Nasional
Gagal Jadi Pemain Utama di COP30, CSO Cap Indonesia "Penonton" dan Dikecam Bawa Delegasi Fosil Terbanyak
JAKARTA, Kaltimtoday.co - Sejumlah organisasi masyarakat sipil (CSO) Indonesia mengecam keras kinerja delegasi Indonesia di Konferensi Perubahan Iklim COP30 UNFCCC di Belem, Brasil (10-21 November 2025). Indonesia dinilai tampil pasif dan gagal mendorong komitmen ambisius untuk transisi dari energi fosil dan menghentikan deforestasi.
Country Director Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, menyebut Indonesia, yang merupakan negara dengan hutan hujan tropis terbesar dan anggota G20, memilih untuk menjadi "penonton" alih-alih pemain utama dalam diplomasi iklim.
"Indonesia yang seharusnya bisa menjadi pemain utama, sayangnya memilih untuk menjadi penonton," kata Leonard pada konferensi pers Refleksi dari COP30, Selasa (25/11/2025).
Kritik diperkuat oleh Direktur Eksekutif Auriga Nusantara, Timer Manurung, yang menyatakan tidak melihat peran signifikan diplomasi Indonesia dan menilai Indonesia hanya mengekor di belakang.
Sementara itu, Direktur Sosio-Bioeconomy CELIOS, Fiorentina Refani, menilai posisi Indonesia justru bertolak belakang dengan urgensi krisis iklim.
“Penetapan Indonesia sebagai Fossil of the Day karena membawa delegasi dan pelobi fosil terbanyak menjadi tamparan dan bukti bahwa komitmen Indonesia terhadap transisi energi masih jauh dari memadai,” ujar Fiorentina.
Ia juga menyoroti bahwa Indonesia menjadikan COP30 sebagai arena untuk "berjualan karbon", melalui sesi seller meet buyer setiap hari dengan target transaksi hingga Rp16 triliun. Dorongan agresif ini dinilai berpotensi menjadi beban fiskal dan mengancam hak tenurial masyarakat adat.
Ayub Paa dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat juga menyampaikan kesedihan mendalam, karena pembukaan paviliun megah yang menawarkan solusi ekonomi hijau oleh pemerintah tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. "Padahal di Papua dibuka dua juta hektare hutan," kata Ayub.
Hasil COP30 Tidak Konkret
Secara umum, CSO menyayangkan bahwa COP30 tidak menghasilkan komitmen konkret untuk mencapai ambisi menekan pemanasan global tidak lebih dari 1,5∘C.
Leonard Simanjuntak menilai COP30 bahkan lebih buruk dari COP28 di Dubai karena tidak menghasilkan peta jalan yang nyata untuk mengakhiri penggunaan energi fosil (transitioning away from fossil fuel roadmap) dan menghentikan deforestasi (halting and reverse deforestation roadmap).
Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, menyayangkan target pengurangan emisi yang masih terlalu lemah dan mekanisme pendanaan yang belum jelas. "Belum ada rencana yang konkret. Siapa yang akan membayar juga belum jelas," katanya.
Meskipun kritik terhadap delegasi Indonesia meluas, COP30 diakui membawa kemajuan besar bagi Masyarakat Adat.
Deputi I Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Eustobio Rero Renggi, mengatakan COP30 menghasilkan keputusan penting yang mengakomodir hak kolektif Masyarakat Adat dalam dokumen Just Transition Work Programme. Dokumen tersebut menegaskan penghormatan terhadap hak-hak Masyarakat Adat, termasuk penerapan Free Prior and Informed Consent (FPIC).
Keputusan ini menjadi momentum penting bagi Indonesia, mengingat Pemerintah Indonesia telah berkomitmen di COP30 untuk mengakui 1,4 juta hektare hutan adat. Namun, angka tersebut dianggap hanya langkah awal. Eustobio menegaskan pengesahan RUU Masyarakat Adat harus dipercepat agar komitmen Indonesia di panggung global tidak sekadar janji politik.
[TOS]
Related Posts
- Hingga Oktober 2025, APBN di Kaltim Defisit Rp29,53 Triliun
- Hetifah Tekankan Pentingnya Keterampilan Riset Dasar untuk Mahasiswa Baru
- Kasus Perceraian ASN di Kaltim Meningkat, BKD Perkuat Edukasi dan Pemahaman Regulasi
- Kesempatan Emas bagi Desainer Kaltim: Ikuti Sayembara Desain Batik ASN dan Souvenir Khas Kaltim dengan Hadiah Rp80 Juta
- HGN Jadi Momentum Penting, Komisi IV DPRD Kaltim: Kesejahteraan Guru Kaltim Masih Perlu Perhatian Serius







