Opini
Omnibus Law Praktik Nyata Sistem Kapitalisme
Oleh: Dewi Murni (Aktifis Dakwah Pena, Praktisi Pendidikan)
Rapat Paripurna DPR RI yang digelar Senin (5/10/2020) ini di Kompleks DPR secara resmi mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi UU. Seketika saja suara penolakan bergaung dari berbagai daerah Indonesia. Penolakan yang tidak terbendung itu berwujud aksi demonstrasi. Aksi yang banyak dilakukan oleh buruh dan mahasiswa itu di antaranya dari Surabaya, Banten, Surabaya, Makassar, Balikpapan, Jogyakarta, Malang, Jakarta dan berbagai titik kota lainnya. Suara penolakan juga tidak kalah menggema di sosial media. Bahkan, pengguna media sosial TikTok ikut ambil bagian dalam menolak UU tersebut. Bentuk penolakan pengguna TikTok salah satunya dengan menggaungkan tagar #mositidakpercaya kepada pemerintah dan DPR.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pun membeberkan alasan mengapa beberapa poin dalam RUU Ciptaker ini harus disoroti dan kemudian ditolak sebab dinilai merugikan kaum buruh.
Pertama, RUU Ciptaker menghapus upah minimum kota/kabupaten (UMK) bersyarat dan upah minimum sektoral kota/kabupaten (UMSK). Sedangkan KSPI menilai UMK tidak perlu diberikan syarat karena nilai UMK yang ditetapkan di setiap kota/kabupaten berbeda-beda. Seharusnya, kata buruh, penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK dilakukan di tingkat nasional.
Kedua, pemangkasan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan, di mana 19 bulan dibayar pengusaha dan enam bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan.
Ketiga, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang menyatakan tidak ada batas waktu kontrak atau kontrak seumur hidup.
Keempat, karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup, yang menurut KSPI bakal menjadi masalah serius bagi buruh. Sebab masih belum jelas nantinya siapa pihak yang akan membayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing.
Kelima, jam kerja yang eksploitatif atau tanpa batas jelas dinilai merugikan fisik dan waktu para buruh .
Keenam, penghilangan hak cuti dan hak upah atas cuti. Protes ini juga disampaikan oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan yang menyebut salah satu pasal di klaster ketenagakerjaan menyebutkan secara jelas bahwa perusahaan tidak memiliki kewajiban untuk membayar upah buruh perempuan yang mengambil cuti haid secara penuh.
Ketujuh, terancam hilangnya jaminan pensiun dan kesehatan karena adanya kontrak seumur hidup (sumber: cnnindonesia.com, 5/10/2020).
Dari sini terlihat kesejahteraan tenaga kerja yang selama ini didamba-dambakan masih sebuah ilusi. Sebab opini penolakan Omnibus Law sebenarnya sudah jauh-jauh hari terjadi, namun pihak DPR, yang katanya wakil rakyat, seolah tutup mata dan telinga. Bahkan, sejumlah tagar tolak Omnibus Law Cipta Kerja jadi trending topic dunia. Kenyataanya, Omnibus Law Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja justru resmi menjadi Undang Undang. Sungguh mengherankan. Maka, suara siapakah yang sebenarnya menjadi aspirasi DPR?
Menurut Pakar hukum tata negara, Margarito Kamis, jika selama ini pemerintah selalu berdalih bahwa Omnibus Law diperlukan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan beragam dalih lainnya, sebenarnya itu merupakan alasan klasik.
”Ini isu lama, ini isu klasik. Dan urusannya ini adalah mengakumulasi kekayaan alam, sumber-sumber ekonomi itu kepada kapitalis. Tidak kurang, tidak lebih,” ujarnya dalam diskusi Forum Legislasi bertema “RUU Omnibus Law, Mana yang Prioritas, Mana yang Pending?” di Media Center Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 11 Februari 2020 (pikiran-rakyat.com, 16/2/2020).
Benar saja, pada akhirnya dampak penerapan sistem kapitalisme tidak bisa diingkari. Sistem yang merajakan para kapital dan membudakkan rakyat, sementara penguasa hanya berperan sebagai regulator. Kerakusan kapitalisme melahirkan rumus dengan modal sekecil-kecilnya menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya. Wajar bila akhirnya kebijakan omnibus law banyak memangkas hak-hak pekerja guna meminimalisasi modal/biaya produksi. Sementara pihak asing dan aseng kian kuat hegemoninya di negeri-negeri kaum muslimin di bawah perlindungan hukum yang sah.
Adapun islam sebagai ideologi yang memiliki akidah dan darinya terpancar berbagai aturan kehidupan telah mengatur sedemikian rupa masalah ini. Peradaban Islam sangat menghormati dan menghargai semua jenis pekerjaan, usaha dan pertukangan. Islam memberikan rasa hormat yang sama terhadap semua jenis pekerjaan, usaha dan pertukangan selama semua itu halal.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan memberikan upah sebelum keringat si pekerja kering. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih). Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan.
Dalam sistem ekonominya, islam telah mendudukkan kepemilikan harta menjadi tiga. Kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikkan negara. Harta yang di dalamnya terdapat hajat hidup orang banyak seperti pertambangan, air, hutan, laut dan sumber energi adalah kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai asing. Hasil atau manfaat dari kepemilikan umum wajib dikembalikan secara percuma kepada pemiliknya, yaitu rakyat. Agar hasil tersebut terdistribusi secara merata, maka negara wajib hadir sebagai pengurus dan pengelola.
Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) atas tiga hal: air, padang dan api. Harganya pun haram. (HR Ibn Majah).
Sementara dalam Islam, pemimpin memiliki dua fungsi utama, sebagai raa’in (pemimpin) dan junnah (pelindung). Negara berperan layaknya ibu yang mengayomi anaknya, membimbing, mengurusi dan melindungi. Jaminan kesehatan, keselamatan kerja, jaminan pendidikan hingga kesejahteraan diberikan langsung oleh negara sebagai bentuk pengurusannya. Tentu saja dengan kualitas terbaik dan maksimal. Sehingga bukan hal yang salah jika suatu perusahaan tidak memberikan jaminan, sebab sejatinya semua itu merupakan kewajiban negara. Tanpa jaminan ini dan itu dari perusahaan, masyarakat akan tetap terjamin hidupnya, karena negara menegakkan kewajibannya, memenuhi hak-hak rakyatnya. Dengan begitu, para pekerja bisa fokus mencari nafkah, tanpa harus pusing memikirkan berbagai jaminan kehidupan.
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Namun, untuk mewujudkan itu semua, tidak bisa hanya mengambil sistem ekonomi islam saja. Karena hukum-hukum islam saling berkaitan satu sama lain, layaknya sebuah sistem. penerapan sistem ekonomi islam harus diikuti sistem politiknya. Begitu pula sistem politik islam harus ditopang dengan sistem pendidikannya. Dan seterusnya. Akhirnya, seruan penerapan hukum-hukum islam secara total menjadi solusi final atas berbagai problematika rakyat.
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co