Opini

Dibayar Murah, Diperas Proyek Negara: Buruh dan Kepalsuan Janji Kesejahteraan

Kaltim Today
01 Mei 2025 15:32
Dibayar Murah, Diperas Proyek Negara: Buruh dan Kepalsuan Janji Kesejahteraan
Buruh Mega Proyek IKN, Sepaku, Kalimantan Timur. (Foto: Salsabila Putri)

Penulis: Salsabila Putri (Jurnalis, Aktivis Perempuan)

Pada 1 Mei 1889, Internasional II mengesahkan Hari Buruh Sedunia untuk menghormati perjuangan buruh yang menuntut pembatasan jam kerja menjadi 8 jam. Perjuangan ini menjadi simbol kemenangan hak buruh di seluruh dunia, yang tercermin dalam perbaikan kondisi kerja dan kesejahteraan pekerja.

Namun, lebih dari seratus tahun setelahnya, pada 1 Mei 2025, peringatan ini justru menjadi refleksi pahit dari realitas yang semakin memburuk bagi buruh di Indonesia, terutama dengan semakin menguatnya dominasi kapitalisme global dan pengabaian hak-hak dasar buruh oleh para penguasa dan pengusaha besar.

Sejak awal abad ke-20, gerakan buruh di Indonesia berkembang pesat. Pada masa kolonial Belanda, buruh menghadapi eksploitasi luar biasa di berbagai sektor, terutama perkebunan dan pabrik-pabrik yang mempekerjakan tenaga kerja Indonesia dengan upah rendah dan kondisi yang buruk. Salah satu peristiwa penting dalam sejarah buruh Indonesia adalah pemberontakan buruh di Surabaya pada 1920 yang dipicu oleh kondisi kerja yang sangat tidak manusiawi.

Meskipun gerakan buruh telah mencatatkan berbagai kemenangan historis, seperti pembatasan jam kerja dan pengesahan undang-undang ketenagakerjaan setelah proklamasi kemerdekaan, buruh Indonesia masih terus menghadapi banyak tantangan. Di tengah pesatnya perkembangan ekonomi dan politik, buruh seakan terpinggirkan, dan sistem ketenagakerjaan kini semakin bergantung pada praktik-praktik yang lebih menguntungkan investor ketimbang pekerja.

Dalam konteks ekonomi global yang semakin mengarah pada neoliberalisme, di mana kebijakan pasar bebas mendominasi, buruh Indonesia menghadapi ekses negatif berupa semakin panjangnya jam kerja, stagnasi upah, dan kondisi kerja yang semakin buruk. Di sisi lain, buruh yang memiliki keterampilan khusus pun tidak terlepas dari ketidakadilan, karena daya tawar yang lemah dan kontrak kerja yang sering kali bersifat temporer atau tidak jelas.

Data terbaru menunjukkan bahwa pada 2024, Indonesia tercatat memiliki lebih dari 77.000 kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Bahkan, pada Januari hingga Februari 2025, angka PHK meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yakni mencapai 21.935 orang (Sumber: Kementerian Ketenagakerjaan RI, 2025). Hal ini menandakan bahwa ketidakpastian pekerjaan semakin nyata, terutama bagi pekerja yang menggantungkan hidup di sektor-sektor padat karya.

Rata-rata upah buruh Indonesia pada 2024 tercatat sebesar Rp3,27 juta per bulan, angka ini jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak di tengah lonjakan inflasi dan biaya hidup yang terus meningkat. Sektor-sektor seperti pertambangan dan penggalian yang seharusnya membayar upah lebih tinggi, dengan rata-rata upah sebesar Rp5,23 juta per bulan, pun masih tergolong rendah mengingat besarnya risiko dan tekanan pekerjaan (Sumber: BPS, 2024).

