Opini
Budaya Politik dan Kultur Demokrasi
Oleh: Nasrullah Mappatang (Dosen FIB Unmul dan Mahasiswa Doktoral University of Malaya).
Apa jadinya ketika politik lepas sabuk pengaman, tanpa budaya? Apa jadinya ketika praktik demokrasi tak ada kendali, tanpa kultur kepatutan?
Budaya politik dan kultur demokrasi sesungguhnya bukan sekadar gabungan kosa kata yang bermakna. Keduanya adalah konsep yang mengandung dasar berpikir dan tatanan bertindak serta orientasi mulia. Budaya politik mengandung tata nilai, tata pikir dan tata perilaku dalam mencapai tujuan bernegara. Sementara itu, kultur demokrasi adalah jalan mencapainya.
Di alam demokrasi, baik budaya politik maupun kultur demokrasi memiliki tujuan yang mulia. Mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, dan sebagainya. “Fiksi” konstitusi tersebut mengandung implikasi-implikasi metodologis dan praktik-praktik teknis kemudian. Tujuannya, mencari cara bagaimana mewujudkan tujuan bernegara yang bersifat “fiksional” di atas menjadi hal yang “faktual” di lapangan.
Budaya politik dan kultur demokrasi yang mulia-mulia tujuan “fiksionalnya” tersebut boleh jadi menjumpai “penghalang” ataupun “kalah” di tengah jalan. Di jalan “implementasi” atau dalam praktik dan metodologisnya. Pembelotan itu boleh jadi karena bekerjanya “kepentingan” yang tak berkesesuaian dengan “fiksi” bernegara dengan jalan demokrasi tersebut.
Daron Acemoglu dan James A. Robinson (2012) di awal dekade lalu menerangkan dalam karya agungnya yang banyak dipuji pembaca, yaitu Why Nations Fail? (Mengapa Bangsa - Bangsa Gagal). Acemoglu dan Robinson membagi dua sistem bernegara atau sistem politik pada sebuah negara: inklusif dan ekstraktif. Bahasa lainnya, kedua professor Universitas Harvard dan Massachusett Institute of Technology (MIT) ini mengidentifikasi bagaimana “institusi negara” bekerja. Target identifikasi dan analisisnya adalah apakah institusi suatu negara itu bekerja secara inklusif atau ekstraktif?
Bekerjanya institusi negara tentu terkait dengan sistem politik di negara itu. Sementara itu, sistem politik ketatanegaraan dipengaruhi dan ditentukan oleh “bekerjanya budaya politik” yang menyokongnya. Dengan begitu, sistem kerja institusi negara ditentukan oleh sistem politik, sementara itu sistem politik tak lepas dari “budaya politik” yang bekerja di baliknya.
Maka, mengesampingkan “budaya politik”, yang bersifat “soft”, dan terlalu fokus pada mekanisme dan sistem politik, yang bersifat “hard” adalah suatu kesalahan terbesar. Boleh jadi, itu juga yang tak sempat diterangkan secara detail dalam analisis Robinson dan Acemoglu dalam karya monumentalnya di abad ini tersebut. Bagaimanapun, budaya politik adalah penyokong sistem politik hingga cara kerja institusi negara yang sangat menentukan nasib orang banyak.
Memperhatikan aspek konseptual budaya pada ranah politik, bukanlah perkara baru. Akarnya boleh dilacak pada karya “klasik” A. L. Kroeber and Clyde Kluckhohn (1952) yang bertajuk Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions. Di karya yang banyak dirujuk oleh ilmuwan dan pengkaji kebudayaan ini, penulisnya bilang bahwa dalam konsep budaya, tata nilai, tata ide, tata perilaku, yang menghasilkan wujud “faktual” kebudayaan merupakan suatu “sistem budaya” yang bekerja secara sistematis dan terkait satu sama lain.
“Ijtihad” Kroeber dan Kluckhohn (1952) itu dipertegas oleh Edward T. Hall (1976), dua dekade kemudian. Adalah Beyond Culture yang menjadi buah pikir Hall yang menegaskan konsep Kroeber dan Kluckhohn di atas. Hall dikenal dengan teorinya mengenai Iceberg theory of culture (Teori Gunung Es Kebudayaan). Pemahaman sederhana teori ini adalah, seperti gunung es di tengah lautan kutub, ada bagian gunung es yang tampak di atas permukaan air laut, dan ada pula yang tak nampak alias terbenam di bawah permukaan air laut. Yang tak tampak itu ialah yang berupa “pegangan nilai” dan pikiran kebudayaan. Yang tampak adalah kepercayaan dan perilaku berbudaya.
