Opini

Busana, Bahasa, Budaya Ad Hominem

Kaltim Today
16 Januari 2025 18:59
Busana, Bahasa, Budaya Ad Hominem
Nanda Puspita Sheilla (tengah) dan Muhammad Sarip (kanan) dalam peluncuran buku Historipedia Kalimantan Timur di Universitas Mulawarman Samarinda, 2024 (Foto: Humas Unmul)

Oleh: Muhammad Sarip (Sejarawan Publik)

GAGASAN dia brilian. Pemikirannya kritis, cerdas, dan mencerahkan. Tapi sebagian orang tidak fokus pada substansi yang dia ungkapkan. Mereka menggugat penggunaan bahasa “aku” yang dia ucapkan. Ada pula yang menyoroti busana yang dia gunakan. Selain tak berhijab, pakaian dia juga dianggap kurang sopan. Alasan budaya timur dikedepankan.

Dalam kegiatan literasi sejarah lokal, saya punya beberapa kawan collab. Satu di antaranya adalah Nanda Puspita Sheilla, seorang gen Y (Milenial) angkatan terakhir menjelang kelahiran gen Z. Nanda spesialis terlibat dalam sejumlah event bertensi tinggi sebagai partner narasumber bersama saya. Kolaborasi kami juga menghasilkan karya buku dan artikel jurnal.

Nanda lahir di Samarinda. Sekolahnya sampai SMA juga di Samarinda. Sempat kuliah setahun di Universitas Airlangga Surabaya, dia pindah ke Universitas Trisakti Jakarta. Lulus kuliah dia langsung bekerja profesional di daerah bekas ibu kota Hindia Belanda. Sudah sekitar satu dekade dia tinggal di eks Batavia.

Perkenalan saya dengan Nanda itu unik. Kami tak sengaja bertemu di sebuah kafe di Samarinda pada pertengahan 2023. Awalnya dia mengaku dari Jakarta. Dia bilang sedang ada penugasan dari kantornya untuk sebuah project di ibu kota Kalimantan Timur selama setahun.

Dengan mengenalkan diri dari Jakarta, menurut saya itu terkesan superior dan intimidatif. Untungnya saya juga pernah berinteraksi dengan kawan-kawan dari Jakarta. Saya dikasih paham bahwa yang bisa eksis di Jakarta itu adalah orang-orang yang bermentalitas petarung dan pemenang. Bersikap mengalah dan mengedepankan perasaan hanya akan menjadi pecundang serta tersingkir dari kehidupan ibu kota yang ekstrakompetitif.

Data agama dan etnis dia tidak saya tanyakan. Sama paham bahwa religi, suku, keluarga, tanggal lahir, serta biodata lainnya dalam KTP dan Kartu Keluarga merupakan info privat yang tak etis ditanyakan oleh orang yang baru berkenalan.Lalu dia bertanya tentang sebuah kebudayaan yang berlaku di Samarinda.

“Kenapa di Samarinda kebanyakan orangnya berbahasa Banjar? Padahal kebanyakan mereka bukan orang Banjar.”

Saya jawab secara deskriptif pertanyaan Nanda. Rupanya penjelasan saya yang berbasis sejarah sangat memuaskan dia. Akhirnya, masih di hari dan tempat yang sama di kafe itu, secara jujur Nanda mengakui dari mana dia sebenarnya. Sontak saya merasa surprise.

Nanda mengakui bahwa dirinya orang Banjar Samarinda. Orang tua, kakek-neneknya dari Banjar Samarinda. 

“Nanda suka membaca buku?”

“Suka, Bang,” jawabnya.

Kebetulan saya membawa buku saya terbitan tahun 2017. Judulnya, Samarinda Tempo Doeloe Sejarah Lokal 1200–1999. Saya kasih Nanda buku ini.

Sebenarnya Nanda tak punya satu pun pengalaman atau portofolio dalam dunia skena literasi. Dia tak pernah menjadi narasumber atau moderator di forum publik. Bidang profesinya sebagai eksekutif muda di Jakarta sama sekali tidak berhubungan dengan skena literasi.

Namun, feeling saya mengatakan bahwa Nanda itu punya talenta tersembunyi. Jika diberi ruang dan panggung, saya yakin Nanda itu akan menampilkan value-nya. Dia hanya belum menemukan koneksinya.

Beberapa waktu kemudian saya mengajak Nanda ke forum bedah buku Perang di Samarinda yang dilaksanakan oleh Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Kota Samarinda. Saya meminta dia menjadi narasumber. Saya bilang, Nanda bebas berpendapat dan berekspresi. Mau mengkritik setajam apapun, saya persilakan.

