Opini
Sekolah Rakyat: Jalan Panjang Menuju Pendidikan Berkeadilan dan Berkarakter

Oleh: Dr. Syahdara Anisa Makruf, Ketua Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah DIY - Dosen Universitas Islam Indonesia
PENDIDIKAN sering disebut sebagai jembatan menuju masa depan. Namun, di negeri ini, tidak semua anak berkesempatan menyeberangi jembatan yang sama kokohnya. Ada yang berjalan di atas jembatan beton yang lebar dan mulus, penuh fasilitas dan guru berkualitas. Ada pula yang melangkah di atas jembatan bambu yang rapuh, dengan buku seadanya, ruang kelas reyot, dan guru yang harus mengajar sambil memikirkan kebutuhan hidupnya sendiri. Pertanyaannya, apakah kita rela melihat kesenjangan ini terus menganga?
Sekolah Rakyat hadir sebagai salah satu jawaban. Ia tidak hanya bangunan dengan papan nama baru, melainkan sebuah gerakan moral yang berusaha memutus mata rantai ketidakadilan pendidikan. Konsepnya sederhana namun sarat makna: memberikan akses pendidikan berkualitas bagi anak-anak dari keluarga miskin atau termarjinalkan, lengkap dengan fasilitas, asrama, dan pendampingan karakter. Dalam Sekolah Rakyat, anak tidak hanya belajar membaca dan berhitung, tetapi juga belajar hidup yakni bisa mengatur waktu, menghormati orang lain, dan memikul tanggung jawab.
Pendidikan Berkeadilan dan Berkarakter
Sering kali, kita mengira keadilan pendidikan berarti setiap anak diizinkan untuk bersekolah. Padahal, izinnya boleh sama, tapi jalannya berbeda. Ada anak yang berjalan dengan bekal lengkap seperti membawa buku baru, seragam rapi dan bekal yang cukup. Ada pula yang melangkah tanpa alas kaki, membawa buku lusuh yang diwariskan kakaknya. Inilah yang membuat konsep keadilan pendidikan harus melampaui yakni tidak hanya sebagai “akses masuk”.
Keadilan pendidikan berarti setiap anak memiliki peluang yang sama untuk berhasil. Ini mencakup kualitas pengajaran, ketersediaan fasilitas, pendampingan psikologis, dan lingkungan belajar yang aman. Di titik inilah Sekolah Rakyat memainkan peran strategis. Dengan model berasrama, siswa hidup dalam satu ekosistem yang membentuk kebiasaan baik setiap hari. Mereka mendapatkan gizi cukup, jam belajar teratur, dan pendampingan guru yang tidak hanya mengajar, tetapi juga menjadi teladan.
Namun, mari kita jujur: apakah kecerdasan akademik saja cukup untuk membangun masa depan bangsa? Tidak. Sejarah telah membuktikan bahwa kepintaran tanpa integritas hanya melahirkan kecerdikan yang merusak. Korupsi, manipulasi, dan kebohongan sering dilakukan oleh orang-orang yang pintar secara akademik, tetapi miskin karakter. Ki Hadjar Dewantara pernah berkata, “Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.” Pendidikan sejati membentuk manusia utuh yang kepalanya berisi ilmu, hatinya penuh empati, dan tangannya terampil bekerja.
Sekolah Rakyat memahami hal ini. Salah satu strateginya adalah penguatan pendidikan karakter. Nilai-nilai seperti kemandirian, disiplin, kejujuran, dan kepedulian sosial tidak diajarkan lewat ceramah panjang, melainkan melalui kebiasaan yang diulang setiap hari. Siswa berlatih mengurus perlengkapannya sendiri, menjaga kebersihan kamar, membantu teman yang kesulitan, dan mematuhi aturan bersama. Dari sinilah lahir mental yang Tangguh yakni karakter yang siap menghadapi tantangan hidup.
Mengapa Kemandirian Penting?
Kemandirian adalah pintu gerbang menuju kehidupan yang bermartabat. Anak yang terbiasa dilayani akan tumbuh menjadi pribadi yang lemah dan manja. Sebaliknya, anak yang dilatih untuk mengurus kebutuhannya sendiri akan memiliki rasa percaya diri, tanggung jawab, dan kemampuan mengatasi masalah. Model berasrama di Sekolah Rakyat menjadi lahan subur untuk menumbuhkan kemandirian. Bayangkan seorang anak yang awalnya tak pernah mencuci piring sendiri, kini harus membersihkan peralatan makannya setiap hari. Atau anak yang terbiasa bangun dibangunkan orang tua, kini harus mendengar bunyi alarm dan bangkit sendiri. Perubahan kecil ini, jika diulang selama bertahun-tahun, akan membentuk karakter yang tahan banting.
