PPU

Kasus Tipikor Asrama Haji, Kejari PPU Tahan Direktur PT Momik Perkasa Indonesia

Muhammad Razil Fauzan — Kaltim Today 15 Agustus 2025 16:54
Kasus Tipikor Asrama Haji, Kejari PPU Tahan Direktur PT Momik Perkasa Indonesia
Petugas Kejari PPU melakukan proses administrasi penahanan terhadap tersangka Kamis (14/8/2025) malam. (Istimewa)

Kaltimtoday.co, Penajam - Kejaksaan Negeri Penajam Paser Utara (Kejari PPU) resmi menahan Direktur PT Momik Perkasa Indonesia terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) pengelolaan aset daerah. Aset tersebut berupa Gedung Asrama Haji yang beralih fungsi menjadi Hotel Penajam Suite.

Penetapan status tersangka dilakukan pada Kamis (14/8/2025) berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Kepala Kejari PPU Nomor: B-268/O.4.22/Fd.1/08/2025. Kepala Seksi Intelijen Kejari PPU, Eko Purwanto, menyebutkan bahwa penahanan dilakukan di hari yang sama.

l
Bangunan Milik Daerah berupa Asrama Haji di Kawasan Islamic Center yang dialihfungsikan menjadi Hotel penajam Suite. (Istimewa)

“Kejari PPU melakukan penetapan tersangka sekaligus penahanan tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pada pengelolaan BMD berupa Gedung Asrama Haji yang digunakan sebagai Hotel Penajam Suite,” ujarnya.

Dari hasil penyelidikan, Kejaksaan menemukan adanya kerugian keuangan negara senilai Rp2,4 miliar. Temuan ini merujuk pada Laporan Hasil Pemeriksaan Inspektur Daerah Pemkab PPU Nomor: 700.1.2.2/081/LHP/ITDA tanggal 7 Mei 2025.

“Tersangka ditahan di Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Tanah Grogot untuk masa penahanan selama 20 hari, terhitung sejak tanggal 14 Agustus hingga 2 September 2025,” tambah Eko.

Kasus ini bermula dari dugaan penyalahgunaan aset publik yang seharusnya dipakai untuk kepentingan masyarakat, namun justru dimanfaatkan sebagai hotel komersial. Kejari PPU menegaskan akan mengusut perkara ini hingga tuntas.

Akademisi Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul) sekaligus Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) FH Unmul, Orin Gusta Andini. (Istimewa)

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) sekaligus Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) FH Unmul, Orin Gusta Andini, menilai pemanfaatan aset milik daerah untuk tujuan bisnis harus melalui jalur resmi yang ketat.

“Penggunaan BMD untuk komersial pasti ada prosedur yang harus ditempuh, karena kan berkaitan dengan tujuan awal dan pengelolaannya, termasuk penerimaan keuntungan dan lain-lain,” jelasnya saat dihubungi Kaltimtoday.co.

Ia menekankan, pelanggaran administratif dapat berpotensi menjadi tindak pidana korupsi apabila memenuhi unsur-unsur tipikor.

“Pelanggaran administrasi bisa jadi tipikor apabila memenuhi unsur-unsur tipikor, misalnya ada perbuatan melawan hukum, ada penyalahgunaan wewenang, menimbulkan kerugian negara,” tambahnya.

Menurut Orin, kerjasama pengelolaan aset daerah dengan pihak swasta sering kali membuka ruang penyalahgunaan. Modus yang muncul bisa berupa penyalahgunaan kewenangan, praktik suap, konflik kepentingan, hingga pengelolaan yang tidak transparan. Ia juga menilai lemahnya pengawasan di daerah memperbesar risiko tersebut.

Lebih jauh, ia menegaskan bahwa penetapan status tersangka harus berlandaskan bukti yang kuat.

“Bisa jadi bukti awal, yang jelas untuk penetapan tersangka harus memenuhi minimal dua alat bukti sesuai alat bukti yang ada di Pasal 184 KUHAP, saksi, ahli, surat, keterangan terdakwa, petunjuk,” paparnya.

Selain itu, Orin menyoroti hambatan dalam penegakan hukum kasus korupsi di daerah. Salah satunya adalah intervensi pejabat atau perangkat daerah yang dapat memengaruhi proses hukum.

“Efektivitas penegakan hukum harus terus didorong, karena memang umumnya ada tantangan sendiri khususnya penegakan hukum korupsi kalau di daerah, misalnya intervensi terhadap penegakan hukum dari pejabat atau perangkat daerah,” jelasnya.

Ia menambahkan, aparat penegak hukum perlu mengurai secara jelas peran masing-masing pihak yang terlibat dalam pengelolaan aset daerah. Hal itu penting agar keterlibatan swasta dapat dibuktikan sejak awal penyidikan.

Orin juga mengingatkan bahwa kontrak kerja sama dengan pihak swasta sering dijadikan alasan untuk menghindari jerat pidana.

“Karena biasanya pengelolaan dengan swasta menggunakan kontrak, maka kedepannya harus bersiap dengan pembelaan dalih kasus ini administrasi atau perdata untuk menghindari proses pidana,” pungkas Orin.

[RWT]



Berita Lainnya