan sawit,” tutur dia.
Selain itu, rencana PLTU Teluk Balikpapan perlu lebih serius menargetkan peningkatan rasio co-firing sehingga emisi yang dihasilkan dapat berkurang lebih banyak lagi.
“Perlu lebih serius karena itu bukti nyata komitmen dalam rangka transisi menuju pemanfaatan energi baru dan terbarukan,” tegasnya.
[TOS]