Kaltim

Jatam Kaltim: Kasus Korupsi IUP Donna Faroek-Rudi Ong Bukan Sekadar Kerugian Negara, tapi Kejahatan Ekologis

Fitriwahyuningsih — Kaltim Today 11 September 2025 08:57
Jatam Kaltim: Kasus Korupsi IUP Donna Faroek-Rudi Ong Bukan Sekadar Kerugian Negara, tapi Kejahatan Ekologis
Tersangka Dayang Donna Faroek saat konferensi pers di KPK, Rabu (10/9/2025).

SAMARINDA, Kaltimtoday.co - Penangkapan Dayang Donna Faroek dan pengusaha Rudi Ong Chandra dalam kasus korupsi izin usaha pertambangan (IUP) di Kalimantan Timur dinilai membuka sisi gelap praktik mafia tambang. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim menilai perkara ini bukan hanya persoalan kerugian negara, tetapi juga bentuk kejahatan ekologis dan kemanusiaan.

Dalam pernyataannya, Jatam menyebut konsesi tambang yang diselewengkan mencapai 34 ribu hektar—setara lebih dari separuh luas Kota Balikpapan. Penyelewengan itu melibatkan tujuh IUP, di antaranya PT Cahaya Bara Kaltim, PT Anugerah Pancaran Bulan, PT Sepiak Jaya Kaltim, PT Bunga Jadi Lestari, dan PT Tara Indonusa Coal.

“Luasan itu bukan angka kecil, setara lebih dari setengah luas Kota Balikpapan,” tulis Jatam Kaltim dalam keterangan resminya, Kamis (11/9/2025).

Jatam menilai kasus ini bukan peristiwa tunggal, melainkan cerminan praktik rente dalam penerbitan izin tambang sejak awal 2000-an. Otonomi daerah memberi kewenangan penuh bupati atau wali kota untuk menerbitkan IUP, namun kewenangan tersebut kerap dijadikan mesin rente.

Menurut catatan Jatam, lebih dari 1.400 IUP diterbitkan di Kaltim sejak 2003. Proses ini dinilai sarat dengan praktik gratifikasi dan jual-beli izin. Nama Rudi Ong disebut mengantongi izin melalui lobi politik, aliran dana ke elite daerah, hingga mekanisme ilegal lainnya.

“Pertanyaannya, apakah proses hukum Donna Faroek dan Rudi Ong benar-benar akan mengubah bobroknya tata kelola perizinan di Kaltim?” tanya Jatam.

Meski kewenangan penerbitan izin kini berada di pemerintah pusat, Jatam menilai kebijakan sentralisasi itu tidak otomatis menyelesaikan persoalan. Tanpa hak veto rakyat, kata mereka, ruang korupsi hanya berpindah dari daerah ke pusat.

“Seharusnya kebijakan berangkat dari analisis ilmiah dan empirik. Permasalahan nyata adalah alokasi tambang yang melampaui daya dukung ekologi, minimnya akses informasi, kriminalisasi warga, dan pertambangan sebagai sumber pembiayaan politik,” jelas Jatam.

Dampak ekologis dan korban manusia

Jatam menegaskan, yang dipertaruhkan dalam skandal ini bukan hanya uang negara. Hutan, sungai, lahan pertanian, hingga keselamatan generasi mendatang ikut terancam.

Lubang tambang yang ditinggalkan tanpa reklamasi telah merenggut nyawa 49 anak. Sungai-sungai yang sebelumnya menjadi sumber air bersih kini tercemar limbah, sementara desa-desa kehilangan tanah garapan akibat konsesi tambang.

“Luasan 34 ribu hektar itu berarti lebih setengah Balikpapan hilang dari peta ruang hidup rakyat, berganti lubang-lubang maut,” tegas mereka.

Sebagai respons, Jatam Kaltim mengajukan lima tuntutan:

  1. Proses hukum transparan dan akuntabel tanpa kompromi.
  2. Pemerintah Prabowo-Gibran mengaudit dan mencabut seluruh IUP yang terbit melalui praktik korupsi.
  3. Pemulihan ruang hidup rakyat dengan menutup lubang tambang dan mengembalikan bentang alam Kaltim.
  4. Pencabutan enam IUP terkait perkara ini, dengan pengembalian 34 ribu hektar lahan yang telah dirusak.
  5. KPK diminta menghitung kerugian sosial dan ekologis dalam kasus ini sesuai yurisprudensi hukum.

Menurut Jatam, kasus Rudi Ong Chandra hanya “membuka sedikit tirai” dari gelapnya praktik mafia tambang yang melibatkan pengusaha, kepala daerah, hingga aparat penegak hukum.

[TOS]



Berita Lainnya