Opini
Evaluasi Debat Pertama Pilgub Kaltim 2024
Muhammad Sarip (Sejarawan Publik)
MENJADI pemirsa acara debat calon kepala daerah versi KPUD itu hampir mirip dengan menonton debat pemilihan presiden garapan KPU Pusat. Formatnya serupa. Dua orang pemandu debat disebut moderator, tetapi peran riilnya sebatas time keeper. Soal-soal yang diajukan oleh panelis juga standar normatif. Sementara panelis cuma duduk manis, tanpa kesempatan merespons jawaban pasangan calon.
Debat yang saya simak dan bahas ini adalah debat pertama Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubenur Kalimantan Timur, 23 Oktober 2024. Temanya “Penguatan Fondasi Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat”. Ada dua pasangan calon, yakni nomor urut 1 Isran Noor-Hadi Mulyadi dan nomor urut 2 Rudy Mas’ud-Seno Aji. Total durasi mencapai tiga jam atau tepatnya 2 jam 53 menit, dihitung sejak pembawa acara (MC) Caca Rischa mengucapkan salam hingga moderator Angkie Cresentia dan Erwinsyah bilang sampai jumpa.
Saya tidak akan mengomentari atau membandingkan penampilan, penguasaan materi, dan substansi jawaban tiap paslon secara terbuka di ruang publik. Yang saya ulas adalah format debat yang kaku dan monoton seperti debat-debat sebelumnya. Ketika paslon menjawab pertanyaan dari panelis yang dibacakan oleh moderator, entah sesuai konteks atau keluar topik, harus dikonsumsi mentah-mentah oleh publik. Dalam tanya jawab antarpaslon juga muncul kalimat-kalimat yang tak sinkron antara soal dan jawaban.
Pada saat tanya jawab tak nyambung, di situlah semestinya moderator berfungsi lebih dari sekadar pembaca teks dan time keeper. Moderator harus berani dan tegas mengingatkan arah pembicaraan paslon agar kembali ke topik. Namun, problemnya adalah pilihan moderator yang ada bukanlah dari sosok yang biasa memandu forum publik yang kritis ataupun dialog bebas.
Dua moderator berlatar belakang host atau pembaca berita TVRI Kalimantan Timur. Saya pernah tampil bareng Angkie dan Erwinsyah dalam satu program talkshow TVRI Kaltim bernama “Ngapeh” membahas sejarah perang di Samarinda. Di stasiun televisi plat merah ini, tidak ada acara dialog atau talkshow mengangkat isu kontroversial dengan narasumber yang tajam dan blak-blakan dalam berpendapat seperti show di televisi swasta nasional. Televisi lokal tidak mempunyai tradisi dalam show ‘pinggir jurang’ atau dialog ‘barbar’. Presenter TV daerah lebih terbiasa dengan dialog yang ‘datar’ tanpa mekanisme interupsi narasumber, meskipun substansinya out of topic (OOT).
Dengan iklim pertelevisian lokal yang selalu bermain aman, para host kurang memiliki pengalaman dalam menghadapi situasi forum publik yang dinamis dan mendadak di luar kenormalan. Misalnya ketika paslon diberi kesempatan bertanya, lalu paslon tersebut tidak jelas isi pertanyaannya. Moderator hanya terdiam tanpa inisiatif mengklarifikasi kepada paslon tersebut. Begitu pula saat ada paslon yang dua kali ditanya soal yang sama oleh paslon lain, jawaban tak nyambung dan berulang, sementara moderator tetap pasif.
Problem berikutnya untuk moderator, saat paslon berhenti bicara sebelum durasinya habis, ketika waktu tersisa cuma 2 detik, apa faedahnya moderator bertanya lagi kepada paslon. “Waktu masih tersisa 2 detik, apakah paslon masih ada yang mau ditambahkan?” Tindakan moderator ini memang sah dan tak salah, tetapi dia naif dan tidak mempergunakan nalar yang rasional. Begitu moderator selesai bertanya, habislah sisa 2 detik itu.
Untuk debat-debat selanjutnya, andai boleh memberi saran, sebaiknya moderator dipilih dari figur akademisi, jurnalis atau pegiat literasi berkompeten dengan portofolio berkualitas untuk forum publik. Moderator yang kompeten untuk forum yang tricky dan bertensi tinggi seperti debat kandidat tidak selayaknya dari orang-orang yang biasa merangkap job sebagai master of ceremony (MC). Moderator bukanlah MC yang terbiasa membaca skrip. Beberapa pemandu podcast profesional yang saya kenal, tidak menerima job ngemsi, dengan alasan kompetensi yang berbeda antara host atau moderator dengan MC.
Kapabilitas dan intelektualitas moderator semestinya sepadan atau mendekati setara, atau bisa melebihi para kandidat. Dengan begitu, saat ada paslon yang OOT, moderator paham dan berani mengatasinya. Jika moderator itu pernah menjadi aktivis organisasi mahasiswa intra maupun ekstrakampus, tentu lebih baik. Namun, verifikasi ketidakberpihakan moderator pada paslon atau partai politik tertentu harus diperketat dengan melihat rekam jejaknya dalam kontestasi elektoral minimal misalnya sepuluh tahun terakhir.
