Opini
Membongkar Tipu-Tipu Personal Branding Penulis AI dan Public Speaker Manipulatif
Oleh: Muhammad Sarip (Sejarawan Publik)
Personal branding itu ada yang genuine, asli, orisinal, autentik. Namun, ada juga yang flexing, palsu, manipulatif, pseudo.
Pada masa kini, personal branding merupakan kebutuhan sebagian besar orang. Saya mengamati, kelompok manusia yang paling sadar tentang perlunya personal branding adalah generasi Z. Entitas kelahiran 1996–2010 ini sangat effort dalam pembentukan persona diri mereka. Berbagai workshop, pelatihan, dan seminar bertema personal branding dibuat untuk segmen audiens gen Z.
Tidak ada yang salah dengan kesadaran dan effort untuk personal branding, asalkan ditempuh secara fair dan beretika. Dari interaksi dengan beberapa influencer gen Z, saya mengetahui bagaimana cara mereka membangun persona.
Ada individu-individu yang berbuat curang demi validasi persona dan citra diri mereka. Dalam tulisan ini saya fokus pada individu yang atribusi dirinya adalah pegiat literasi dan/atau public speaker.
Berdasarkan observasi saya, ada beberapa oknum yang sebenarnya tak suka membaca buku. Dia malas membaca artikel yang komplet di media. Dia tak mampu menyelesaikan bacaan sebuah buku tipis, apalagi buku tebal. Culasnya, orang ini mem-branding dirinya sebagai pegiat literasi. Dia berfoto dengan buku sambil memajang caption sok bijak.
Ada pula yang mula-mula jadi master of ceremony (MC), tiba-tiba menjelma sebagai public speaker. Atribusi public speaker ini bisa dia self-claim atau disematkan oleh temannya sendiri dalam sirkel yang sesama tak punya kompetensi.
Maksud saya mengungkap contoh kasus ini supaya publik menyadari dan mampu membedakan mana personal branding yang faktual dan mana pencitraan yang fiktif. Cara memverifikasi pegiat literasi yang palsu itu bisa dilihat dari konsistensi dan kualitas tulisan dia. Tak cukup posting teks pendek di media sosial, pegiat literasi itu mesti punya karya literasi yang signifikan dan teruji di publik.
Sekarang perkembangan Artificial Intelligence alias AI makin canggih. Platform Generative AI (GenAI) seperti ChatGPT dan Meta AI mampu membuatkan tulisan opini, esai, cerpen sesuai prompting alias instruksi manusia. Namun, pegiat literasi yang genuine akan mampu mendeteksi mana tulisan karya manusia dan mana tulisan buatan robot. Tanpa bantuan aplikasi, saya mengenali opini, esai, dan cerpen yang terbit di media siber sebagai tulisan GenAI. Produk tulisan AI itu template, kaku, datar. Ada aspek humanisme dan sisi emosional penulis yang hilang dari tulisan AI.
Ketika diuji dengan aplikasi AI Detector, dugaan saya benar. Ada oknum akademisi, pendidik, dan pegiat literasi di Kaltim yang tulisannya buatan AI tayang di media siber. Ada yang agak dimodifikasi, tapi usaha parafrasa yang dia lakukan sendiri hanya 20 hingga 30-an%. Hasil AI Detector-nya tetap di atas 50%. Bahkan ada yang naskahnya disalin secara verbatim alias copas 100% dari GenAI.
GenAI seperti ChatGPT itu fungsi sebenarnya adalah sebagai mitra diskusi dan belajar serta alat bantu penelusuran. Penggunanya tetap harus berpikir kritis karena ChatGPT punya kelemahan krusial, yaitu sering mengadi-ngadi dalam penyajian data. Dalam dunia riset, halusinasi data itu disebut fabrikasi. UNESCO dalam buku Guidance for Generative AI in Education and Research telah memperingatkan publik untuk mewaspadai fabrikasi informasi yang dilakukan oleh GenAI (2023: 30).
Sebuah karya tulis verbatim yang dihasilkan oleh AI tidak etis diekspos ke publik dengan klaim sebagai karya individu tertentu. Dalam dunia akademik, ini termasuk pelanggaran moral dan etik. Dalam perlombaan menulis pun sudah ada yang membuat ketentuan akan mendiskualifikasi peserta yang naskahnya diketahui menggunakan bantuan AI.
