Samarinda
Anhar Sebut Beberapa Hotel di Samarinda Langgar Aturan GSB dan RTRW
Kaltimtoday.co, Samarinda - Anggota komisi III DPRD Samarinda periode 2019-2024 Anhar, menyoroti pembangunan fasilitas komersial yang menyalahi garis sempadan bangunan (GSB) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) diberbagai sudut Samarinda, di antaranya hotel-hotel yang kini melanggar aturan tata ruang kota.
Sesuai Perda No. 2 Tahun 2014, tentang rencana tata ruang wilayah Samarinda, bahwa dalam upaya mengarahkan pembangunan di Samarinda dilaksanakan berdasarkan azas manfaat, keadilan, serasi, selaras, seimbang, terpadu, keselamatan dan keamanan, fleksibel, dan berkelanjutan untuk mengelola dan menata ruang wilayahnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umum, keadilan sosial sesuai dengan landasan konstitusional UUD 1945.
"Mengenai aturan tata ruang harus jelas status hukumnya, baik pertanahan (IMB) dan harus dilaksanakan sesuai asas keadilan sosial dan memperhatikan kemanfaatan lingkungan. Penerapan perda masa lalu pun harus dikoreksi kembali, salah satunya tentang pembangunan Samarinda, apakah sudah sesuai dengan aturan daerah/atau belum," kata Anhar, di ruang komisi III, gedung DPRD Samarinda, Jalan Basuki Rahmat, Rabu, (16/10/2019).
Politisi PDI Perjuangan tersebut sangat menyayangkan pembangunan sebagian fasilitas perhotelan yang tidak sesuai dengan standar perda.
"Hotel Harris, Big Mall, SPBU di teluk Lerong, Lampion Garden, semuanya bertentangan dan tidak sesuai dengan aturan tata ruang dan pemetaan ruang terbuka hijau," jelas Anhar.
Dia juga mempertanyakan penggusuran rumah warga di bantaran Sungai Karang Mumus, namun tak berlaku kepada Hotel JB yang bangunannya masuk dalam sepadan sungai tersebut dan Hotel Harris yang bangunannya sampai ke muara Sungai Mahakam.
"Jangan-jangan karena ada kepentingan pribadi dari oknum atau golongan tertentu, sehingga aturan tersebut disepelekan. Hukum jangan dijadikan tameng bagi orang berada, perihatikan dong rakyat kecil itu," tambah Anhar.
Anhar berharap, pembangunan di Samarinda terus maju tanpa ada kepentingan bisnis di dalamnya.
"Kita semua ini ingin bahwa Kota Samarinda ini dibangun lebih maju, tapi jangan juga dengan harga murah, dimana harga diri kita, iya kan," tandas Anhar.
Setiap pembangunan, kata Anhar, seharusnya melihat aspek kemanfaatan lingkungan, khususnya ruang terbuka hijau yang tidak boleh dikomersilkan, namun juga harus memperhatikan aspek yuridisnya.
"Jangan karena bersentuhan langsung dengan usahanya, pembangunan dan pengembangan seenaknya saja dirubah, wilayah jalur hijau digusur kemudian dijadikan pembangunan komersial, tidak bisa begitu. Oleh karena itu, saya bilang ke Pemkot, baik dari jajaran RT hingga wali kota, kami akan koreksi semuanya. Sudah berjalankah Perda No. 2 tahun 2014 tentang tata ruang itu sesuai RTRW", ungkap Anhar
Dia menegaskan, seorang pemimpin harus memiliki karakter eksekutor, jangan melempen, berani ambil tindakan, dan terobosan-terobosan demi membangun Samarinda yang lebih maju.
Selain itu, menurutnya, taman-taman kota seharusnya ditata kembali, yaitu memperbanyak ruang terbuka hijau untuk masyarakat.
Berdasarkan PP No. 38 Tahun 2011 tentang batas bangunan di berbagai bantaran sungai, sesuai dengan garis sempadan bangunan (GSB), lazimnya 10-50 meter dari bantaran sungai.
"Saya tegaskan, tidak boleh ada bangunan di atas Sungai Karang Mumus dan Sungai Mahakam, seharusnya jauh dari bantaran sungai karena tidak sesuai dengan amdal tentang tata ruang, yaitu harus ruang terbuka hijau," jelasnya.
Anhar menilai, Pemkot seharusnya menindak tegas bangunan fasilitas komersial yang telah melanggar aturan, dan tidak memperhatikan amdalnya.
"Tapi kenapa dibangun berbagai bangunan komersial. Jangan hanya mengambil keuntungan, jika harus mencemari dan mengorbankan ekosistem ataupun ekologi yang ada," tandasnya.
Anhar menegaskan, jika ini tidak dilakukan sesuai aturan, DPRD dapat menggunakan hak interpelasinya kepada wali kota.
"Wali kota tidak punya taji untuk mencabut izin pengembang properti yang bangunannya menyalahi perda," pungkas Anhar.
Kendati demikian, Anhar akan mengapresiasi jika wali kota berani menindak oknum yang melanggar aturan. Menurutnya, tidak masalah jika harus dilaporkan ke arbitrase dan administrasi negara, yang terpenting adalah jalan yang ditempuh lurus dan tidak korupsi.
"Intinya membangun untuk kepentingan daerah dan masyarakat Samarinda," imbuh Anhar.
Selain itu, pengembang yang sistem kerjanya itu, land cliring, pertambangan dengan sistem open pit, ini akan berdampak pada kerusakan hutan dan lingkungan kemudian tidak ada lagi serapa air, sehingga terjadilah banjir", jelas Anhar
Sesuai pengamatan Anhar, ada beberapa kompleks komersial yang tidak memiliki serapan air, contohnya adalah Alaya. Berbeda dengan Pesona Mahakam dan Villa Tamaran, walaupun kecil, tapi memiliki folder/serapan air.
"Sebenarnya kompleks pengembang harus sesuai dengan aturan tata ruang kota, yaitu wajib memiliki folder sebagai serapan air," terangnya.
Dia menduga, ada permainan antara pemerintah dan pihak pengembang sehingga aturan mengenai pemetaan tata ruang kota diabaikan.
"Sebenarnya tidak dibolehkan, aturan ini harus ditegakkan," tegasnya.
Dia melanjutkan, masuknya pengembang untuk melakukan pembangunan bisnis dan komersial menjadikan ruang terbuka hijau sebagai korban.
"Wali kota harus tegas, tidak ada lagi izin yang kongkalikong, harus jalankan peraturan yang telah dibuat," pungkas Anhar.
Menurut Anhar, jika bangunan komersial dibangun dengan tidak memperhatikan peraturan, seharusnya pemkot menindak tegas dengan ganti rugi atau dengan pembongkaran.
[SDH | RWT | ADV]