Opini
Kewajiban Menjaga Fithrah
Oleh : Rifqi Rosyidi Lc., M.Ag
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana permisalan hewan yang dilahirkan oleh hewan, apakah kalian melihat pada anaknya ada yang terpotong telinganya? (HR. Bukhari)
Dalam konteks sosio kultural, memiliki anak yang baik sesuai dengan standar kearifan lokal adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi orang tua, sedangkan dalam perspektif teo-spiritual, memiliki anak yang saleh merupakan sebuah kewajiban dan sekaligus sebagai perwujudan ibadah kepada Allah dalam menjaga amanah ini. Tuntutan memiliki keturunan yang memenuhi standar sosio-kultural dan teo-spiritual ini tidak kita dapatkan perintahnya secara tekstual, tetapi melalui konstekstualisasi sejarah para rasul menunjukkan bahwa melahirkan keturunan yang saleh merupakan bagian dari implementasi keberagamaan kita.
Nabi Ibrahim dalam doanya mendambakan kehadiran seorang putra yang saleh sebagaimana yang tertuang di dalam Q.S. Ash-Shaffaat [37] ayat 100: Rabbi hab lî min ash-shâlihîn (Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh). Nabi Zakaria ketika bermunajat kepada Allah mendambakan kehadiran putra yang baik, dengan menggunakan ungkapan bahasa dzurriyyatan thayyibatan sebagaimana yang tertuang di Q.S. Ali Imran [3] ayat 38: Rabbanâ hab lanâ min ladunka dzurriyyatan thayyibatan (Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik). Sedangkan dalam perspektif Q.S. al-Furqan [25] ayat 74 ungkapan bahasa yang digunakan untuk menyebutkan keturunan yang baik adalah Qurrata a`yun.
Ayat al-Quran yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sempurna; ahsani taqwîm harus dipahami dengan pemahaman yang komprehensif. Selama ini ayat ke 5 dari surat at-Tin tentang kesempurnaan penciptaan manusia hanya dipahami dengan paradigma lahiriyah, kesempurnaan bentuk tubuh dan fungsi anggota badan saja, padahal secara internal ruhiyyah manusia juga telah diciptakan dalam tracked yang benar dengan bekal tauhid bawaan yang benar.
Manusia tidak hanya diberi 2 organ pembeda dari makhluq lain; akal dan hati begitu saja, tetapi dua-duanya juga telah terisi dengan orientasi tauhid yang benar, dan inilah kesempurnaan penciptaan manusia yang sebenarnya yang pada perjalanan hidup manusia keberlangsungan kesempurnaan itu ditentukan oleh iman dan amal sholeh. Narasi yang sama juga dinyatakan di dalam Q.S. al-A`raf [7] ayat 172: Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu?. Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Kami melakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).
Dengan menggunakan perspektif tekstualitas ayat di atas, maka konsep fithrah dalam hadits di atas harus dimaknai sebagai konsep dasar keislaman yang jelas; Ungkapan nabi yang menyatakan setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah harus dipahami dengan menggunakan paradigma teologis, bahwa pada dasarnya semua manusia dilahirkan dengan identitas keyakinan yang jelas yaitu Islam dengan bawaan tauhid yang benar. Dengan demikian teori Pendidikan Islam tentang manusia terlahir dalam keadaan fithrah dengan paradigma teologis ini sangat bertolak belakang dengan teori tabula rasa yang dikembangkan dari teori Pendidikan sekuler. Tabula rasa sendiri berasal dari bahasa latin yang berarti kertas kosong, atau batu tulis kosong yang tidak ada coretan dan aturannya, merujuk kepada pandangan epistemologi bahwa seorang manusia terlahir dalam keadaan kosong tanpa isi, baik mental maupun spiritual.
Pada kelanjutannya teori tabula rasa dengan arti kertas kosong ini berusaha dikaburkan dengan istilah kertas putih, yang menekankan pemahaman bahwa setiap anak terlahir dalam keadaan putih bersih seperti kertas putih yang tidak ada coretannya. Secara sepintas perubahan penggunaan bahasa ini terkesan benar, sehingga istilah konsep kertas putih ini diadopsi untuk memaknai fithrah padahal sebenarnya sangat menyesatkan karena konsep tabula rasa dengan paradigma kertas putih menafikan adanya coretan Islam dengan orientasi tauhid di dalam setiap jiwa dan hati anak yang terlahir, sekaligus memberi pesan bahwa anak terlahir dalam kondisi atheis yang tidak berketuhanan dan tidak menganl Tuhan.
Bukti keislaman dan ketauhidan manusia sejak lahir dapat ditemukan pada lanjutan narasi hadits tentang fithrah itu. Narasi pertama menyatakan tentang peran orang tua sangat dominan dalam merubah orientasi teologis bawaan anak keturunannya menjadi Yahudi, atau Nasrani bahkan menjadi Majusi. Dan yang perlu digarisbawahi bahwa di dalam hadits tersebut tidak menyatakan peran orang tua untuk menjadikan putranya menjadi Muslim karena fithrah dalam konsep ajaran Islam merupakan isi bawaan yang taken for granted, dan itu adalah Islam dan iman.