UNESCO telah mengekspos delapan kontroversi GenAI. Satu di antaranya adalah GenAI tidak memahami konteks dunia nyata sehingga menghasilkan respons yang tidak tepat. Hal ini berdampak pada peluang terjadinya kesalahan informasi dan misinformasi, serta dapat menyesatkan pengguna yang mengandalkan AI dalam mencari informasi akurat (2023: 16).
Dengan fakta ini, saya menyampaikan resolusi secara terbuka kepada redaktur dan pemimpin media agar menerapkan cek deteksi AI pada tiap naskah yang dikirim pembaca. Hasil AI Detector yang bisa ditoleransi mungkin maksimal 20%. Limit ini sebagaimana persentase maksimal untuk cek similarity naskah riset berupa skripsi, tesis, disertasi, jurnal menggunakan Turnitin. Angka 20% itu pun bukan murni plagiarisme, melainkan kesamaan nama peristiwa, nama institusi, nama produk, judul karya, dan sebagainya yang tak mungkin diparafrasa. Media harus menolak penerbitan tulisan pembaca hasil perjokian, baik joki dari manusia, maupun joki dari AI.
Begitu juga dengan individu yang menggunakan atribusi public speaker. Kemampuan dia yang sebenarnya baru sebatas pemandu acara seremonial atau protokoler. Dia harus memegang dan membaca skrip untuk bisa menjadi MC. Pengetahuan dia tentang substansi acara hanya sebatas lapisan luar. Itu pun dari teks contekan atau hafalan template dari buatan AI tanpa pemahaman mendalam.
Sebagian pihak vendor atau event organizer baik swasta maupun pemerintah pun belum paham bedanya MC dan moderator. Sering kali individu yang skill dia sebenarnya MC acara wedding atau entertainment, tapi dijadikan moderator untuk forum publik. Padahal yang sebenarnya knowledge dan insight moderator itu mesti setara dengan narasumber atau minimal tidak terlalu jomplang dengan narasumber.
Dengan branding sebagai public speaker, individu level MC itu berharap dan memang mengincar tawaran job sebagai moderator dan pembicara di forum publik. Honorarium sebagai moderator dan narasumber memang lebih tinggi ketimbang MC. Individu yang begini biasanya tampak dari akun media sosial dia dengan banyaknya video flexing berupa scene berbicara, tapi audionya diganti dengan musik. Ada yang bikin adegan gimik dan teatrikal seolah-olah sedang presentasi, padahal forumnya sudah bubar. Pengguna media sosial tak tahu kalimat atau materi apa yang dia bicarakan.
Saya mengobservasi secara langsung dan via rekaman video beberapa gen Z ketika menjadi narasumber. Sebagian mereka berbicara tanpa substansi. Yang disampaikan terlalu normatif dan template. Intonasinya tampak dibuat-buat, bukan genuine. Nyaris tak ada pengetahuan dan wawasan yang layak dikutip untuk di-share kepada publik. Namun, selesai acara mereka posting video selebrasi seolah-olah paling menjadi pusat atensi dalam forum.
Saya mendapat spill dari orang yang pernah terlibat dalam kontes duta-dutaan atau putri-putrian di sebuah planet. Diungkapkan bahwa peserta dilatih public speaking itu untuk trik retorika menjawab pertanyaan sulit para juri. Sebenarnya mereka tidak menjawab, melainkan hanya mengulang atau melakukan parafrasa pertanyaan judges. Mereka diuntungkan dengan limit durasi menjawab sehingga tidak ada kesempatan bagi juri untuk menguji isi kepala mereka yang sebenarnya. Jadi, sebagian peserta itu memang tak terasah daya nalar, analitis, dan critical thinking-nya.
Dalam konteks ini saya punya komparasi. Saya pernah berkenalan dengan seseorang yang profilnya tak ada atribusi dan jejak digital sebagai pegiat literasi maupun public speaker. Namun, dari cara dia bertanya dan substansi pertanyaannya, saya mendeteksi intelektualitas dirinya. Saya bisa meyakini bahwa dia adalah pegiat literasi yang sebenarnya. Hanya dari pengakuan dia suka membaca buku tebal berbahasa non-Indonesia, saya meyakini bahwa dia punya value dan mampu tampil berbicara secara smart di forum publik.
Ringkasnya, kawan ini saya perkenalkan kepada publik lebih dari sekadar pegiat literasi. Dia mampu presentasi di forum publik dari proses menamatkan bacaan buku-buku saya dalam waktu singkat. Dia belajar bukan dari video singkat yang bertebaran di TikTok. Saya posisikan dia pada level yang equal dengan saya sesuai value yang dia miliki. Selain bareng saya sebagai pembicara di forum publik sejarah, saya juga berkolaborasi dengan dia secara egaliter dalam penulisan buku sejarah dan artikel jurnal.
