Pendidikan
Membangun Pengasuhan Alternatif yang Representatif

Oleh: Muhammad Wahdini (Kepala Bidang KRA Bappeda Litbang Balikpapan)
Beberapa waktu lalu, saya mengikuti Lokakarya Kebijakan Pendidikan dan Pengasuhan Anak Usia Dini yang diselenggarakan oleh Tanoto Foundation di Balikpapan. Salah satu isu yang mengemuka adalah pentingnya pengasuhan alternatif dalam sistem pendidikan dan kesejahteraan anak usia dini. Sebagai orangtua yang bekerja penuh waktu dan mempercayakan anak pada layanan daycare, topik ini terasa sangat relevan. Di satu sisi, kami harus tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, namun di sisi lain tetap berharap anak kami tumbuh dalam lingkungan yang aman, penuh kasih, dan mendukung perkembangan optimal meski tanpa kehadiran kami sepanjang hari.
Memberikan kepercayaan pengasuhan kepada lembaga seperti daycare bukanlah perkara ringan. Keputusan itu menyangkut memastikan kebutuhan afeksi, stimulasi kognitif, hingga pembentukan karakter anak pada periode emasnya. Orangtua tentu berharap, meskipun berada di luar rumah, anak mereka tetap mendapatkan pengasuhan yang layak dan bermakna.
Namun pertanyaannya: bagaimana memastikan bahwa daycare benar-benar memenuhi standar mutu pengasuhan? Dan sejauh mana kebijakan negara hadir untuk menjawab kebutuhan ini?
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Seribu Hari Pertama Kehidupan sejatinya telah memberikan dasar hukum yang kuat. Pasal 30 mengamanatkan bahwa pemberi kerja wajib menyediakan sarana dan prasarana bagi ibu dan anak, termasuk tempat penitipan anak di lingkungan kerja. Ini adalah sinyal kuat bahwa negara mengakui pentingnya pengasuhan yang layak sekaligus mendukung peran orangtua, khususnya ibu bekerja.
Lebih jauh, RPJMN 2025–2029 memasukkan penyediaan daycare ramah anak sebagai bagian dari penyediaan fasilitas pendukung keluarga, sebuah strategi untuk membangun ketangguhan keluarga Indonesia. Ketersediaan daycare yang aman, terjangkau, dan berkualitas juga berkaitan langsung dengan agenda besar pengurangan ketimpangan gender. Pemerintah menargetkan penurunan Indeks Ketimpangan Gender dari 0,447 (2023) menjadi 0,394 pada 2029, salah satunya melalui perluasan akses perempuan terhadap ruang publik dan dunia kerja.
Namun demikian, arah kebijakan ini belum cukup jika tidak disertai dengan kebijakan turunan yang lebih operasional dan terukur, khususnya terkait standardisasi dan sertifikasi daycare ramah anak. Orangtua butuh jaminan—bahwa tempat pengasuhan yang mereka pilih benar-benar aman, sesuai standar tumbuh kembang anak, serta diawasi dan dievaluasi secara berkala. Saat ini, banyak daycare berdiri tanpa regulasi teknis yang memadai. Maka, kehadiran pedoman nasional, sertifikasi kelembagaan, dan sistem pengawasan yang ketat menjadi kebutuhan mendesak untuk membangun rasa aman dan kepercayaan publik.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu memastikan Penyedia kerja dalam hal ini perusahaan agar dapat memfasilitasi adanya Tempat Penitipan Anak di lingkungan kerja. Langkah ini setidaknya akan membangun hubungan (bonding) yang kuat, antara orangtua dan anak karena lokasi penitipan anak tidak begitu jauh dari atau berada di lingkungan tempat bekerja
Beberapa negara telah menjadikan pengasuhan alternatif sebagai bagian integral dari kebijakan sosial. Swedia, misalnya, tidak hanya menyediakan subsidi besar bagi layanan daycare, tetapi juga memastikan sistem pelatihan dan sertifikasi bagi para pengasuh. Negara tersebut menyadari bahwa kualitas pengasuhan sangat menentukan kualitas SDM di masa depan. Jepang, dengan tantangan serupa terhadap partisipasi kerja perempuan, mengembangkan kodomo-en—institusi hybrid yang menggabungkan fungsi PAUD dan layanan pengasuhan. Hasilnya, perempuan lebih terdorong kembali ke dunia kerja karena adanya sistem yang mendukung.
Indonesia mulai menapaki jalur serupa. Selain amanat UU dan RPJMN, pemerintah juga tengah menyiapkan langkah standardisasi dan sertifikasi daycare ramah anak. Namun upaya ini harus dipercepat dan diperkuat, agar tidak berhenti di tingkat wacana atau pilot project semata.
Pengasuhan, baik dalam keluarga maupun dalam bentuk alternatif, telah diakui sebagai isu strategis pembangunan nasional dan daerah. Dokumen RPJMD ke depan perlu secara eksplisit memasukkan pengasuhan sebagai prioritas, karena berkaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia, kesehatan mental generasi muda, dan pencegahan kekerasan terhadap anak.
Data menunjukkan, 12,25% balita di Indonesia masih menerima pengasuhan tidak layak. Bahkan, satu dari tiga remaja mengalami masalah kesehatan mental, dan lebih dari 50% anak usia 13–17 tahun pernah mengalami kekerasan. Ini menandakan bahwa pengasuhan bukan lagi ranah privat semata, melainkan isu publik yang butuh intervensi sistemik.
Daycare ramah anak bukan solusi tunggal, namun ia adalah komponen penting dari ekosistem pengasuhan yang inklusif dan adil. Keberpihakan terhadap pengasuhan yang layak akan membantu orangtua—terutama perempuan—menjalankan dua peran pentingnya dengan lebih seimbang dan penuh makna.
Di balik setiap anak yang tumbuh bahagia dan berdaya, ada sistem yang bekerja mendukung. Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat perlu bergandeng tangan memastikan bahwa tidak ada satu anak pun yang tertinggal dalam perhatian, pengasuhan, dan juga kasih sayang.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp