Nasional

Pidato Prabowo di HUT RI ke-80 Dinilai Abaikan Isu HAM dan Keadilan Sosial

Kaltim Today
17 Agustus 2025 15:30
Pidato Prabowo di HUT RI ke-80 Dinilai Abaikan Isu HAM dan Keadilan Sosial
Ketua YLBHI, Muhamad Isnur.

JAKARTA, Kaltimtoday.co - Pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto pada peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia, 15 Agustus 2025 lalu, menuai kritik dari sejumlah organisasi masyarakat sipil. Mereka menilai, pidato yang mengusung tema “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju” hanya menekankan narasi kemajuan ekonomi dan stabilitas, namun mengabaikan persoalan mendasar seperti hak asasi manusia, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.

Dalam sebuah diskusi yang digelar YLBHI melalui kanal YouTube, lima tokoh masyarakat sipil memberikan tanggapan. Mereka adalah Muhamad Isnur (Ketua Umum YLBHI), Bhima Yudhistira (Direktur CELIOS), Jumisih (aktivis JALA PRT), Iqbal Damanik (Greenpeace Indonesia), serta komika Dodok Jogja.

Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira, menilai visi ekonomi yang disampaikan Presiden masih terjebak pada pola lama. “Prabowo justru terjebak dalam dualisme konsepsi ekonominya sendiri. Mengejar pertumbuhan 8 persen sekaligus menurunkan kemiskinan dengan model ala Orde Baru adalah hal yang mustahil. Pemerintah harus memilih: membenahi tata kelola SDA atau memperkuat perlindungan sosial,” ujarnya.

Bhima juga mengkritik penggunaan istilah “serakah nomics” oleh Presiden. Menurutnya, istilah itu justru pengakuan bahwa kebijakan ekonomi sebelumnya meninggalkan masalah besar.

Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato kenegaraan pertama pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPR RI, Jakarta, pada Jumat, 15 Agustus 2025. (Foto: BPMI Setpres)
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato kenegaraan pertama pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPR RI, Jakarta, pada Jumat, 15 Agustus 2025. (Foto: BPMI Setpres)

Sementara itu, Jumisih dari JALA PRT menyoroti klaim pemerintah soal penciptaan jutaan lapangan kerja. “Saya tidak percaya penyerapan 1,2 juta tenaga kerja. Faktanya, gelombang PHK terjadi di banyak sektor. Yang harus diperiksa bukan hanya jumlah, tapi kualitas pekerjaan: upah, hubungan kerja, dan jaminan sosial,” katanya. Ia menegaskan pekerja rumah tangga masih menjadi contoh nyata kelompok pekerja yang tidak terlindungi secara hukum.

Ketua YLBHI, Muhamad Isnur, menyampaikan kekecewaannya karena Presiden sama sekali tidak menyinggung perlindungan hak asasi manusia. “Tidak ada satu kalipun Presiden menyebut soal HAM atau kebebasan berpendapat. Padahal dalam banyak proyek pembangunan, masyarakat adat kehilangan tanah dan justru dikriminalisasi,” ujarnya.

Dari sisi lingkungan, Greenpeace menilai pemerintah masih terjebak pada model ekstraktif. Iqbal Damanik menyebut penggunaan TNI dan Polri dalam penertiban SDA menunjukkan pola pikir militeristik. “Kita sedang menghadapi krisis iklim. Fokus seharusnya bukan memperluas ekstraksi, tapi bagaimana negara berhenti jadi pengemisi,” tegasnya.

Dengan gaya satir, komika Dodok Jogja menilai pola-pola Orde Baru kini hidup kembali. “Yang diomongin selalu tambang untuk rakyat lewat TNI. Ini Soeharto banget. Tirani semakin merajalela, dan ke depan komedi adalah solusi karena pemerintah yang konyol justru ancaman bagi komika,” katanya.

Masyarakat sipil menegaskan bahwa di usia 80 tahun kemerdekaan, pembangunan seharusnya memastikan keadilan sosial, perlindungan hak asasi, dan keberlanjutan lingkungan. Tanpa keberpihakan nyata pada rakyat, kemerdekaan hanya tinggal seremonial sementara oligarki kian menguat.

[TOS]



Berita Lainnya