Buku pertama collab kami berjudul Historipedia Kalimantan Timur. Acara launching-nya di Kampus Universitas Mulawarman tahun 2024. Adapun riset kami berjudul “Studi Historis Asal-Usul Nama Kota Samarinda”. Artikel ini publish di Jurnal Riset INOSSA volume 6 nomor 2 tahun 2024 yang diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan, Riset, dan Inovasi Daerah (Bapperida) Pemerintah Kota Samarinda. Publikasi jurnal open access untuk publik.
Perihal partner collab ini—namanya Nanda Puspita Sheilla—telah saya ungkap cukup signifikan dalam publikasi di media siber Kaltimtoday yang berjudul “Busana, Bahasa, Budaya Ad Hominem”.
Yang ingin saya bilang adalah autentisitas personal branding itu datangnya dari pihak lain, bukan self-claim. Nanda mendapatkan atribusi sebagai pegiat literasi dan narasumber yang kredibel bukan labeling dari dirinya sendiri. Dia tidak minta validasi. Namun, saya yang mengakui bahwa personal brand tersebut layak dia dapatkan.
Lantas, bagaimana dengan diri saya sendiri? Apa itu sejarawan publik? Siapa yang memberikan atribusi sejarawan publik kepada saya? Apakah itu klaim saya sendiri? Tentu tidak!
Saya memperoleh atribusi sebagai sejarawan publik dari seorang akademisi Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang bernama Kresno Brahmantyo, Ph.D. Beliau sejarawan yang menginisiasi studi Ilmu Sejarah Publik di Indonesia. Pak Kresno merupakan mentor saya dalam Bimbingan Teknis Penulis Sejarah yang dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kali pertama berbasis kompetensi pada 2020.
Setelah profil saya sebagai pegiat yang memverifikasi sejarah lokal dimuat di harian cetak Kompas, Pak Kresno melalui chat WhatsApp merekomendasikan saya agar menggunakan atribusi sebagai sejarawan publik. Namun, saya sadar bahwa jika saya sendiri yang mengumumkannya, maka boleh jadi ada orang yang beranggapan bahwa percakapan pribadi itu hanyalah pengakuan sepihak. Screenshot pun bisa dituding rekayasa karena memang mudah memalsukannya.
Solusinya, saya memohon kepada Pak Kresno agar menginfokannya di ruang publik. Beliau setuju, lalu menuliskannya di sebuah postingan akun Facebook sejarawan juga, yakni Dr. Andi Achdian, akademisi Universitas Nasional Jakarta yang waktu itu merupakan sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Pusat.
Sejarawan publik itu maksudnya ahli cum penulis sejarah berkompeten yang lahir dari luar lingkungan akademik sejarah, tetapi beraktivitas dalam bidang sejarah di ruang publik. Adapun sejarawan yang berlatar belakang kuliah Ilmu Sejarah, dia disebut sejarawan akademik. Perlu diketahui juga, dosen dan guru pengajar sejarah di kampus dan sekolah tidak otomatis mendapatkan atribusi sebagai sejarawan. Pembedanya pada karya yang dijadikan referensi oleh publik.
Demikianlah beberapa indikator kepalsuan personal branding. Jadi, publik mesti cerdas dengan memberikan proporsi yang tepat kepada individu yang personal brand dia asli. Sebaliknya, publik juga bijak untuk tidak tertipu memberikan ruang bagi individu yang persona dia palsu.
Yang genuine tidak meminta pengakuan. Sebaliknya, yang flexing selain minta validasi, bisa jadi mengidap NPD alias narcissistic personality disorder. Si NPD ini mengalami gangguan kepribadian haus pengakuan, pujian, dan validasi. Waspadalah dengan orang toxic yang suka playing victim dan si paling merasa butuh perhatian. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Rapat Mendadak Baleg DPR Bahas Revisi UU Minerba, Jaringan Masyarakat Sipil Angkat Suara
- Bawaslu Kaltim Siapkan Pusat Data Pemilu untuk Tingkatkan Literasi Demokrasi
- Potret Menu Makan Bergizi Gratis Hari Pertama di Samarinda, Kepsek : Anak Tidak Hadir, Jatah Dikembalikan
- Usulan Tambahan Anggaran Rp100 Triliun untuk Program Makan Bergizi Gratis Menuai Pro dan Kontra
- SNBP 2025 Resmi Dimulai: Peluang Emas Masuk PTN Tanpa Tes Tertulis