Peran Masyarakat: Pendidikan adalah Tanggung Jawab Bersama
Meski Sekolah Rakyat memiliki konsep yang baik, ia tidak akan bertahan lama tanpa dukungan masyarakat. Pendidikan tidak pernah menjadi tanggung jawab eksklusif guru atau pemerintah; ia adalah tanggung jawab kolektif. Orang tua, tokoh masyarakat, organisasi keagamaan, dunia usaha, hingga relawan semua memiliki peran. Masyarakat bisa terlibat dalam banyak hal: memberikan waktu untuk mengajar keterampilan, menyumbangkan buku, membantu perbaikan fasilitas, atau hadir memberi motivasi kepada siswa. Gotong royong ini bukan hanya membantu sekolah, tetapi juga memberi teladan kepada siswa bahwa keberhasilan hidup sering lahir dari kolaborasi ini. Ada pepatah Afrika yang berkata, “It takes a village to raise a child” (dibutuhkan seluruh desa untuk membesarkan seorang anak). Begitu pula dalam pendidikan. Sekolah rakyat mungkin berdiri di satu titik, tetapi keberhasilannya akan terasa di seluruh komunitas jika semua pihak mau bergerak bersama.
Sebuah Refleksi
Tidak ada program pendidikan yang sempurna. Sekolah Rakyat pun tak luput dari tantangan: keterbatasan guru, adaptasi siswa terhadap lingkungan baru, bahkan kritik bahwa model ini berpotensi menciptakan segregasi antara “sekolah untuk orang miskin” dan “sekolah untuk orang mampu”. Kritik ini patut didengar. Memang, idealnya semua sekolah negeri memiliki standar fasilitas dan pembelajaran yang sama. Namun, kita juga harus realistis ketimpangan sudah terlanjur lebar, dan anak-anak miskin ekstrem membutuhkan solusi cepat. Dalam konteks ini, Sekolah Rakyat adalah “jembatan darurat” yang memungkinkan mereka menyeberang menuju masa depan, sembari kita membenahi sistem pendidikan secara menyeluruh.
Pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama adalah: untuk apa kita membangun sekolah? Apakah hanya untuk meluluskan siswa dengan nilai ujian tinggi? Ataukah untuk mencetak manusia yang berdaya, berakhlak, dan peduli terhadap sesama? Jika jawabannya adalah yang kedua, maka Sekolah Rakyat sejalan dengan misi tersebut. Ia tidak hanya fokus nilai pada angka, tetapi juga pada nilai nilai proses pembentukan manusia seutuhnya. Dan proses ini membutuhkan waktu, kesabaran, serta kesadaran bahwa setiap anak adalah investasi peradaban.
Sekolah Rakyat adalah cermin bahwa kita masih memiliki harapan. Ia menunjukkan bahwa keadilan pendidikan bukan utopia, tetapi sesuatu yang bisa diwujudkan dengan kemauan politik, inovasi, dan gotong royong. Namun, ia juga mengingatkan kita bahwa pendidikan bukan hanya tentang mengajarkan pengetahuan, melainkan tentang menanamkan nilai. Kita tidak bisa hanya menunggu pemerintah bergerak namun kita harus ikut mendorong, menopang, bahkan menjadi bagian dari roda yang berputar. Karena pada akhirnya, masa depan bangsa ini tidak hanya ditentukan oleh gedung-gedung tinggi atau teknologi canggih, tetapi oleh karakter generasi mudanya.
Mungkin kita tidak bisa mengubah seluruh sistem pendidikan dalam semalam. Tetapi, melalui dukungan kepada inisiatif seperti Sekolah Rakyat, kita bisa memastikan bahwa setidaknya satu anak lagi memiliki kesempatan untuk bermimpi dan mewujudkannya. Dan bukankah itu inti dari keadilan? Memberi setiap anak hak yang sama untuk tumbuh, belajar, dan menjadi manusia seutuhnya. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Pemprov Kaltim Luncurkan Aplikasi Sakti Gemas, Warga Bisa Lapor dan Akses Layanan Publik Lebih Cepat
- 9.611 Warga Binaan di Kaltim Terima Remisi HUT ke-80 RI, 311 Langsung Bebas
- Dispora Kaltim Dorong Sporturism Berbasis Ekologi, Wisata Buah Jadi Wajah Baru Ruang Publik
- Pelajar Jadi Pilar Pembinaan Olahraga dan Warisan Budaya di Kaltim
- Dispora Kaltim Ajak Seluruh Lapisan Masyarakat Jadikan Olahraga sebagai Gaya Hidup Baru