Opini
Doa Bersama di Hari Kemerdekaan: Jejak Spiritualitas dalam Kepemimpinan Gubernur Harum

Oleh: Prof. Dr. H. M. Abzar Duraesa, Dekan FUAD UINSI Samarinda
PERINGATAN HUT ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025 menjadi momen istimewa yang dirayakan di seluruh penjuru tanah air. Di Kalimantan Timur, peringatan tahun ini terasa lebih khidmat dan penuh makna. Gubernur Kaltim, Dr. H. Rudy Mas’ud, S.E., M.E. (akrab disapa Harum) menginisiasi sebuah tradisi baru: mengundang tokoh masyarakat dan alim ulama untuk salat Zuhur berjemaah dan doa bersama.
Inisiasi tersebut mengingatkan kita pada akar perjuangan yang lekat dengan nilai-nilai keagamaan. Sejarah mencatat, kemerdekaan Indonesia tidak lahir dari perjuangan fisik semata. Ada kekuatan spiritual yang mengiringi setiap langkah para pejuang.
Panglima Besar Jenderal Soedirman, misalnya, dikenal bukan hanya ahli strategi perang gerilya, tetapi juga sosok religius yang memimpin pergerakan kemerdekaan dengan dasar takwa. Demikian pula para alim ulama di berbagai daerah yang turut menggerakkan perlawanan dengan semangat jihad fi sabilillah.
Maka, ketika Gubernur Harum memilih salat berjemaah dan doa bersama sebagai bagian dari peringatan kemerdekaan, itu bukan sekadar simbol seremonial. Gubernur Harum sejatinya sedang membangun “jembatan waktu” dengan menghidupkan kembali denyut spiritualitas yang dulu menjadi napas perjuangan para pahlawan.
Kegiatan tersebut dipusatkan di Masjid Nurul Mu’minin Samarinda, dan dihadiri Gubernur Harum bersama Anggota DPR RI/Ketua TP PKK Kaltim Hj. Sarifah Suraidah Harum, Wakil Gubernur Seno Aji dan istri Hj. Wahyu Hernaningsih Seno, Sekretaris Daerah Provinsi Kaltim Sri Wahyuni, para asisten, staf ahli/staf khusus, kepala biro, dan pimpinan perangkat daerah.
Hadir pula Ketua DPRD Kaltim H. Hasanuddin Mas’ud, KH. Muhammad Zhofaruddin (Guru Udin), KH. Jamaluddin (Guru Jamal), Ketua MUI Kaltim, Ketua Takmir Masjid Nurul Mu’minin, Ketua Baznas Kaltim, pimpinan instansi vertikal di Kaltim, para alim ulama, tokoh masyarakat dan tokoh agama, serta civitas akademika UINSI Samarinda.
Doa Bersama
Dengan menggelar doa bersama, Gubernur Harum sejatinya telah menumbuhkan rasa kebersamaan. Semua duduk dalam saf yang sama, tanpa memandang pangkat atau jabatan. Suasana ini menghadirkan ketenangan jiwa sekaligus memperkuat optimisme dalam membangun daerah.
Di sini, doa menjadi sumber kekuatan batin, pengingat bahwa kemerdekaan adalah anugerah Tuhan yang harus disyukuri dan dijaga. Selain itu, doa menjadi ruang refleksi: apakah kemerdekaan ini sudah benar-benar kita isi dengan amal terbaik?
Kalimantan Timur kini tengah bersiap menyongsong masa depan besar, terlebih dengan hadirnya Ibu Kota Nusantara (IKN). Pembangunan yang begitu pesat menuntut bukan hanya kecerdasan teknokratik, tetapi juga keteguhan moral dan spiritual.
Melalui doa bersama, Gubernur Harum secara esensial memberi pesan jelas: pembangunan harus tetap berpijak pada nilai-nilai luhur. Sebab, sebesar apa pun kemajuan fisik yang dicapai, ia akan kehilangan ruh jika tidak dibarengi dengan kekuatan spiritual.
Inilah makna penting doa bersama bagi masa depan Kaltim. Ia menjadi pengingat bahwa generasi emas yang kita cita-citakan bukan hanya generasi yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga generasi yang kuat iman dan akhlaknya.
Visi “Kaltim Sukses Menuju Generasi Emas” hanya dapat terwujud bila pembangunan fisik berjalan seiring dengan pembangunan manusianya. Di sinilah letak kejeniusan langkah Gubernur Harum: mengembalikan keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara kerja keras dan doa, antara ikhtiar dan tawakal.
Bayangkan bila tradisi yang diinisiasi Gubernur Harum juga diikuti oleh para bupati/wali kota, hingga camat dan kepala desa di seluruh pelosok Kaltim. Doa akan bergema serentak dari desa hingga provinsi. Sebuah getaran spiritual menyatukan seluruh masyarakat, tanpa sekat wilayah maupun tingkatan pemerintahan.