Dalam politik, perilaku budaya ini, sebagai wujud paling ‘kasat mata’ dalam kebudayaan mewujud ke dalam praktik berkelakuan dalam rebut - memperebutkan kekuasaan. Di alam demokrasi, sistem budaya ini tercermin dari apa yang disebut dengan “kultur demokrasi”. Yaitu, bagaimana demokrasi itu diwujudkan: beradab atau malah sebaliknya?
Pada akhirnya, tiba jualah kita pada cermin besar laku berpolitik dan berdemokrasi di negeri kita akhir - akhir ini. Jika Acemoglu dan Robinson (2012) merujuk pada demokrasi sebagai sistem terbaik, yang katanya bermuara pada proses yang demokratis dan “inklusif” sehingga menghasilkan kesejahteraan, serta berlawanan dengan sistem otoriter yang katanya pula cenderung menghasilkan institusi negara yang “ekstraktif”. Lantas tidakkah Robinson dan Acemoglu menghitung kemungkinan “pembelokan” demokrasi yang malah menghasilkan praktik institusi negara yang “ekstraktif”? Dengan demikian, demokrasi pun sebetulnya tak aman dari perilaku ekstraktif.
“Pembelokan demokrasi” dari orientasi inklusif ke ekstraktif boleh jadi karena budaya politik juga mengalami perubahan. Ini yang tak banyak dihitung dan diprediksi oleh para analis politik yang boleh jadi “terjebak” dalam hitung - hitungan statistik mengenai popularitas dan elektabilitas para kandidat. Tentunya, berkaca dari teori lawas Kroeber dan Kluckhohn (1952) di atas, tata nilai dan ide politik sedang “diubah” oleh pemilik kuasa yang mampu mengubahnya tersebut. Lalu, proses perubahan atau pergeseran (baca: pembelokan) “kultur demokrasi” itu mewujud ke dalam membeloknya tujuan demokrasi dari yang “inklusif - berkesetaraan” menjadi “ekstraktif - dinastik” (baca: bersifat dinasti).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perubahan “kultur demokrasi” di negeri ini, dapat dibaca berawal dari adanya pembelokan “budaya politik” yang boleh jadi pada mulanya dipersiapkan secara “diam - diam” lalu meluncur seperti “prank politik” di siang bolong. Demokrasi yang menekankan kesetaraan dan berorientasi inklusif “diam - diam” lalu terang - terangan diubah menjadi “demokrasi” jadi - jadian yang “dibelokkan” boleh jadi untuk kepentingan “oligarki ekonomi” yang bertemu kepentingan dengan “politik dynastic” (politik ‘yang bersifat’ dinastik).
Keduanya, “oligarki ekonomi” dan “dinasti politik”, dalam artian negatif, rupanya diam - diam hingga terang - terangan berperan besar sebagai “biang kerok” dari “pembelokan” budaya politik dan kemunduran “kultur demokrasi” yang diupayakan secara tertatih - tatih dan penuh kerikil selama dua dekade lebih reformasi.
Kalau sudah begitu, apa jadinya budaya politik dan kultur demokrasi Indonesia pada 2024, tahun depan? Akankah keduanya dapat mewujudkan keuntungan dari “bonus demografi” yang sudah semakin di depan mata? Pertanyaan - pertanyaan ini patut dipertanyakan secara kritis oleh kaum millennial dan gen Z.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Related Posts
- Pilkada Serentak 2024: Ajang Refleksi dan Evaluasi Pesta Demokrasi Indonesia
- Dampak Globalisasi terhadap Pola Konsumsi dan Nilai Budaya di Indonesia
- Partai Independen Pendukung Mantan Perdana Menteri Imran Khan Menang Pemilu di Pakistan
- Sikapi Kemunduran Demokrasi, WALHI Serukan Prinsip Pilah, Pilih, dan Pulih dalam Menentukan Calon Pemimpin di Pemilu 2024
- Lantik Perisai Banua, Sri Juniarsih Harap Bisa Berkontribusi Besar dalam Pembangunan Sosial dan Budaya di Berau