Nasional

Bencana Maut di Sumatera, Greenpeace dan Satya Bumi Desak Audit Industri Ekstraktif dan Hentikan Total Deforestasi

Kaltim Today
01 Desember 2025 13:38
Bencana Maut di Sumatera, Greenpeace dan Satya Bumi Desak Audit Industri Ekstraktif dan Hentikan Total Deforestasi
Kawasan hutan di Sumatera yang mengalami kerusakan masif akibat deforestasi dan izin industri ekstraktif. Greenpeace dan Satya Bumi mendesak pemerintah mengaudit seluruh izin tambang dan sawit. (Foto: Greenpeace)

JAKARTA, Kaltimtoday.co - Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang menerjang puluhan kabupaten dan kota di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah menyebabkan duka mendalam. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Minggu (30/11/2025) mencatat sedikitnya 442 orang meninggal dan 402 orang hilang.

Koalisi masyarakat sipil, Greenpeace dan Satya Bumi, menyatakan kedahsyatan bencana ini harus menjadi alarm bahwa kerusakan masif telah terjadi pada fungsi-fungsi lindung ekologi di Sumatera. Kerusakan dipicu oleh deforestasi masif dan ribuan izin industri ekstraktif.

Country Director Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, menegaskan daya dukung lingkungan Sumatera sudah kritis. “Hutannya ditimpa dan dirobek-robek oleh ribuan izin industri ekstraktif,” kata Leonard. Ia menambahkan, anomali iklim berupa Siklon Tropis Senyar membuktikan bahwa krisis iklim nyata terjadi.

Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien, menilai dampak banjir bandang sangat mungkin diminimalisir jika perusahaan dan pemerintah mengkaji setiap izin secara menyeluruh dan transparan.

Provinsi Sumatera Utara menjadi daerah yang paling parah terdampak, termasuk kawasan ekosistem Batang Toru (Harangan Tapanuli) yang dikenal dengan kekayaan biodiversitas tinggi. Ekosistem Batang Toru saat ini dikepung berbagai megaproyek ekstraktif seperti tambang emas Martabe milik PT Agincourt Resources, PLTA Batang Toru, PLTMH Pahae Julu, geotermal PT SOL, PT Toba Pulp Lestari, hingga perkebunan kelapa sawit.

Data Satya Bumi menunjukkan konsesi PT Agincourt Resources seluas 130.252 hektare, dengan 40.890,60 hektare tumpang-tindih dengan kawasan ekosistem Batang Toru, yang merupakan rumah bagi Orangutan Tapanuli (spesies kera besar terlangka sedunia).

Andi Muttaqien menyoroti bahwa Satya Bumi mencatat konsesi Agincourt telah membuka 603,21 hektare hingga Oktober 2025, dan berencana membuka 195 hektare lagi untuk fasilitas penampung limbah (tailing management facility - TMF).

“Yang paling mengkhawatirkan adalah TMF dibangun di hulu sungai DAS Nabirong dan berpotensi menyebar ke DAS Batang Toru,” kata Andi. 

Kerusakan DAS di Sumatera diperparah oleh masifnya pembukaan area pertambangan dan perkebunan sawit. Data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menunjukkan terdapat 1.907 izin usaha pertambangan aktif seluas 2,45 juta hektare di Sumatera. Sementara data BPS menunjukkan sedikitnya 10 juta hektare perkebunan sawit terbentang di Sumatera.

Satya Bumi mendorong audit aktivitas ekstraktif di landscape Batang Toru dan mendesak pemerintah menindak tegas perusahaan yang terbukti merusak hutan.

Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah mengambil langkah-langkah konkret guna mencegah memburuknya krisis iklim. Pencegahan mutlak dilakukan dengan menghentikan deforestasi secara total dan mengakhiri era penggunaan energi fosil secara cepat dan adil.

[TOS]



Berita Lainnya