Internasional

Wabah Chikungunya Meluas di China, Kasus Capai 10.000 dan Menyebar ke Luar Negeri

Network — Kaltim Today 09 Agustus 2025 07:35
Wabah Chikungunya Meluas di China, Kasus Capai 10.000 dan Menyebar ke Luar Negeri
Ilustrasi. (Pixabay)

Kaltimtoday.co - China tengah menghadapi darurat kesehatan akibat lonjakan kasus Chikungunya yang telah menembus 10.000 penderita. Wabah ini memicu langkah penanggulangan ketat mirip masa pandemi Covid-19, mulai dari karantina, pembatasan aktivitas, hingga penyemprotan massal di ruang publik. Pekan ini, virus bahkan dilaporkan mulai menyeberang ke negara lain.

Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) Taiwan mengonfirmasi kasus pertama Chikungunya pada Jumat (8/8/2025). Pasien adalah perempuan Taiwan yang baru pulang dari Foshan, pusat wabah di Provinsi Guangdong, pada 30 Juli 2025. Selain Foshan, sedikitnya 12 kota lain di Guangdong melaporkan infeksi, dengan sekitar 3.000 kasus baru dalam sepekan terakhir.

Situasi ini mendorong CDC Amerika Serikat mengeluarkan peringatan perjalanan Level 2 ke Guangdong.

“Wabah di China ini sangat mengkhawatirkan. Bisa jadi virus ini sudah sampai di AS, hanya perlu satu penerbangan saja,” ujar Dr Louisa Messenger, peneliti nyamuk di Nevada, dikutip dari Daily Mail, Sabtu (9/8/2025).

Para ahli memperingatkan, mobilitas penduduk yang tinggi membuat risiko penyebaran global semakin besar. Chikungunya ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes, spesies yang sama dengan penyebar demam berdarah dengue dan virus Zika. Meski jarang berakibat fatal, penyakit ini dapat menyebabkan demam tinggi, nyeri sendi parah, hingga komplikasi pada jantung dan otak.

Roger Hewson dari Wellcome Sanger Institute di Inggris menilai wabah kali ini sebagai yang terbesar dalam sejarah China.

Sejak awal 2025, virus ini telah menjangkiti berbagai negara, mulai dari Pulau La Réunion, Mayotte, Mauritius, Madagaskar, Somalia, Kenya, India, hingga Eropa. Data Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC) per 4 Agustus 2025 mencatat 240.000 kasus dengan 90 kematian di 16 negara.

Di Amerika Serikat, CDC melaporkan 46 kasus Chikungunya sepanjang 2025, seluruhnya tertular di luar negeri. Dengan 1,6 juta orang bepergian antara AS dan China setiap tahun, risiko penularan lokal dinilai tinggi. AS sendiri pernah mengalami transmisi terbatas di Florida dan Texas pada 2014–2015.

Awalnya, pelancong dari Foshan diwajibkan menjalani karantina rumah 14 hari. Namun, aturan itu kini dicabut. Pasien positif dirawat di rumah sakit dengan kelambu nyamuk setidaknya selama satu minggu atau hingga hasil tes negatif.

Pemerintah China juga mengerahkan drone untuk mencari sarang nyamuk, menyemprotkan insektisida, dan mengimbau warga menguras tempat penampungan air. Pelanggar aturan berisiko didenda hingga 10.000 yuan (sekitar Rp28 juta) atau diputus aliran listriknya.

Masa akut Chikungunya biasanya berlangsung 1–2 minggu, namun nyeri sendi dapat bertahan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Bayi baru lahir, lansia, dan penderita penyakit bawaan berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi serius. Penularan tidak terjadi antar manusia secara langsung, melainkan melalui nyamuk yang menggigit penderita lalu menularkan ke orang lain.

Hingga kini belum ada obat antivirus khusus untuk Chikungunya. Penanganan dilakukan dengan istirahat cukup, menjaga hidrasi, dan konsumsi obat pereda nyeri seperti parasetamol. Para ahli menegaskan, pengendalian populasi nyamuk menjadi langkah kunci untuk menghentikan penyebaran wabah yang terus meluas di China dan berbagai negara lainnya.

[RWT] 



Berita Lainnya