Di dalam dunia pendidikan kita tidak pernah mengenal adanya istilah childrening, dalam pengertian pelatihan anak menjadi anak yang baik dan saleh, karena pada prinsipnya kecenderungan manusia di masa kanak-kanak selaras dengan kebaikan dan kebajikan universal yang digariskan oleh ketentuan ilahiyah. Inilah konsep dasar fithrah pada awal penciptaan. Dalam konsep taklîf menurut ajaran Islam, ada sebuah kaidah yang terlembaga dengan istilah rufi`al qalam; tidak ada catatan dosa dan konsekuensi hukum bagi anak ketika perilaku dan sikapnya dianggap menyalahi konsep kebajikan orang dewasa pada umumnya. Maka semangat ungkapan nabi: rufi`al qalam tersebut harus dibreak down dalam kehidupan sehari-hari, sehingga stigma anak nakal tidak boleh terdengar di dalam dunia pendidikan secara umum.
Prinsip dasarnya sebenarnya tidak ada anak yang nakal, tetapi sebenarnya yang nakal dan yang menjadi faktor kenakalan anak adalah orang tua. Tesis ini selaras dengan narasi perumpamaan pada penutup hadits di atas yang memberikan penekanan terhadap kuatnya pengaruh orang tua dalam mempertahankan keselarasan dan keberlangsungan fithrah anaknya. Narasi penutup hadits ini juga menyatakan bahwa orang tua lah yang paling bertanggung jawab tehadap keselamatan teo-spiritual anak-anaknya.
Ada sebuah kisah inspiratif pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab yang layak menjadi renungan bagi semua orang tua dalam membersamai pertumbuhan anak-anaknya. pada suatu hari, seorang laki-laki menemui Umar bin Khaththab untuk mengadukan kedurhakaan anaknya. Umar memanggil anak tersebut dan menegur perbuatannya itu. Setelah itu anak tersebut bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah anak memiliki hak atas orangtuanya?”
Umar menjawab, “Benar.”
“Apa hak anak?” tanya sang anak. Dijawab Umar, “Memilihkan calon ibu yang baik untuknya, memberinya nama yang baik, dan mengajarinya Al-Qur’an.”
Anak itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, ayahku tidak melakukan satu pun dari apa yang tuan sebutkan itu. Ibuku wanita berkulit hitam bekas budak beragama Majusi. Ia menamakanku Ju’lan (tikus atau curut), dan dia tidak mengajariku satu huruf pun dari Al-Qur’an.
Umar segera memandang orangtua itu dan berkata, “Engkau datang mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal engkau telah durhaka kepadanya sebelum ia mendurhakaimu. Engkau telah berbuat buruk kepadanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu.
Di dalam khazanah dunia pendidikan modern dapat kita temukan tema pembahasan tentang trilogi pendidikan; tiga unsur lingkungan yang berperan dalam membentuk karakter dan mempengaruhi kepribadian seseorang; sekolah, rumah dan lingkungan. Sudah menjadi konsensus umum bahwa rumah merupakan unsur yang paling dominan dalam membentuk karakter dan kepribadian anak, dan orang tua merupakan figur utama dan tokoh penting di dalam rumah yang paling bertanggung jawab terhadap kesalehan anaknya.
Dengan mengacu kepada hadits tentang fitrah di atas, orang tua berkewajiban menjaga fithrah itu tetap ada dan berada pada posisinya. Dengan demikian orang tua wajib menjadikan rumah sebagai tempat dan lingkungan yang layak bagi perkembangan kepribadian anggota keluarganya dengan menghadirkan sikap dan perilaku yang luhur. Orang tua harus menjadi uswah hasanah atau contoh yang baik bagi anak-anaknya. Keteladanan merupakan salah satu proses pendidikan yang paling efektif dalam mempertahankan fithrah tersebut.
Pembiasaan dan penanaman tradisi baik pada diri anak tidak akan berhasil kalau hanya dilakukan dengan intruksional verbal, harus ada perilaku rujukan dari orang tua yang berfungsi sebagai salah satu bentuk dakwah bil hâl di dalam lingkungan keluarganya karena pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak ke arah tradisi yang lebih baik dan berkelanjutan banyak dipengaruhi oleh apa yang pernah dilihat dalam hidupnya. “Mengapa kamu memerintahkan orang lain mengerjakan (kebaikan), sedangkan kamu melupakan kewajibamu mengerjakan kebaikan tersebut (sebagai teladan bagi orang lain) padahal kamu (telah) mempelajari al-Kitab. Maka tidakkah kamu berfikir?” (Q.S. al-Baqarah [2]: 44).(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co