Selain buruh lokal, buruh migran Indonesia juga mengalami nasib yang tidak kalah buruk. Berdasarkan data dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), pada 2024 tercatat 251 kasus perdagangan orang dan lebih dari 450 laporan terkait dengan eksploitasi pekerja migran. Pekerja migran yang terlibat dalam sektor domestik maupun industri di luar negeri sering kali tidak mendapatkan perlindungan yang layak, baik dalam bentuk gaji yang adil, perlindungan sosial, atau hak-hak dasar lainnya. Total kerugian ekonomi akibat perdagangan manusia dan eksploitasi buruh migran Indonesia pada 2024 mencapai Rp1,77 triliun (Sumber: SBMI, 2024).

IKN Kalimantan Timur: Buruh yang Tertinggal

Salah satu proyek besar yang menggambarkan ketidakadilan terhadap buruh adalah pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur. Proyek yang kerap digadang sebagai simbol kemajuan Indonesia ini, menyimpan sisi gelap dalam praktik ketenagakerjaannya.

Laporan investigasi Majalah Tempo (Februari 2025) mengungkapkan bahwa banyak buruh konstruksi di kawasan IKN tidak memiliki kontrak kerja yang jelas, menerima upah di bawah UMK Kalimantan Timur, serta bekerja dalam jam panjang dengan fasilitas kerja dan kesehatan yang minim.

Temuan ini diperkuat oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda, yang dalam laporannya pada Maret 2025 mendampingi sejumlah pekerja yang mengalami pelanggaran hak. LBH menyebut sebagian besar buruh konstruksi di IKN tidak mendapatkan perlindungan ketenagakerjaan yang layak, walaupun proyek ini didanai oleh APBN dan investor swasta dalam jumlah besar.

IKN lebih menguntungkan kontraktor besar dan investor, sementara buruh yang menjadi tulang punggung pembangunan hanya menerima sisa. Ini menunjukkan bahwa proyek yang diharapkan membawa kemajuan justru melanggengkan eksploitasi terhadap pekerja lokal.

Oligarki dan Militerisme: Dua Kekuatan yang Menindas

Ketimpangan ini diperparah oleh dominasi oligarki dan militerisme dalam politik dan ekonomi Indonesia. Banyak kebijakan justru berpihak pada pemilik modal besar, sementara buruh tetap berada di posisi lemah. Oligarki memperkuat posisi mereka melalui jaringan politik dan kebijakan yang memprioritaskan investasi ketimbang kesejahteraan rakyat.

Militerisme juga sering kali digunakan untuk menekan gerakan buruh, terutama saat buruh melakukan aksi atau mogok kerja. Alih-alih dialog, pendekatan keamanan digunakan untuk membungkam aspirasi.

Sistem ketenagakerjaan kita saat ini lebih ditujukan untuk menjamin kelancaran investasi, bukan untuk menjamin kehidupan layak bagi pekerja. Ketika negara tunduk pada kekuatan pasar dan elit politik, maka buruh hanya akan terus menjadi korban dari sistem yang timpang.

Membangun Politik Alternatif: Jalan Menuju Pembebasan

Hari Buruh Sedunia 2025 harus menjadi momentum untuk membangun kesadaran kolektif bahwa perjuangan buruh tidak bisa lagi mengandalkan sistem politik yang ada. Kita memerlukan kekuatan politik alternatif yang lahir dari buruh, rakyat miskin, kaum muda dan yang mampu menantang dominasi oligarki dan militerisme.

Perjuangan buruh harus melampaui batas tuntutan normatif soal upah dan jaminan kerja. Ia harus menembus akar ketidakadilan struktural yang melanggengkan kemiskinan dan ketimpangan. Sudah saatnya buruh dan rakyat Indonesia tidak sekadar menjadi penonton pembangunan, tetapi menjadi aktor utama dalam menentukan arah ekonomi-politik negara. Perjuangan buruh bukan hanya soal hari ini, melainkan tentang masa depan yang adil dan setara bagi semua.(*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co

Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp 



Berita Lainnya