Opini
New Normal dan Tumpang Tindihnya Kebijakan Kapitalis-Sekuler
Oleh: Siti Aisyah (Aktivis Muslimah Paser)
Virus Corona masih menuai kontroversi di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang mengharapkan virus ini segera berakhir. Kebijakan-kebijakan baru dari penguasa dikeluarkan agar kehidupan tetap berjalan seperti biasanya, akan tetapi kebijakan yang dikeluarkan dinilai masyarakat terkesan terburu-buru untuk menanggapi wabah ini, tak asing kita menyebutnya dengan istilah New Normal.
Anggota Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI), Johan Singandaru menyebut, kondisi new normal ditunggu betul oleh pedagang kecil, UMKM, dan para pengusaha di DKI Jakarta serta wilayah penyangga. Banyak yang mengharapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dipungkasi pada Juni 2020.
"Bulan Juni, bulan bekerja kembali dengan memenuhi protokol kesehatan. Saya setuju dengan hal itu. Sebab, kondisi usaha saat ini tengah mengalami penurunan tajam sampai dengan 50 persen lebih. Akibat daya beli masyarakat yang drop sehingga industri menurunkan produksinya," terang Johan belum lama ini.
Kebijakan ini menuai pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat, karena pada faktanya, dilansir dari (kanalkalimantan.com) Epidemiolog FKM Universitas Hasanuddin Ridwan Amiruddin menilai, rencana penerapan hidup normal baru atau new normal yang dipilih pemerintah terkesan prematur. Pasalnya, penerapan new normal dilakukan ketika kasus virus Corona Covid-19 di Tanah Air masih tinggi.
Ridwan menjelaskan, setiap negara pasti akan memikirkan dua hal, yakni bagaimana menangani Covid-19 dan bagaimana roda perekonomian tetap berjalan. Diandaikan sebagai piramida, sebuah negara akan menyelesaikan masalah keamanan dan kesehatan publik, lalu ketika pandeminya sudah dapat dikendalikan, barulah masuk ke konsen ekonomi.
Kalau melihat dari piramida itu, Indonesia justru langsung lompat ke tahap kedua yakni memikirkan menjalankan roda perekonomian meski pandemi Covid-19 belum selesai.
“Ini Indonesia masih dipuncak, bahkan belum mencapai puncak sudah mau implementasi jadi terlalu dini, prematur ini. Jadi ini new normal yang prematur,” kata Ridwan dalam sebuah diskusi publik yang dilakukan secara virtual, Kamis (28/5/2020).
Padahal, ada enam kriteria yang menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bisa digunakan untuk menerapkan new normal. Salah satunya ialah pandemi Covid-19 sudah terkendali di dalam suatu wilayah. Sementara di Indonesia belum bisa dianggap sudah terkendali.
Dengan begitu, ia melihat new normal yang akan diterapkan pemerintah itu akan menimbulkan banyak korban yang berguguran. Ancaman penularan yang masih tinggi itu akan menyasar lingkungan sekolah, mall ataupun tempat-tempat lainnya yang akan mulai beroperasi normal.
Wajar saja kebijakan ini juga menuai penolakan oleh sejumlah ormas, Muhammadiyah salah satunya. Lembaga ini menyuarakan kritik dan skeptis dengan kebijakan Presiden Joko Widodo soal penanganan pandemi Covid-19. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan “belum waktunya berdamai dengan Corona” dan “tagar lawan Corona masih harus diberlakukan” karena menurut laporan tim MCCC, keadaan daerah masih belum aman dari pandemi Covid-19.” (tirto.id)
Sudahlah tak memenuhi indikator, masyarakat tidak siap dengan situasi ini, maka sudah barang tentu ini menjadi kebijakan yang sangat dipaksakan. Pengerahan TNI dan Polri sebanyak 340 ribu yang disebar di beberapa titik menunjukkan indikasi ini. Pelibatan aparat dalam membentuk new normal life justru membuat situasi menjadi tidak normal. Keterlibatan mereka berpotensi menyusutkan kebebasan sipil karena rentan terjadi kesewenang-wenangan dengan dalih penanganan Covid-19.
Lagipula tidak ada relevansinya ketika diberlakukan pengerahan TNI dan Polri angka penyebaran menjadi menurun. Walaupun pemerintah berdalih agar masyarakat lebih mudah diatur atau disiplin dengan kebijakan yang ada. Nyatanya ini hanya menutupi ketidaktegasan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah menargetkan jumlah kasus positif virus Corona turun pada Mei 2020. Dengan demikian, kurva penyebaran Corona pada Juni 2020 masuk posisi sedang, dan Juli 2020 masuk posisi ringan.
"Target pada Mei 2020 harus betul-betul tercapai. Sesuai target yaitu kurvanya sudah harus turun dan masuk posisi sedang pada Juni, Juli masuk posisi ringan dengan cara apapun," ungkap Jokowi beberapa waktu lalu, dikutip Minggu (31/5/2020).
Namun, jumlah penambahan kasus positif virus corona justru semakin tinggi pada Mei 2020.
Mengutip data covid19.go.id, total kasus positif per 30 Mei 2020 mencapai 25.773 orang, 7.015 pasien sembuh, dan 1.573 pasien meninggal dunia.
Lantas mampukah Indonesia memberlakukan "New Normal Life" di tengah-tengah wabah covid-19 yang masih merebak?
Indonesia jelas belum memiliki kesiapan. Alat kesehatan, jumlah dokter dan tenaga kesehatan terbilang jauh dibandingkan kesiapan-kesiapan negara-negara lain, jika segera diberlakukan new normal oleh pemerintah, cenderung terkesan memaksakan walaupun dalam kebijakan ini dengan pengerahan TNI, akan tetapi bisa berdampak negatif terhadap kehidupan sosial masyarakat. Bila rencana ini tetap dijalankan, semakin jelas bahwa kebijakan dikendalikan oleh kapitalis, bukan didasarkan pertimbangan kemaslahatan publik yang didukung sains dan suara publik, akan tetapi demi kepentingan para penguasa kapitalis-sekuler yang usahanya terdampak besar di tengah-tengah pandemi ini.
Sudah sepatutnya kita menyadari, bahwanya segala kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan penguasa tak mampu memberi solusi yang benar-benar menyelesaikan masalah, hanya solusi dari islam dengan bingkai khilafah lah yang memberi solusi tuntas ditengah-tengah masyarakat.
New normal life, hanyalah kebijakan tumpang tindih demi pemenuhan kepuasan ekonomi para kapital. Tanpa dukungan sains dan kesiapan masyarakat , serta dipaksa dengan kekuatan militer. Alhasil masyarakat bertaruh nyawa demi pergerakan ekonomi “mereka”. sistem ini jelas-jelas hanya menempatkan maslahat umat sebagai ladang untuk mencari keuntungan semata. Seharusnya umat muslim segera sadar dari tidur panjang mereka, karena semakin terlihat ketimpangan kebijakan., justru berlama-lama mengharap sistem kapitalisme ini akan memberi kebaikan pada mereka padahal nyatanya tidak. Berbagai bukti bertebaran di depan mata, bahwa sistem ini jelas-jelas hanya menempatkan maslahat umat sebagai ladang untuk mencari keuntungan semata.
Bahkan sekularisme yang menjadi asasnya telah menghilangkan rasa belas kasih terhadap rakyatnya, demi keuntungan para pemilik modal, sudah saatnya umat kembali ke pangkuan sistem Islam. Wallahu a’lam bishawab.(*)
*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co