Tanpa banyak negosiasi, Nanda bersedia. Dalam hati saya, berani banget dia menerima challenge tampil di forum publik kali pertama sebagai narasumber. Forum sejarah pula. Padahal background akademik dia bukan Ilmu Sejarah. Biasanya kawan lain yang baru saya kenal, tawarannya adalah moderator.

Kali pertama dia tampil di Perpustakaan Kota Samarinda, saya melihatnya seperti bukan pembicara pemula. Gesturnya sangat tenang. Prinsip egalitarian alias kesetaraan dia terapkan. Dia presentasi tanpa PowerPoint, juga tanpa contekan. Gaya bahasanya yang kasual membuat penyampaian dia lebih menarik.

Feeling saya ternyata benar. Kemampuan Nanda menyerap bacaan itu istimewa. Membaca, memahami, menganalisis, dan mengungkapkan kembali isi buku di forum publik, tampak mudah bagi Nanda. Yang dia paparkan itu perkara yang tak banyak orang pikirkan.

Setelah itu, penampilan keduanya di waktu berbeda makin menunjukkan knowledge dan insight yang dia miliki. Buku Histori Kutai yang tebalnya 344 halaman dengan isinya yang padat dan banyak footnote dia baca selesai dalam tiga malam. Dia buktikan dengan analisis kritis terhadap buku saya tersebut, tanpa skrip tanpa PPT.

Kolaborasi kami berlanjut ke penulisan buku Historipedia Kalimantan Timur. Meskipun ini pengalaman pertama dia, saya tak perlu mengajarinya menulis. Bahkan saya yang harus belajar dari Nanda tentang bahasa komunikasi terkini yang dipahami pembaca kaum muda. 

Peran krusial Nanda sebagai “konsultan bahasa” sebenarnya sudah dimulai sejak penerbitan buku Histori Kutai. Nama Nanda saya mention khusus dalam halaman prakata sebagai figur yang berjasa bagi saya dalam memperbaiki teknik komunikasi tulisan untuk pembaca umum.

Saya respek dengan sikap Nanda yang tak sungkan mengkritik saya. Kami juga berdebat dengan argumen. Tak jarang saya kalah argumen, dan saya fair menerima argumen Nanda. Relasi mutual yang saya rasakan siginifikan meng-upgrade pengetahuan dan wawasan saya. 

Kiprah Nanda di Samarinda terus meningkat. Ketika Dinas Sosial Kaltim mengundang keterlibatan saya dalam kegiatan Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD), saya mengusulkan tambahan anggota. Saya usul agar Nanda direkrut. Saya berani menggaransi kompetensi Nanda. Usul disetujui. Jadilah Nanda tampil di forum publik pengusulan gelar pahlawan nasional pada HUT ke-67 Kaltim dan mencetak rekor sebagai anggota termuda kegiatan TP2GD Kaltim sepanjang sejarah.

Berikutnya, kami tampil bareng di dua kampus terbesar di Kaltim, Universitas Mulawarman dan Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda. Dua-duanya membahas topik yang mirip, tentang sejarah Kaltim dan Ibu Kota Nusantara (IKN). Dua forum tersebut juga dihadiri oleh pimpinan tinggi madya Otorita IKN, Bu Myrna A Safitri. Bedanya, di Unmul ada Rektor Prof Abdunnur yang membuka acara, sedangkan di UINSI cuma Wakil Rektor.

Masih banyak lagi jika saya harus mengungkapkan semua kelebihan Nanda dan hal-hal yang saya belajar darinya. Misalnya tentang pemahaman dia terhadap substansi Pengarusutamaan Gender (PUG). Pernah setelah tampil di sebuah forum, kami mengevaluasi sesuatu yang telah terjadi. Pikiran Nanda dan saya ternyata sama. Kami sepakat di forum tersebut telah terjadi seksisme secara verbal. Ada ucapan yang dianggap candaan biasa, tapi sebenarnya merendahkan dan melecehkan perempuan karena menempatkan perempuan sebagai objek seksualitas.

Saya setuju dengan prinsip libertarian yang mengusung kebebasan individu dan kesetaraan gender. Dan Nanda tampak mengimplementasikannya secara riil sebagai perempuan yang independen dan punya kemerdekaan penuh atas jalan hidupnya. Orang tua juga tidak berhak mengintervensi pilihan hidup anak perempuannya.

Sekarang saya mau kembali ke lead tulisan ini. Mengapa ada orang yang “menyerang pribadi” Nanda dari aspek outfit dan diksi “aku”?

