Daerah

Dinsos Samarinda Luruskan Stigma Sekolah Rakyat, Tak Semua Anak Jalanan Bisa dan Mau Masuk

Nindiani Kharimah — Kaltim Today 23 Desember 2025 20:06
Dinsos Samarinda Luruskan Stigma Sekolah Rakyat, Tak Semua Anak Jalanan Bisa dan Mau Masuk
Kepala Bidang Pemberdayaan Sosial dan Fakir Miskin Dinas Sosial Kota Samarinda, Agus. (Nindi/Kaltimtoday.co)

Kaltimtoday.co, Samarinda - Upaya Pemerintah Kota Samarinda melalui Dinas Sosial (Dinsos) dalam menangani persoalan anak jalanan dan anak rentan sosial kembali mendapat sorotan, seiring berjalannya program Sekolah Rakyat (SR). Program ini kerap disalahpahami sebagai bentuk “penertiban” atau pemaksaan terhadap anak jalanan, padahal konsep yang diusung justru menitikberatkan pada pendekatan persuasif dan pemberdayaan keluarga.

Kepala Bidang Pemberdayaan Sosial dan Fakir Miskin (FM) Dinas Sosial Kota Samarinda, Agus, menegaskan bahwa Sekolah Rakyat bukanlah solusi instan yang bisa diterapkan secara seragam kepada seluruh anak jalanan. 

Dia mengatakan, Dinsos bekerja berdasarkan pendekatan kasus per kasus (faktual dan situasional), bukan penanganan massal.

“Tidak semua anak jalanan otomatis masuk Sekolah Rakyat. Pendekatannya individual. Kalau saat rehabilitasi sosial kami temukan orang tuanya masih ada, maka yang pertama kami lakukan justru edukasi dan bimbingan sosial kepada keluarga,” jelas Agus, Selasa (23/12/2025).

Ia menerangkan, secara teknis penanganan anak jalanan berada dalam skema rehabilitasi sosial yang melibatkan berbagai unsur, mulai dari Dinsos, relawan, hingga Satpol PP. Namun, keterlibatan Satpol PP bukan dalam konteks represif, melainkan pengamanan dan pendampingan lapangan.

“Sekolah Rakyat itu bukan penangkapan anak lalu dimasukkan ke asrama. Itu stigma yang keliru. Prinsipnya sederhana: anaknya mau, orang tuanya berkenan. Kalau salah satu tidak siap, program tidak bisa dipaksakan,” tegasnya.

Agus juga meluruskan anggapan bahwa Sekolah Rakyat hanya diperuntukkan bagi anak jalanan. Ia menyebut sasaran utama program ini adalah anak-anak dari keluarga desil 1 dan desil 2, yakni kelompok masyarakat dengan tingkat kesejahteraan paling bawah. Namun, bahkan pada kelompok tersebut, tidak semua otomatis masuk SR.

“Faktanya, ada juga anak dari desil 1 atau desil 2 yang tidak mau masuk Sekolah Rakyat. Jadi bukan soal layak atau tidak layak saja, tapi kesiapan psikologis anak dan keluarga,” ujarnya.

Terkait waktu masuk sekolah yang disebut baru dimulai pada semester berikutnya, Agus menjelaskan bahwa Sekolah Rakyat memiliki kurikulum tersendiri yang fleksibel. Anak yang sebelumnya putus sekolah tetap bisa melanjutkan pendidikan sesuai jenjang terakhir yang pernah ditempuh.

“Kurikulumnya menyesuaikan kondisi anak. Kalau sebelumnya putus di kelas tertentu, itu bisa dilanjutkan. Tapi soal teknis kurikulum, itu ranah Kementerian Sosial karena Sekolah Rakyat merupakan instansi vertikal,” jelasnya.

Dalam perjalanannya, Agus mengakui tidak semua anak yang sudah terdaftar atau bahkan sempat masuk asrama akhirnya bertahan. Ada sejumlah anak yang memilih mengundurkan diri karena faktor psikologis maupun kondisi keluarga.

“Anak-anak usia segitu kan dinamis. Hari ini bilang mau sekolah, besok bisa berubah pikiran. Ada yang sudah di asrama, lalu ingin pulang. Itu realitas yang kami hadapi,” ungkapnya.

Ia mencontohkan, sebagian anak mengalami tekanan emosional karena harus tinggal di asrama, sementara sebagian lainnya terkendala faktor keluarga, seperti peran anak di rumah yang selama ini membantu menjaga adik atau mendukung aktivitas orang tua.

“Begitu anak masuk Sekolah Rakyat, peran itu hilang. Ada orang tua yang merasa berat karena harus mengubah pola hidupnya,” tambah Agus.

Meski demikian, Dinsos tidak serta-merta melepas anak-anak yang mengundurkan diri. Pendekatan lanjutan tetap dilakukan secara berjenjang, mulai dari wali asrama, guru Sekolah Rakyat, relawan sosial, hingga tenaga SDM Kesejahteraan Sosial (SDM Kesos) yang turun langsung ke rumah keluarga anak.

“Pendekatan bisa sampai tiga kali. Kami datangi rumahnya, kami ajak bicara orang tuanya. Kalau setelah itu anak dan keluarga tetap menolak, barulah kami hormati keputusan mereka,” katanya.

Terkait dukungan bantuan sosial, Agus menyebut sebagian besar keluarga siswa Sekolah Rakyat memang terdaftar sebagai penerima bantuan dari Kementerian Sosial, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) maupun kepesertaan BPJS Kesehatan. Namun, ia menegaskan tidak semua keluarga otomatis menerima bansos yang sama.

“Mayoritas memang penerima bansos pusat. Tapi tidak bisa digeneralisasi semuanya sama,” jelasnya.

Untuk data pasti jumlah anak yang benar-benar mengundurkan diri dari Sekolah Rakyat, Agus mengaku belum memegang angka terbaru. Ia menyarankan agar data teknis tersebut dikonfirmasi langsung ke pihak pengelola Sekolah Rakyat atau lembaga terkait di bawah Kementerian Sosial.

Pada akhirnya, Agus menekankan bahwa Sekolah Rakyat dirancang bukan semata-mata untuk mengangkat anak dari jalanan, tetapi untuk meningkatkan derajat hidup keluarga secara menyeluruh.

“Tujuan akhirnya adalah pemberdayaan. Mengangkat martabat keluarga miskin agar anak-anak mereka punya masa depan yang lebih baik. Tapi semua itu harus berjalan dengan persetujuan dan kesiapan mereka sendiri,” pungkasnya.

[RWT] 



Berita Lainnya