Nasional

Gelar Temu Rakyat Menggugat Debat, Koalisi Masyarakat Sipil Soroti Debat Cawapres Minim Substansi dan Solusi Konkret 

Fitriwahyuningsih — Kaltim Today 22 Januari 2024 22:30
Gelar Temu Rakyat Menggugat Debat, Koalisi Masyarakat Sipil Soroti Debat Cawapres Minim Substansi dan Solusi Konkret 
Panggung Temu Rakyat Menggugat Debat digelar Koalisi Masyarakat Sipil di Jakarta. (Foto: Istimewa)

Kaltimtoday.co, Jakarta - Koalisi sembilan organisasi masyarakat sipil menggelar kegiatan bertajuk "Temu Rakyat Menggugat Debat" yang digelar Minggu (21/1/2024). Kegiatan yang dihelat secara hybrid ini menyoroti sejumlah hal dalam debat calon wakil presiden (cawapres) yang dinilai kurang menyetuh hal-hal substansial terkait kepentingan rakyat dan keberlangsungan lingkungan.

Dalam keterangan tertulisnya, koalisi 9 organisasi masyarakat sipil ini menyebut, mestinya dalam debat cawapres ini publik disuguhkan adu gagasan selaiknya para negarawan yang membahas masa depan Indonesia. Perbincangan tersebut mestinya menempatkan perlindungan terhadap lingkungan hidup, termasuk menjaga kelestariannya, sebagai kepentingan bangsa. Selain itu, keselamatan rakyat, termasuk keselamatan lingkungan mestinya diletakkan sebagai hukum tertinggi di negara ini.

"Keselamatan dan perlindungan itu, termasuk upaya-upaya mensejahterakan rakyat, menghindari rakyat dari kemiskinan akibat bencana dan krisis ekologi," sebut mereka dalam keterangan tertulis yang diterima media ini.

Bagi mereka, hal tersebut menjadi sangat penting sebab banyak fakta diungkapkan warga dari tapak, namun sepertinya diabaikan oleh negara. Misalnya, masyarakat rempang yang tegas menolak relokasi. Hal ini menandakan adanya perbedaan nilai antara negara dengan rakyat dalam memandang agenda pembangunan PSN di Rempang. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum pun seringkali menjadi persoalan serius, dimana hak dan kepentingan rakyat terabaikan. Ada pula cerita dari warga Sangea. Mereka dengan tegas menyatakan perlunya perlindungan terhadap lingkungan hidup yang terus tergerus.

Kemudian dari Morowali. Di sana, Proyek Strategis Nasional (PSN) rupanya tak menjadi jawaban untuk mendorong kesejahteraan warga. Faktanya, buruh masih saja ditempatkan pada kondisi kerja yang buruk, praktik politik upah murah marak terjadi, hingga menempatkan buruh jauh dari aspek keselamatan. Kemudian cerita dari Kendeng. Warga setempat memberikan gambaran bahwa penghancuran alam terus terjadi, dan tragisnya salah satu calon presiden (captes) masih memiliki masalah serius dengan penghancuran alam di pegunungan kendeng.

Ada pula cerita dari warga yang bermukim di dekat megaproyek IKN Nusantara, Masyarakat Sepaku. Mereka menyebut, pembangunan IKN dinilai sangat ugal-ugalan. Pembangunan dikebut, namun di saat bersamaan timbul persoalan lingkungan. Juntrungnya, warga setempat menjadi korban. Belum lagi masyarakat adat di sekitar IKN yang haknya tak dipenuhi dan dirampas negara. Kemudian Warga Indramayu yang berharap adanya ketegasan untuk menerbitkan kebijakan menghentikan PLTU Batubara ang sudah mereka menangkan.

Kemudian cerita dari Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB). Mereka menggambarkan bagaimana kebijakan sektor energi memberikan dampak sangat buruk bagi warga. Perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Terakhir, cerita warga pakel. Mereka menuturkan bagaimana selama satu abad lahan warga di Desa Pakel dikuasai oleh korporasi. Secara kolektif warga memperjuangkan hak atas tanah mereka. Namun yang terjadi justru kriminalisasi terhadap warga pejuang agraria di Desa Pakel.

Namun dalam debat cawapres ini, banyak hal mengecewakan yang justru mengemuka, kata koalisi 9 organisasi masyarakat sipil ini, misalnya:

1.    Masih ada narasi diungkapkan oleh cawapres, yang mempertegas semangat untuk mengekstraksi sumberdaya alam, dengan tegas menyebut sumberdaya nikel dengan solusi hilirisasi. Hal tersebut mempertegas karakter kolonial. 

2.    Banyak istilah seperti transisi energi, keadilan Iklim dan keadilan ekologis disebutkan para cawapres. Istilah tersebut belakangan kerap disebutkan berbagai pihak, bahkan korporasi sekali pun. Namin sejatinya, yang dibutuhkan ialah penjabaran komprehensif, termasuk menggambarkan nilai dan prinsip yang melandasi transisi energi, keadilan iklim atau keadilan ekologis. 

3.    Reforma Agraria mestinya tidak sebatas legalisasi tanah, tetapi juga penyelesaian konflik tanah. Terutama konflik lahan yang berkenaan dengan PSN atau pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Mengikis ketimpangan terutama dalam penguasaan tanah.

"Hal tersebut menghawatirkan karena solusi yang dirancang tidak dilancarkan pada nilai dan prinsip yang kuat. Wajar jika disebut sebagai solusi palsu, membangun narasi seolah-olah mengatasi krisis tetapi sesungguhnya tidak mengatasi masalah malah justru menabung bencana itu sendiri," sebut 9 organisasi sipil yang terdiri dari AJI Indonesia, ICW, Kurawal Foundation, Tempo Witness, Trend Asia, Walhi, YLBHI, Kontras ini.

Selain minimnya tawaran solusi konkret dan banyaknya narasi tak penting dihadirkan, koalisi masyarakat sipil pun menyebut debat cawapres ini justru banyak mengabaikan hal penting dan mendesak untuk dibahas, misalnya: 

1. Peraturan perundang-undangan yang menjadi masalah utama, bahkan bisa dikatakan sebagai biang dari kehancuran ekologis misalnya UU Cipta Kerja yang memberi karpet merah kepada investasi serta melonggarkan (menyisihkan) instrumen lingkungan hidup.

2. Banyaknya perampasan tanah-tanah rakyat terutama untuk PSN yang bermasalah. Misalnya dari sisi pengadaan tanah, penanggulangan konflik, terutama yang berkaitan dengan rakyat. Kriminalisasi dalam pengadaan lahan-lahan untuk PSN juga memiliki angka yang cukup besar. 

3. Minimnya, atau tidak ada penjelasan soal demokratisasi dalam pengelolaan SDA. 

4. Dalam debat kali ini, juga sangat minim dan nyaris tidak terdengar dari para cawapres membahas tentang upaya perlindungan terhadap pulau-pulau kecil dan pulau terluar.

Dengan berbagai hal yang telah dipaparkan, koalisi masyarakat sipil menilai bahwa agenda rakyat memang tidak menjadi prioritas. Oleh karena itu, yang mesti segera dilakukan adalah bertransisi dari pengembangan ekonomi yang bersifat ekstraktifisme menjadi mengembangkan ekonomi yang inklusif. Tata kelola yang kapitalistik ke tata kelola yang lebih demokratis.

[TOS]



Berita Lainnya