Saat itu, akan ada jutaan tangan yang menengadah di waktu yang bersamaan, memohon keberkahan untuk Kalimantan Timur. Ini bukan sekadar ritualitas, tetapi energi kolektif yang bisa membentuk karakter masyarakat: ikhlas, bersatu, dan penuh harapan.
Akan lebih indah lagi bila doa bersama ini juga dilaksanakan di gereja, vihara, pura, dan klenteng. Sehingga semua umat beragama di Kaltim menundukkan kepala sesuai keyakinannya masing-masing, namun dengan tujuan yang sama: mendoakan bangsa dan daerah agar diberi kedamaian serta kemajuan.
Dengan menggelar salat Zuhur berjemaah dan doa bersama di hari kemerdekaan, Gubernur Harum sesungguhnya sedang menorehkan jejak kepemimpinan yang menyentuh hati. Ia tidak hanya berbicara tentang program, proyek, dan angka-angka capaian. Lebih dari itu, ia mengajak masyarakat untuk kembali merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap ikhtiar yang dijalani.
Kepemimpinan yang demikian adalah kepemimpinan yang membumi sekaligus menembus langit. Melalui doa bersama, akan tercipta mentalitas positif di tengah masyarakat. Bahwa keberhasilan pembangunan tidak hanya ditentukan kekuatan modal dan teknologi, tetapi juga oleh keberkahan.
Kemerdekaan sebagai Anugerah
Salat Zuhur berjemaah sekaligus mengukuhkan komitmen para founding fathers bangsa kita, bahwa kemerdekaan yang kita raih merupakan salah satu anugerah terbesar bangsa ini. Bukankah hal tersebut telah tertuang dengan jelas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945? Bahwa “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan keinginan yang luhur, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Sebagai sebuah anugerah, maka sepantasnyalah kita sebagai bangsa senantiasa memanjatkan puji dan syukur kepada Sang Pencipta. Salah satu wujud rasa syukur itu adalah memanfaatkan anugerah yang telah diberikan Allah SWT dengan sebaik-baiknya dan sesuai peruntukannya. Tuhan sendiri telah menjanjikan: “Jika kalian mensyukuri nikmat-Ku, maka niscaya akan Kutambahkan. Tetapi jika kalian ingkar terhadap nikmat-Ku, maka niscaya azab-Ku teramat pedih.”
Jalan spiritual menuju “Generasi Emas” yang diinisiasi oleh Gubernur Harum tentulah salah satu wujud rasa syukur, dan ini merupakan langkah nyata seorang gubernur dalam mengawal pembangunan yang tidak hampa spiritual.
Karena itu, peringatan Kemerdekaan RI di Kaltim tahun ini akan dikenang bukan hanya karena upacara dan perlombaannya, tetapi karena lahirnya tradisi spiritual yang menghidupkan makna kemerdekaan itu sendiri. Kemerdekaan sejati adalah kebebasan untuk beribadah, kebebasan untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran, dan kebebasan untuk membangun bangsa dengan cara yang bermartabat.
Tradisi salat berjemaah dan doa bersama yang diinisiasi Gubernur Harum sebenarnya bukanlah langkah yang berdiri sendiri. Ia terhubung erat dengan komitmen spiritual yang sejak awal sering beliau tekankan: instruksi agar pejabat pemerintah membiasakan salat fardu berjemaah, serta imbauan untuk menghidupkan salat Subuh berjemaah di masjid-masjid.
Konsistensi ini menunjukkan bahwa kegiatan doa bersama itu bukan sekadar seremoni sesaat, melainkan kelanjutan dari ikhtiar membangun budaya religius dalam pemerintahan dan masyarakat. Ketika kita terbiasa memulai langkah dengan doa, akan lahir etos kerja yang lebih ikhlas, kebersamaan yang lebih erat, dan kejujuran yang lebih terjaga.
Dari Subuh yang penuh cahaya hingga doa bersama di hari kemerdekaan yang khidmat, Gubernur Harum sesungguhnya telah menegaskan bahwa kekuatan batin adalah fondasi utama bagi kebesaran sebuah bangsa.
Wallahu a‘lam bissawab.
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis sebagaimana tertera, tidak menjadi bagian dari tanggung jawab redaksi Kaltimtoday.co.
Related Posts
- Dispora Kaltim Ajak Seluruh Lapisan Masyarakat Jadikan Olahraga sebagai Gaya Hidup Baru
- Dispora Kaltim Dorong Pemerataan Fasilitas Olahraga dan Ruang Terbuka Hijau
- Dispora Kaltim Gagas PPLPD untuk Atasi Krisis Regenerasi Atlet Muda
- Pidato Prabowo di HUT RI ke-80 Dinilai Abaikan Isu HAM dan Keadilan Sosial
- HUT ke-80 RI, Gubernur Rudy Mas'ud Targetkan Berantas Kemiskinan dan Pengangguran di Kaltim