Merespons pendapat seseorang itu mestinya fokus ke substansi argumen dia. Adapun cara menanggapi dengan mempersoalkan mode busana dan keakuan, itu merupakan satu jenis dari logical fallacy alias kekeliruan berpikir. Menyerang atribut pribadi yang tidak ada kaitannya dengan substansi pendapat, itu disebut argumentum ad hominem atau biasa disingkat ad hominem.

Ad hominem ini nyaris menjadi budaya atau tradisi sebagian orang Indonesia dalam berargumen. Ketika seseorang mengkritik sesuatu, yang dibantah bukan isi kritiknya. Yang dipersoalkan malah misalnya usia pengkritik yang masih muda, agama si pengkritik yang minoritas, atau status si pengkritik yang belum menikah.

Sebenarnya, tudingan outfit tak sopan yang digunakan Nanda pun debatable. Tak berhijab tidak linier dengan asumsi ketidaksopanan. Bagi saya dan pihak lain, busana Nanda tetaplah sopan. Tak ada regulasi dan norma hukum yang dia langgar. Lagi pula, cara berpakaian adalah hak otoritas individu yang tak boleh siapapun mengintervensinya.

Kemudian masalah bahasa “aku”. Nanda dianggap tak sopan karena memakai “aku” di forum yang audiensnya terdapat orang-orang yang lebih tua ketimbang Nanda. Dia juga dibilang egois. Yang bilang diksi “aku” tak sopan itu sepertinya tak pernah melihat forum publik atau skena literasi di Jakarta dan Pulau Jawa. Di sana biasa saja narasumber berbicara menggunakan “aku” dan “gue”. Itu tidak relevan dengan persepsi tak sopan.

Penggunaan “aku” di forum publik juga tidak mesti selaras dengan egoisme. Bahasa itu dinamis, terlebih lagi bahasa lisan. Bahasa sebagai satu dari unsur kebudayaan terus berkembang. Fungsi bahasa adalah alat menyampaikan pesan antarmanusia supaya kehidupannya terus berkelanjutan. Bersikap konservatif dan feodal dalam berbahasa tidak relevan dengan upaya mempertahankan kelangsungan hidup manusia.

Sebagai orang yang mengajak Nanda tampil di ruang publik Samarinda, saya paham bahwa Nanda tidak memerlukan pembuktian dan validasi. Motif dia di bidang literasi bukanlah cuan karena dia sudah mapan dari profesi regulernya. Dia tidak perlu cosplay sebagai public speaker yang berbicara dengan hafalan dan intonasi template hasil latihan berulang kali. Dia tidak punya beban dan kesungkanan untuk speak up dengan jujur keresahan dia. Nanda menjadi dirinya sendiri yang autentik, orisinal, genuine, intelektual tanpa drama dan gimik.

Atribusi Nanda sebagai pegiat literasi bukan self-claim. Predikat sebagai pegiat literasi bukan labeling dari dia sendiri. Dia tak perlu pencitraan dan flexing supaya dibilang pegiat literasi. Nanda berhasil meraih personal branding sebagai pegiat literasi tanpa dia sendiri yang mendeklarasikan personal brand tersebut.

Akhirnya, saya mau bilang, di tengah aktivitas reguler profesional dia, pada caturwulan pertama kalender 2025 kami berencana launching buku collab ke-2. Sebagai orang Banjar Samarinda, Nanda antusias berpartisipasi dalam penulisan buku tentang sejarah Banjar di Kaltim. Buku ini diproyeksikan sebagai karya masterpiece kami sebelum Nanda melanjutkan studi ke sebuah negara di Eropa.

Konklusinya, saya mengapresiasi Nanda yang sebelumnya kayak inferior dengan daerah asalnya, sekarang menemukan kembali identitasnya dan bangga dengan entitas leluhurnya. Kami memang bukan dari golongan konservatif. Namun, kami menjadikan historiografi sebagai sarana berprogres belajar dari silam untuk masa kini dan masa depan yang lebih gemilang.

Menolak pendapat seseorang dengan menyerang sisi kepribadiannya, alias fallacy of abusing, itu bukan argumentasi yang relavan. Kebenaran tetaplah kebenaran, tidak memandang siapa pun yang menyampaikannya, apapun outfit dia. Sebaliknya, ketololan tetaplah ketololan, walaupun diucapkan oleh manusia yang berbusana religius dan menggunakan diksi “hamba” untuk dirinya. 

Mari punahkan ad hominem dari budaya kita. (*)


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi  kaltimtoday.co  


Berita Lainnya