Evaluasi berikutnya untuk pertanyaan yang dibuat oleh panelis. Ada subtema yang berbunyi “Pembangunan infrastruktur, pengelolaan sumber daya alam, dan peran Kaltim sebagai penyangga IKN”. Yang ingin saya soroti adalah frasa “Kaltim sebagai penyangga IKN”.
Cukup menakjubkan ketika panelis yang terdiri atas akademisi beberapa perguruan tinggi di Kaltim dan diketuai oleh seorang rektor mempergunakan term “penyangga” untuk mendeskripsikan relasi Kaltim terhadap IKN. Saya sendiri mengamati progres penerbitan Undang-Undang IKN sejak pemerintah menyerahkan draf RUU IKN kepada DPR pada 29 September 2021. Saat drafnya belum dipublikasikan, awal Oktober 2021 saya memperoleh file Word RUU IKN lengkap dengan lampiran peta delienasi IKN beresolusi tinggi.
Dua hari menjelang jadwal Sidang Paripurna DPR 18 Januari 2022 mengesahkan UU IKN, publik disajikan polemik Nusantara sebagai nama ibu kota baru negara. Sejarawan Jakarta JJ Rizal dan yang lainnya dari Jawa memprotes penamaan Nusantara yang dianggap Jawa-sentris karena berbasis narasi sejarah hegemoni Kerajaan Majapahit atas kepulauan di luar Pulau Jawa. Tanpa pesanan dari pemerintah, secara natural pernyataan saya tentang sejarah nama Nusantara juga ada di Kaltim dan muncul lebih awal di Kutai sebelum narasi superioritas Majapahit, dimuat sejumlah media mainstream yang terbit di Jakarta sebagai counter (Kompas.com, 17/1/2022; Detik.com, 18/1/2022. Bahkan TVRI Stasiun Pusat Jakarta melakukan siaran langsung wawancara saya dalam program Klik Indonesia Pagi 19 Januari 2022 membahas topik “Memaknai Nama IKN Nusantara dari Aspek Sejarah”.
Dampak dari narasi saya tentang sejarah nama Nusantara dari Kutai adalah seringnya saya diundang sebagai narasumber forum sejarah bertema IKN sepanjang kalender 2022 hingga 2023. Forum tersebut dari tingkat lokal hingga yang dilaksanakan di Jakarta. Pada 31 Januari Staf Khusus Presiden mengundang saya ke Sekretariat Negara di Jakarta. Saya diminta mempresentasikan “Pertautan Sejarah Peradaban Kutai dan IKN Nusantara” (Kaltimkece.id, 2/2/2023). Dua setengah bulan kemudian Otorita IKN mengundang saya ke Jakarta untuk presentasi “Sejarah Masyarakat Adat dan Wilayah Adat di Ibu Kota Nusantara” (Kaltimkece.id, 17 April 2023).
Kembali ke diksi penyangga, kata yang berarti alat untuk menyangga ini tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Begitu pula dalam UU Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Pada pasal 12 UU IKN 2022 istilah yang ada ialah “daerah mitra”.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam Buku Saku Pemindahan Ibu Kota Negara (2021: 11) merencanakan “daerah mitra” itu menjadi bagian dari ekosistem tiga kota sebagai penggerak ekonomi masa depan. Dua kota sebagai mitra IKN itu adalah Samarinda dan Balikpapan (ikn.go.id). Istilah daerah mitra lebih bermakna partner yang setara, kolaboratif, dan bersinergi antara Kaltim dan IKN. Adapun istilah penyangga cenderung menempatkan Kaltim sebagai sub-ordinat bagi IKN. Penyangga lebih berkonotasi daerah ‘bawahan’ atau pengabdi bagi IKN.
Uniknya, dalam pertanyaan kepada paslon terkait proyek strategis nasional tersebut, panelis debat sendiri mengungkapkan data yang bukan kabar baik. Moderator membacakan teks dari naskah yang ditulis oleh panelis bahwa alokasi APBN 2025 untuk pembangunan infrastruktur IKN mengalami penurunan ketimbang tahun sebelumnya.
“Pertanyaannya, dengan pagu anggaran yang turun drastis dari APBN 2024 dan Kaltim sebagai wilayah penyangga utama, apa strategi pasangan calon dalam mengantisipasi pembangunan IKN yang prosesnya melambat?" (Youtube KPU Provinsi Kalimantan Timur, menit 2:21:56)
Salam Pancasila! (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Pj Gubernur Kaltim Soroti Penanganan Kasus Muara Kate, Akan Bangun Komunikasi dengan Polda dan 48 Inspektur Tambang
- Pj Gubernur Kaltim Umumkan Kenaikan UMSK 2025 di 7 Kabupaten/Kota, Kota Bontang Catat Upah Sektoral Tertinggi
- Sudah 30 Hari Kasus Muara Kate Tanpa Kejelasan, Koalisi Masyarakat Sipil Kembali Desak Pj Gubernur Kaltim Bertindak
- Dengar Aspirasi Petani Kaltim, Sarifah Suraidah Janji Perjuangkan Stabilitas Harga Pupuk
- PBB Tetapkan Hari Danau Dunia, Danau Matano Jadi Contoh Sinergitas Konservasi Air