Opini
Ikut Demo: Antara Pejuang Demokrasi atau Pejuang “Story”?
Oleh : Ade Irawan, (Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Samarinda)
Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 28 E ayat 3 juga menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Demonstrasi adalah salah satu wujud nyata dalam implementasi dari hak warga negara dalam kebebasan berpendapat. Demonstrasi juga dilakukan sebagai salah satu opsi dalam negara demokrasi jika pemerintah dinilai tidak sejalan dengan kepentingan rakyat banyak. Indonesia juga mengatur demonstrasi ini di dalam pasal 1 ayat 3 pada UU NO.9 Tahun 1998 tentang kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum. Sehingga, demonstrasi merupakan hal yang wajar dalam negara yang menganut sistem demokrasi.
Demonstrasi juga dilakukan oleh mahasiswa sebagai kalangan terdidik dalam memperjuangkan kepentingan rakyat dengan bertujuan menekan pemerintah agar dapat mengganti kebijakan sesuai dengan keinginannya. Bahkan, hampir seluruh demonstrasi yang terjadi di Indonesia mahasiswa memiliki andil di dalamnya.
Demonstrasi besar tahun 1998 dalam rangka menuntut reformasi lah yang menjadi puncaknya. Bahkan, semangat para mahasiswa dalam berunjuk rasa pada masa sekarang ini pun diilhami oleh demo tersebut. Bagaimana tidak, pada masa itu dikenal dengan masa pemerintahan yang otoriter, kebebasan dibatasi dan sangat sulit mengutarakan pendapat dapat digulingkan oleh para mahasiswa pada masa itu walaupun cukup banyak menelan korban jiwa.
Beberapa minggu lalu dapat kita lihat pada hampir seluruh berita di berbagai media memberitakan tentang ramainya demonstrasi besar-besaran untuk menolak UU OMNIBUS Law. Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi pun turut serta berkumpul dalam satu titik di depan gedung DPR/DPRD untuk menyuarakan penolakan terhadap OMNIBUS Law. Namun, ada fenomena unik dalam demonstrasi yang mengumpulkan hingga ribuan mahasiswa di tengah pandemi Covid-19 ini.
Tulisan protes yang dituliskan yang seharusnya berisi kritikan dan protes serta argumen penolakan, ternyata malah memberikan tulisan yang terkesan “guyonan” yang menjadi viral seperti “cukup mantan yang php bapak jangan”, lalu “aku benci DPR aku sayang Anya” dan kalimat lain yang menjurus menjadi “vulgar” bahkan “porno”. Hal ini justru membuat demo terkesan hanya sekedar ajang untuk meraih popularitas di media sosial serta lucu-lucuan semata.
Penulis pun mencoba menelusuri bagaimana awal mula penggunaan kata-kata nyeleneh di poster protes yang digunakan dalam demo ini. Ternyata, asal mulanya berawal dari demo tahun 2019 lalu pada saat demo penolakan RUU KPK yang saat itu membuat seluruh mahasiswa di Indonesia pada saat itu juga viral kata-kata seperti “Cukup cintaku yang kandas KPK ku jangan”. Hal inilah yang memicu teman-teman mahasiswa yang lainnya untuk ikut dalam demo ini. Maka, ramailah teman-teman mahasiswa lainnya membuat tulisan-tulisan lainnya.
Hal ini tentu membuat esensi nilai demonstrasi menjadi tergerus. Karena dari awal niat mahasiswa bukan ingin memperjuangkan tuntutan-tuntutan dalam demonstrasi melainkan, mereka memiliki kepentingan untuk eksistensi media sosial semata. Lagi-lagi hal ini disebabkan oleh perkembangan globalisasi yang begitu pesat.
Media sosial adalah salah satu produk nyata dalam globalisasi ini. Media sosial dewasa ini seakan menjadi kebutuhan primer yang mana sehari saja tidak “bermedsos” seperti seolah-olah kehidupan ini hampa. Selain itu, hal ini ditambah oleh generasi millenial yang saat ini sudah menjadi mahasiswa memiliki karakter yang ingin eksis di media sosial agar keberadaannya diakui sebagai seorang yang kreatif dan karakter yang baik lainnya atau kita kenal dengan istilah “pencitraan”.
Jika dulu mahasiswa tidak mengenal yang namanya media sosial sehingga tidak berpikir tentang hal tersebut sehingga membuat mereka sibuk untuk memperkuat barisan serta mengasah argumentasi dalam berdemonstrasi sehingga, membuat demonstrasi pada masa itu dapat diperhitungkan keberadaannya, tuntutan pun jelas. Para peserta demo pun paham dengan apa yang diperjuangkannya, sehingga berpuncak pada penggulingan masa orde baru menjadi era reformasi yang kita rasakan hingga saat ini.
kreativitas pada masa ini yang diterapkan dalam demonstrasi tidak lah menjadi masalah selama kreativitas tersebut ditujukan untuk kepentingan tuntutan dalam demonstrasi bukan untuk sekedar mendapatkan like dan viral atau hanya sekedar lucu-lucuan.
Saat ini sebenarnya masih banyak juga mahasiswa yang masih memiliki semangat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat melalui saluran hak kebebasan berpendapatnya. Maka, penulis ingin mengajak kepada diri sendiri dan kepada para teman-teman mahasiswa agar menggunakan hak kebebasan berpendapatnya secara maksimal dengan memperkuat literasi, sehingga turun aksi tidak hanya sekedar berpanas-panasan lalu berfoto dengan tulisan-tulisan tersebut lalu pulang karena terkena gas air mata, melainkan menyuarakan pendapat di jalan dengan landasan yang jelas dan menggunakan kreativitasnya untuk membuat demonstrasi menjadi lebih berisi serta menjadi perhatian dan pertimbangan pemerintah selaku pembuat kebijakan.(*)
*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co