Daerah
Pemkab Kukar Fasilitasi Mediasi Konflik Agraria di Long Beleh Modang, Tegaskan Tak Ada Kepemilikan Tanah di Kawasan IPPKH

Kaltimtoday.co, Tenggarong - Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Pemkab Kukar) turut memfasilitasi konflik agraria yang terjadi di Desa Long Beleh Modang, Kecamatan Kembang Janggut. Konflik yang melibatkan masyarakat dan perusahaan pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk kegiatan pertambangan ini merupakan tindak lanjut atas permohonan mediasi yang dilayangkan Pemerintah Kecamatan Kembang Janggut.
Dalam mediasi yang dipimpin oleh Kepala Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Kabupaten (Setkab) Kukar, Yani Wardhana ini, telah ditegaskan bahwa mediasi ini tidak berbicara tentang ganti rugi atas tanah. Mengingat, wilayah yang menjadi konflik tersebut berada dalam kawasan hutan.
“Untuk tanahnya tidak boleh, karena itu kawasan hutan. Tidak ada hak atas tanah baik perorangan maupun perusahaan. Tidak ada yang namanya kepemilikan tanah,” tutur Yani, Jumat (8/8/2025).
Meski kepastian atas status tanah telah jelas, Yani menuturkan bahwa pihaknya berupaya menjembatani kesepakatan antara perusahaan dan masyarakat. Mengingat lahan tersebut telah dimanfaatkan sebagai kebun kelapa sawit oleh masyarakat.
“Saya sampaikan penyelesaian tetap berdasarkan klausul di IPPKH yang menyatakan jika memang ada hak-hak pihak ketiga di areal pinjam pakai, itu menjadikan kewajiban tanggung jawab perusahaan untuk menyelesaikan dengan dikoordinasikan oleh Pemda,” serunya.
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Camat Kembang Janggut, Suhartono menjelaskan bahwa mediasi di tingkat kabupaten ini merupakan upaya ketiga yang difasilitasi pemerintah. Sebelumnya, pihaknya telah memfasilitasi mediasi dari tingkat Desa dan Kecamatan.
Hingga mediasi ketiga ini, masih belum ditemukan titik terang dari kedua belah pihak. Konflik ini menjadi berkepanjangan lantaran berdasarkan pengakuan warga kebun yang berada di kawasan hutan yang menjadi kawasan IPPKH perusahaan pertambangan sejak tahun 2013, hampir bersamaan dengan terbitnya IPPKH perusahaan yang terbit pada tahun yang sama.
“Nah, di sinilah letak ketidakjelasannya. Perusahaan berasumsi, jika kegiatan berkebun dilakukan sebelum 2013, mungkin akan ada kebijakan khusus yang bisa dipertimbangkan, karena dianggap tidak mengetahui,” sebutnya.
Namun, karena berkebun dimulai hampir bersamaan dengan terbitnya IPPKH, perusahaan masih belum bisa menyetujui nominal yang diinginkan masyarakat.
“Sebenarnya bukan ganti rugi, tetapi lebih kepada tali asih. Kami tidak bisa memungkiri bahwa masyarakat memang berkegiatan di kawasan yang IPPKH,” tutupnya.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Seksi Sumber Daya Hutan (SDH), Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah IV Samarinda, La Taati menjelaskan bahwa jika merujuk pada Peraturan Menteri Kehutanan No.P.16/Menhut-II/2014.
Memang tidak ada kewajiban perusahaan melakukan ganti rugi terhadap warga yang terdampak. Mengingat aturan tersebut menetapkan bahwa pemegang izin IPPKH wajib memberikan kompensasi berupa lahan pengganti atau membayar sejumlah dana (PNBP) kepada negara, bukan kepada masyarakat yang terdampak.
“IPPKH itu kan perusahan pemegang izinnya sudah bayar ke negara tiap tahun, termasuk juga area penyangganya. Kalau ada masyarakat yang berkebun lagi di areanya kan kasian juga mereka, sudah bayar tiap tahun baru lahannya tidak bisa di apa-apain karena ada masyarakat di situ,” sebutnya.
Adapun terkait klausul pemenuhan hak-hak pihak ketiga, La Taati menjelaskan bahwa memang hal tersebut tertuang dalam SK IPPKH yang diterbitkan. Namun hal tersebut semestinya diselesaikan saat penataan batas wilayah IPPKH.
“Kalau perkebunan itu dia lebih dulu daripada tambang, harusnya pada saat penataan batas itu juga memperhatikan hak-hak pihak ketiga. Karena kan pemberian izin itu ada penataan batas, di SK IPPKH itu ada klausulnya untuk menyelesaikan hak-hak pihak ketiga. Tetapi hak-hak pihak ketiga tersebut harus sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan bukti tertulis (HGU, HGB, SHM dan lain-lain) yang sudah di verifikasi,” jelasnya.
Ia juga menuturkan bahwa konflik agraria yang serupa memang kerap terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan pengalamannya, La Taati juga menuturkan bahwa biasanya metode penyelesaian yang dilakukan adalah dengan pemberian tali asih kepada warga yang memanfaatkan lahan.
[RWT]
Related Posts
- Tinjau Pertanian di Desa Sidomulyo, Irwan Bakal Realisasikan Perbaikan Jalan Usaha Tani
- Desa Mulawarman Kukar Kini Punya Sirkuit Grasstrack Motocross Berstandar Nasional
- Punya Lumbung Pangan, Bupati Kukar Harap Kades Giri Agung Belajar ke Desa Loa Sumber
- Ketua IDI Kukar Sebut Pembangunan IKN Bawa 4 Keuntungan di Bidang Kesehatan
- Selama Sepekan Tak Menemukan Hasil, Proses Pencarian Korban Diduga Diterkam Buaya Dihentikan